Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Politik

Jokowi Teken Keppres, AWK Sah Dipecat dari Kursi Senator RI

KEPPRES TURUN: Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35/P Tahun 2024 tentang Peresmian Pemberhentian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Masa Jabatan Tahun 2019-2024 yang ditetapkan dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Jakarta, Kamis 22 Februari 2024.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Lika-liku mengiringi karier politik Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. 

Meski berpeluang kembali dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Daerah Pemilihan (Dapil) Provinsi Bali ditopang oleh raihan suara tinggi hasil coblosan Pemilu DPD RI, Rabu, 14 Februari 2024, sosok berparas tampan kelahiran Denpasar, 23 Agustus 1980 itu sah menerima sanksi pemberhentian tetap terhitung sejak Kamis, 22 Februari 2024.

Penegasan legalitas terkait sanksi yang diterima Senator Republik Indonesia kebanggaan Pulau Dewata ini dimuat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35/P Tahun 2024 tentang Peresmian Pemberhentian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Masa Jabatan Tahun 2019-2024 yang ditetapkan dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Jakarta pada tanggal 22 Februari 2024.

Adapun salinan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35/P Tahun 2024 yang ditandatangani Deputi Bidang Administrasi Aparatur Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia, Nanik Purwanti ini diketahui sudah disampaikan kepada Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Dikonfirmasi, Kamis, 29 Februari 2024 pagi, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. belum menjawab pertanyaan redaksi balipolitika.com. 

Diberitakan sebelumnya, Keputusan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Penjatuhan Sanksi Pemberhentian Tetap Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Bali terhitung sejak Kamis, 1 Februari 2024 sah dan bersifat final sesuai penjelasan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI masa bhakti 2019-2024, Ir. H. AA Lanyalla Mahmud Mattalitti atau akrab disapa La Nyalla Mattalitti. 

Sejak Keputusan BK DPD RI Nomor 1 Tahun 2024 itu ditandatangani Ketua BK DPD RI H. Leonardy Harmainy DT. Bandaro Basa, S.IP., M.H., Wakil Ketua Habib Ali Alwi, Wakil Ketua Dr. Drs. Marthin Billa, M.M, dan Wakil Ketua Dr. Made Mangku Pastika, M.M. di Jakarta, Kamis, 1 Februari 2024 dan dibacakan dalam Sidang DPD RI, Jumat, 2 Februari 2024, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. dinilai sudah tidak berhak lagi mengatakan diri sebagai anggota DPD RI dari Provinsi Bali.

Di sisi lain, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. menjelaskan untuk memecat seorang senator perlu proses yang panjang, yakni mulai dari izin ke Presiden RI hingga proses di pengadilan.

Oleh sebab itu, AWK mengaku menjalaninya dengan santai sembari mempersiapkan langkah-langkah hukum.

Pembelaan terhadap Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. juga disampaikan oleh mantan Ketua Badan Kehormatan DPD RI, I Gede Pasek Suardika.

GPS- sapaan akrabnya sempat merespons Keputusan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Penjatuhan Sanksi Pemberhentian Tetap berdasarkan Sidang Badan Kehormatan Masa Sidang III Tahun Sidang 2023-2024 tanggal 1 Februari 2024 yang menyeret nama peraih suara 742.718 di Pemilu 2019 itu.

Soal sanksi BK DPD RI, I Gede Pasek Suardika mengaku sempat berkomunikasi dengan Arya Wedakarna dan tergerak untuk memberikan gambaran detail untuk memberikan pemahaman kepada publik. 

Pertama, I Gede Pasek Suardika menyebut saat masih berstatus anggota DPD RI, dirinya pernah menyandang status sebagai Ketua Badan Kehormatan DPD RI. 

“Intinya secara posisi saya berpengalaman pernah menjadi Ketua Badan Kehormatan DPD RI. Yang mana sebelumnya ketika itu dipegang oleh Bapak AM Fatwa (alm.) DPD RI dari DKI, saat Beliau mengundurkan diri lalu saya maju dan terpilih sebagai melalui voting menjadi Ketua BK DPD RI. Hari ini saya dikagetkan dengan penjatuhan sanksi pemberhentian tetap untuk Arya Wedakarna,” ucap I Gede Pasek Suardika. 

Merespons fakta mengejutkan itu, I Gede Pasek Suardika melemparkan bahan diskusi ke publik. 

“Penyikapan, saya belum bisa pastikan karena kita harus baca dokumennya lebih detail. Saya sudah dapat salinan putusannya, tetapi untuk memahami apa yang terjadi secara lebih detail tentu kita harus kaji dengan tata beracaranya, kode etiknya, kemudian tata tertibnya. Apakah prosedural atau tidak itu kita harus teliti lebih dalam,” jelas mantan anggota DPR RI dari Partai Demokrat itu, Jumat, 2 Februari 2024 lalu.

