DENPASAR, Balipolitika.com– Terdapat spanduk yang mencuri perhatian dalam aksi Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali (FPDPB) di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, Senin, 6 Januari 2025. Spanduk tersebut bertuliskan “Tutup Taxi Online”.
Usut punya usut, pada Kamis, 7 Februari 2019 Gubernur Bali, Wayan Koster berjanji melakukan penutupan operasional taksi online di Pulau Dewata setelah Pemilihan Umum 2019 berakhir.
Janji tersebut diucapkan Koster saat menerima dan beraudiensi dengan sopir pariwisata yang bekerja secara konvensional tanpa menggunakan aplikasi.
Dalam audiensi tersebut, sopir taksi konvensional meminta gubernur melakukan penutupan operasional taksi online sebab mereka merasa dirugikan.
Koster pun menanggapi dengan memberikan sejumlah janji. Salah satu janjinya adalah akan membuat aplikasi khusus untuk sopir taksi konvensional.
Namun, ketika janji itu disampaikan, massa yang menemuinya di depan Kantor Gubernur Bali langsung bersorak tidak setuju.
Sopir taksi konvensional ini tidak ingin dibuatkan aplikasi dan mereka hanya menginginkan gubernur melakukan penutupan operasional taksi online.
“Kita sudah bicara tadi, semua akan diterapkan secara modern, harus cari waktu tepat yang fisiknya sama,” kata Koster, Kamis, 7 Februari 2019.
Ketika mendapatkan sorakan, Koster kembali meminta massa untuk tenang dan ia berjanji akan melakukan hal yang terbaik, salah satunya dengan melakukan penutupan operasional taksi online.
Hanya saja, dia meminta massa untuk bersabar, sebab masih diperlukan waktu untuk melakukan hal tersebut.
Koster berjanji akan menerapkan kebijakan tersebut setelah Pemilihan Umum 2019.
“Saya perhatikan serius, tunggu waktu yang tepat saja, kita sikapi setelah pemilu,” katanya.
Mendengarkan pernyataan Koster, Ketua Bali Transport Bersatu (BTB) yang mewadahi sopir taksi konvensional I Nyoman Suwendra mengatakan pihaknya menagih komitmen Gubernur Bali.
Menurutnya, sejak taksi online beroperasi sekitar tiga sampai empat tahun lalu di Bali (mulai 2015, red) mereka kesulitan mendapatkan penumpang.
Bahkan, mereka harus antre lama di pangkalan. Sopir taksi konvensional mengalami penurunan pendapatan hingga 90 persen dari rata-rata biasanya.
Adapun, dalam sehari mereka mengaku hanya mendapatkan upah senilai Rp50.000 sampai Rp70.000 saja dengan jumlah penumpang hanya satu dua orang.
BTB juga menganggap dengan hadirnya taksi online, Bali dijual dengan harga murah.
Adapun biaya transportasi taksi konvensional dengan taksi online memang berbeda jauh.
Perbedaan harga ini lantaran taksi online yang tidak perlu mengeluarkan biaya kontribusi bagi destinasi maupun desa tempat menarik penumpang.
“Kami harapkan menutup taksi online di Bali, karena kami yang memilih Bapak Gubernur,” kata Suwendra, Kamis, 7 Februari 2019 silam.
5 tahun berlalu, polemik antara transportasi konvensional serta online terus berlanjut ditambah kini persoalan baru di mana kendaraan plat luar dengan leluasa bisa mengais rezeki di Bali tanpa sanksi tegas dari stakeholder terkait.
Mengutip tuntutan massa Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali (FPDPB) dalam gelaran aksi damai di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, menyebut masifnya keberadaan mobil plat (no pol) luar Bali sebagai transportasi online saat ini, secara tidak langsung telah merampok sumber pendapatan driver lokal di Bali.
“Masyarakat Bali dituntut kewajiban ritual tapi hak kita dirampok, diambil kaum kapitalis, sejak datangnya taksi online dan sopir luar Bali,” ungkap Made Darmayasa, Senin, 6 Januari 2025.
Diungkapkan langsung koordinator aksi, I Made Darmayasa bahwa kondisi Bali saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Pasca Covid-19 driver lokal Bali mulai banyak yang kehilangan sumber penghasilan, keberadaan orang luar Bali yang bebas menjadi sopir di Bali tak khayal telah menggerogoti kearifan lokal yang dimiliki para driver asli Bali.
“Aksi ini dilakukan untuk menuntut keadilan pemerintah mengingat situasi dan keadaan pariwisata Bali sedang tidak baik-baik saja terutama di sisi transportasi,” lanjutnya.
Beranjak dari hal tersebut, pihaknya bersama sejumlah rekan-rekan driver lain di FPDPB menuntut Pemerintah Provinsi Bali untuk segera mengambil sikap, menuntut beberapa hal yakni:
- Melakukan pembatasan kuota mobil taxi online Bali
- Menertibkan dan menata ulang keberadaan vendor-vendor Angkutan Sewa Khusus (ASK) di Bali termasuk juga rental mobil dan motor
- Membuat standarisasi tarif untuk Angkutan Sewa Khusus (ASK)
- Melakukan pembatasan rekrutmen driver hanya KTP Bali
- Mewajibkan mobil pariwisata ber-nopol Bali (plat DK) dan juga memasang identitas yang jelas di kendaraan.
- Melakukan standarisasi pada driver pariwisata yang berasal dari luar Bali.
“Membuat Standarisasi dan perbedaan tarif untuk angkutan sewa khusus terutama untuk zona pariwisata di Bali. Menuntut pihak terkait untuk meningkatkan pengawasan terhadap taksi online atau vendor yang memakai plat palsu atau double plat dan ketidakjelasan identitas driver,” bebernya.
Sementara menyambut tuntutan massa yang hadir, Ketua DPRD Bali, Dewa Made Mahayadnya alias Dewa Jack mengatakan, pihaknya akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali terkait polemik yang terjadi.
Pihaknya juga akan melakukan kajian terkait sejumlah tuntutan massa dari FPDPB, mencari solusi terbaik agar permasalahan yang terjadi bisa segera tuntas sesuai harapan seluruh rekan-rekan driver lokal Bali.
“Kita akan tindak lanjuti, kita akan koordinasi dengan Pemprov nanti. Tapi yang terpenting yang urgent (mendesak, red) ini adalah komunikasi, agar tidak rekan-rekan driver ini mengambil tindakan sendiri. Ini yang perlu kita pikirkan agar tidak terjadi gesekan di lapangan,” ungkapnya usai audiensi dengan massa. (bp/ken)