Kidung Kuota
Berlalu lalang di udara, kau tak bisa menangkapnya
Serupa badai matahari, ia menubuh dalam diri
Malam, kopi, sendiri disatukan yang tak diungkap mata
Dan kau, terpuruk di ujung warung meratapi notif terhenti.
(2024)
Kidung Mudik
Sesungguhnya aku lupa jalan pulang:
Kata yang kukenakan. Jalan yang kulalui
Kakiku bukan kaki. Tanganku bukan tangan
Aku meraba yang tak teraba
(2024)
Orang Pasungan
(I)
Kulepas angka-angka.
Kulupa halaman kitab.
Kuhindari kiat
menggenggam pisau.
(II)
Aku berdiam di kamar
tempat Tuhan
paling tak kukenal.
(III)
Tanganku cukup mahir
mencuci dirinya sendiri.
(IV)
Ada pula asu
dalam tubuh yang
selalu kuajak
jalan di taman
kamar ini.
(V)
Bila mati aku bisa
bakar diriku sendiri.
Konklusi:
Jadi dalil mana lagi
yang kau gunakan
mengunciku
di petak ini.
(2024)
Netizen
Di depan layar aku simpan beragam
tata kata binatang. Kulepas mereka
yang kuperam dalam dendam. Masuk
dan meresaplah ke dalam celah cela
dirimu. Celah selebar kuman yang bisa
kuterawang liuk lekuknya dari seberang.
Kata-kataku lihai dan terlatih memindai
dirimu. Kau bangun, mengurai rambut,
membuka kancing baju, hingga tenggelam
ke jam-jam tidur. Kata-kataku menyeringai,
menyergap sinyal-sinyal mimpimu, memecah
kode dari gema panjang gambar yang kau
tinggalkan.
Aku tak tinggal diam sebab sedetik kau
punya gelagat adalah awal kumulakan
gibahan mematikan. Seribu, sejuta, semiliar
kata pengulik umpama serdadu meneror
di jalanan. Dan mencegatmu dalam layar.
Tapi kau bersetia dengan geming
tetap tatag menata langkah.
(2024)
Kecetit
Mengurutmu, jemariku berada di ambang:
lemas atau mengeras. Hingga kutelusur jejak
urat-urat bengal, yang ditarik tanah, dipertubuh
pijak tanah. Sendi-sendi terikat dan darah pun.
tak kuasa menebar sari-sari kebajikan.
Ternyata harus tertib siklus gerak dari hikayat
makar. Tak bakal ada jeda buat urat keras itu
menyusun ulang siasat melemahkan badan.
Keras jemari akan memburu titik-titik ruwet
badan. Mereka yang pengkuh berkumpul harus
segera bubar.
Dua tiga laku ini menyusur betis. Lepas pula jemari
selaku kavaleri pertama pengurai keributan. Tidak boleh
lajur mereka bersekutu peraluran darah. Cukup sekali
mereka bikin kaki ini berat langkah. Demi ketenangan,
sakit sejenak serta erang menggelegar biar menubuh.
Sejam kemudian langgam badan bakal ringan,
seringan laku kapuk balik ke haribaan tanah,
setenang senyum Sidharta dalam silanya.
(2024)
Angin Duduk
Datang. Ia tiba tiba-tiba
Sebagaimana alamat buruk ditimpakan
Lalu aku gelar saja badan yang pasrah.
: Inilah tubuh yang tangguh menerima
gempuran
Lalu bagaimana bila pagi ini kumulakan
dengan dada tertekuk?
Tak ada lebam. Tanpa memar
Tiada bekas pertarungan sebab
semua pengujar jelas tak berdaya
di hadapan gerak pendekar.
Tapi ini benar serangan memalukan
Ia menusuk badan. Merasuk pori
Mengendapi kulit. Sesat ke dalam peraluran
Ia bukan teluh. Bukan samaran
tidak-tidak yang ditiup pemilik hati dengki
yang tumbang berkali-kali di palagan.
Tidak. Ia bukan apa. Bukan siapa
Ia gejolak yang mengoyak perut.
Mengaduk dada. Lalu menakik
kala sekali kesempatan tiba.
(2024)
Fragmen Gunung Kidul
– Tiga Kota Nugroho Notosusanto
Lilin turun langkah
tinggal separuh jalan.
Nasi kerak satu dua
tertangkap hitungan.
Di piring terdengar
bebunyian nyaring.
Di luar, angin menampar
badan sempoyongan.
Tangan, kaki, bebatuan
menghantam bayangan.
Ada yang mesti habis,
harus tuntas dihunjam
dalam satu sergapan.
Sementara dalam gubug,
ada yang lapar dilipur
dongeng kemakmuran.
(2023)
Setelah Tetes Hujan Terakhir Turun di Bumi
Satu detik setelah tetes hujan
terakhir turun di bumi, matahari lepas
dari jaring awan.
Jendela terbuka serupa tahun baru
dirayakan. Katak-katak pulang
ke peristirahatan.
Jalan basah memapar liku celahnya.
Lubang-lubang menampakkan wajah.
Kota ibarat anak tergesa ke sekolah.
Lalu ayam-ayam lepas dari samsara
kandang. Kau yang satu jam meringkuk
di ranjang pun digusah kerja, ditunggu
jam-jam sibuk.
(2023)
Rampok
Kuurapi pandanganmu dengan gulita pakaian dunia
agar yang kau kuar rasa gentar semata. Kupangkas
kecemasan pada malam. Hingga mambang-mambang
tak lepas sembarang.
Pisau tayeng ala kadar, gobang ketul yang tergenggam,
arit sarat karat kusimpan semenjana di sebalik selubung.
Demi kelaparan yang harus diisi. Demi diri yang tak mau
mati tiba-tiba.
Kukeraskan kelembekan hati ini. Biar sebenarnya gemetar
langkah ke depan. Dan gamang ujar bila kuseru inilah laku
kerja. Maka kurenggut apa yang tak mesti kusimpan.
Dengan bahasa tanpa kata kuminta urungkan perlawananmu.
Papar kepasrahanmu. Tunjukkan segala yang nampak hingga
paling tak tersingkap. Serahkan dengan langgam kesantunan.
Kengerian ini pun tak bakal berkobar. Jangan pula memeri laku
macam-macam di hadapan diri yang dirundung kemiskinan.
Bukan aku hendak menumpahkan yang mengalir deras dalam urat.
Lagipula tiada niatan memisah kepala dari badan.
Hingga benar-benar gelagat darurat datang membalik
kegicikan dan kegawatan pada ritus ini.
(2019-2024)
BIODATA
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, Jawa Timur. Saat ini berkhidmat sebagai Widyabasa Muda di Kantor Bahasa Provinsi Banten. Bergiat bersama Komunitas Madah Doa.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Karya-karyanya banyak menjadi ilustrasi puisi di media online Bali Politika. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri. IG: @putusunindrani.