Secara filosofi, jelas I Gede Pasek Suardika, seorang wakil rakyat itu, naik turunnya ditentukan oleh rakyat yang memilih dan dirinya sendiri. 

Jadi, seorang wakil rakyat atau wakil daerah atau seorang pejabat yang terpilih karena dipilih, dia hanya bisa diturunkan oleh rakyat atau dirinya sendiri. 

“Bagaimana kemudian seorang wakil rakyat dan wakil daerah kemudian diberhentikan oleh wakil daerah dari daerah lain atau orang yang dia ajak berkompetisi juga? Itu secara filosofi memang tidak pas. Karena itu, ketika saya menjadi Ketua Badan Kehormatan DPD RI, saya sempat menyampaikan bahwa untuk sampai di tahap pemberhentian tetap, itu tidak mudah. Kenapa? Karena legitimasi seorang wakil daerah itu didapat dari rakyat. Ketika legitimasi didapat dari rakyat lalu dicopot atau dicabut oleh rapat di parlemen itu sendiri gitu loh. Nah, itu filosofinya. Karena itu ketika saya jadi Ketua BK DPD RI, saya tidak pernah memberikan penjatuhan sanksi sampai sifatnya pemberhentian tetap, tetapi tampaknya sudah cukup banyak perubahan-perubahan tata beracara dan sebagainya yang kemudian menyebabkan peluang untuk memberhentikan secara tetap itu terbuka. Secara filosofi wakil rakyat itu hanya bisa diberhentikan oleh rakyat yang memilihnya atau dia sendiri; artinya begini, dia melakukan korupsi, dia meninggal, dia sakit terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang sehingga dia tidak bisa melaksanakan tugas fungsinya,” beber I Gede Pasek Suardika.

Dalam kasus Arya Wedakarna, I Gede Pasek Suardika menyebut dirinya mempelajari bahwa dia dilaporkan bukan dalam kasus dengan kasus Bugbug, kasus Nusa Penida, maupun kasus lainnya yang juga menyeret nama sang senator, melainkan kasus pelaporan Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bali. 

“Jadi yang melaporkan Arya Wedakarna ini, kemudian dijatuhi sanksi adalah dari Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bali. Artinya, laporan ini dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia. Nampaknya dianggap bernuansa SARA, bernuansa melecehkan atau menghina umat muslim. Nampaknya begitu kalau saya lihat yang melaporkan juga MUI. Berarti ini terkait dengan kejadian di Imigrasi. Terhadap hal itu, kalau betul –makanya saya belum bisa mengambil keputusan penyikapan, tetapi saya ingin memberikan perspektif saja dulu– kalau betul AWK kemudian dijatuhi hukuman pemberhentian tetap karena dinilai melanggar sumpah atau janji jabatan dan kode etik dan atau tata tertib DPD RI ketika dia rapat di Imigrasi, maka keputusan ini cacat,” tandas I Gede Pasek Suardika. 

Kenapa cacat? I Gede Pasek Suardika menjelaskan karena posisi Arya Wedakarna saat itu adalah dalam posisi dia menjalankan tugas konstitusi dan sedang dalam posisi rapat, serta berada dalam perlindungan hak imunitas. 

“Jadi seorang wakil rakyat, seorang wakil daerah diberikan hak imunitas atas apa yang dia sampaikan, apa yang dia bicarakan, apa yang dia omongkan, dan dia tidak boleh di-PAW karena dia berbicara. Jadi kalau karena kasus ini kemudian dia diberhentikan, maka sejatinya keputusan yang diambil Badan Kehormatan DPD RI ini cacat karena hak imunitas itu dilindungi undang-undang. Hak berbicara itu tidak boleh dihukum. Itu kelebihan seorang anggota parlemen,” tegas I Gede Pasek Suardika. 

Terang I Gede Pasek Suardika seorang anggota parlemen dilindungi oleh hak imunitas ketika dia berbicara karena duduk di parlemen imbas perolehan suara. 

“Seperti Arya Wedakarna dia memperoleh suara, suara dia ketika duduk mewakili Bali itu suara dia 700 ribu. Suka tidak suka dia mewakili aspirasi rakyat sejumlah itu. Masalah dalam perjalanan kemudian ada yang kecewa dan sebagainya, itu masalah nanti. Dia akan dihukum di pemilu berikutnya kalau dia dianggap salah. Jadi tidak bisa seorang wakil rakyat, seorang wakil daerah yang dipilih by election, dipilih oleh daerahnya lalu kemudian diberhentikan oleh wakil rakyat dari daerah lain dalam balutan badan kehormatan. Apalagi ketika dia menjalankan tugas, dia berbicara. Dia berbicara salah, dia berbicara menyinggung orang, dia berbicara di luar konteks, dia berbicara apapun, dia dilindungi oleh hak imunitas itu dan hak imunitas itu ada di undang-undang; bukan di Peraturan DPD RI,” terang I Gede Pasek Suardika. (bp/ken)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!