JEMBRANA, Balipolitika.com- Video heboh pelanggaran hari suci Nyepi di Kelurahan Loloan Timur, Kecamatan Jembrana, dan Loloan Barat, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali menjadi sorotan publik.
Dalam video-video yang beredar tampak warga Kampung Loloan Timur beraktivitas seperti biasa saat Nyepi.
Saat masyarakat Kampung Islam di kabupaten/kota lain menunjukkan toleransi tinggi sekaligus menghormati Catur Brata Penyepian yang dijalani umat Hindu dengan cara tidak meninggalkan pekarangan rumah masing-masing, sebaliknya warga Kampung Islam di Jembrana itu malah asyik bersepeda, berkendara motor, bahkan tampak ada aktivitas jual beli.
Dalam video juga tampak masyarakat setempat juga tetap menyalakan lampu sebagaimana hari-hari biasanya.
Jelas-jelas tidak menghormati perayaan Nyepi Tahun Saka 1947 sesuai kesepakatan yang ditandatangani Forum Kerukunan Umat Beragama se-Bali, Bupati dan Wakil Bupati Jembrana, I Made Kembang Hartawan- I Gede Ngurah Patriana Krisna malah terkesan pasang badan.
Merespons kondisi itu, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan Pemerhati Pembangunan Bali, I Gusti Putu Artha menilai warga Kampung Loloan Jembrana yang melanggar surat kesepakatan FKUB se-Bali tidak punya empati.
“Apabila benar sebagaimana terungkap dalam video viral bahwa suasana Kampung Loloan Jembrana demikian ramai, semua keluar ke jalan raya, bebas berkendara, dan lampu menyala bebas saat Nyepi maka sikap saya adalah sebagai berikut,” tulis I Gusti Putu Artha sembari merinci 6 poin sikap.
Pertama, saya menyatakan warga Kampung Loloan tidak memiliki empati dan sikap toleransi untuk dapat sehari saja bersimpati bagi khusyuknya pelaksanaan tradisi Catur Brata Penyepian yang ratusan tahun diwariskan oleh leluhur Bali.
Kedua, sikap yang ditunjukkan warga Kampung Loloan tak mencerminkan sikap di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Ingat Kampung Loloan bagian dari tanah Bali dan Pakraman Desa Adat di Jembrana yang terikat pada tradisi Nyepi yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Kampung Loloan bukan bagian “asing” di tanah Bali yang bisa berbuat sesukanya tanpa berempati atas tradisi Nyepi.
Ketiga, jika benar kata Ipat (Wakil Bupati Jembrana, I Gede Ngurah Patriana Krisna, red) bahwa ini telah terjadi bertahun-tahun suasana hingar bingar ini, saya berpandangan bahwa itu kegagalan pemimpin formal dan pemimpin umat untuk mengejawantahkan sikap toleransi kepada warganya.
Keempat, pembiaran sikap anti toleransi itu amat melukai perasaan umat Hindu Bali yang setia menjaga tradisi leluhurnya menjalankan Nyepi sebagai agenda satu-satunya di dunia yang demikian hening dan sepi dari berbagai kegiatan.
Kelima, sikap yang ditunjukkan Wakil Bupati Jembrana Patriana Krisna (Ipat) dengan membela perilaku semacam itu dengan dalih “sudah sejak dulu” demikian, cermin pembelaan yang menyedihkan sekelas pejabat publik. Saya amat sedih memiliki pejabat publik dengan komunikasi politik keuamatan yang tak berempati dan buruk.
Keenam, saya berharap FKUB, Bupati, dan Wakil Bupati beserta Forkopimda menggelar rapat untuk membahas kasus ini dan memastikan kejadian tersebut tak berulang tahun depan. (bp/ken)