Ilustrasi: Ignatius Darmawan
MALAM TERPANJANG
Ini malam adalah malam yang terpanjang dan terkelam
Berjaga-jagalah, karena menurut cerita
Sang Dewa Siwa akan turun ke bumi
Menghapus dosa-dosa yang paling berkerak sekali pun
Ingatlah Lubdaka
Yang begitu mudah mendapatkan surga
Hanya karena semalaman ia mampu menahan nafsu
dan selalu mengucapkan kata Siwa
Di luar, angin bergetar diterpa sedikit gerimis
Membuat malam lebih mencekam
Dan kita mengira-ngira bagaimana wajah surga
Apakah ia serupa taman dengan bunga warna-warni
Dan di tengahnya ada sungai yang dialiri oleh susu dan anggur
Ataukah sebuah rumah makan, dengan persediaan makanan yang berlimpah
Dimana para bidadari melayani kita dengan dada sedikit terbuka
Sementara pikiran melayang membayangkan surga
Jari-jari tangan telah kaku karena sibuk bermain gadget
Esok, kita kembali bekerja
Memenuhi tuntutan-tuntutan kehidupan
Kita pun melupakan Lubdaka
Dan menganggap itu hanya sebagai dongeng
Bagi para pendosa
Yang merindukan untuk mendapatkan surga dengan jalan pintas
HUKUMAN KEPADA MANUSIA
Bumi terlalu cepat mengalami perubahan
Hingga hujan tak lagi mengenal musimnya
Juli gelap gulita
Punggung langit sedikit bungkuk menahan derita
Hingga akhirnya ia menumpahkan tangisnya secara histeris berhari-hari
Suara tawa segera terhenti
Lenyap ditelan suara gemuruh yang berbaris menuruni bukit
Angin menggoyang-goyangkan dedaunan
Lemah dan ringkih
Mengucapkan selamat tinggal
Kepada pohon yang telah memberinya hidup
Sungai-sungai meluap, memancarkan uap
Apakah yang terjadi?
Sajak-sajak ditulis
Mengatakan Tuhan telah marah kepada manusia
Manusia seperti anak durhaka
Melukai, menggerogoti dan meludahi bumi yang tua dan lamban
Manusia tidak seperti dulu yang tulus memuja kehidupan dengan nyanyian surgawi
Ini seperti lemparan lumpur ke dalam kelopak mata sendiri
Juli gelap gulita
Musim mempertemukan surga dan bumi dalam kesedihan
MUSEUM PERANG DUNIA II, MOROTAI
Kita diajarkan
Menghindari kesedihan
Dari Kesedihan yang diabadikan
Suara tangis digantung di dinding
Berdampingan dengan pesawat yang dengan liar terbang berputar
Di atas orang-orang
Yang terbaring dalam debu
Di Pulau Zum Zum, Jenderal MacArthur tersenyum di persembunyian
Matanya nanar mengintai lawan
Seringainya seperti serigala lapar
Yang setiap saat sigap menyantap daging-daging musuh
yang terbakar pecahan bom yang dijatuhkan dengan rasa gembira
Jeritan melolong di sepanjang pantai
Nafas meregang menahan maut
Desing peluru
Merobek impian di balik punggung kematian
Kepalamu kini terkubur
Dalam gelombang kerinduan
Yang ditangisi sanak saudara
Dan kini
Tangis itu diabadikan
Untuk mengajarkan kita
Tidak menciptakan tangisan baru
BIODATA
Sthiraprana Duarsa lahir di Denpasar. Buku kumpulan puisi tunggal yang telah diterbitkan adalah Bagian Dari Dunia (1994), Pulang Kampung (2008), Autobiografi Kejahatan (2019) dan Puisi-Puisi yang Ditulis Karena Cinta (2023).
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.