Serdadu
: Todd
Aku kini. Bukan lagi mesin
Dalam tubuh serdadu
Aku lahir kembali
Sebagai manusia
Perang adalah hidupku
Aku dilahirkan menjadi serdadu
Tak mengenal ayah ibu
Sekutu adalah saudaraku
Ketakutan adalah seteru
Aku diciptakan dari baja
Tak kenal perasaan
Tak kenal cinta
Tak kenal menyerah
Lemah adalah kematian
Mengintai setiap langkah
Waktu berlari. Berlari
Melesat jauh, aku tertinggal
Mesin-mesin semakin canggih
Melesat jauh, aku tertinggal
Tunas-tunas muda bersemi
Tunas-tunas tua berguguran
Di Negeri Arcadia
Aku terbuang
Sebagai pecundang
Di Negeri Arcadia
Aku merasakan kecupan sayang
Aku merasakan pelukan hangat
Hujan menderas di dada
Mata tersayat mengucur darah
Sebab kematian seorang sahabat
Di Negeri Arcadia
Mesin-mesin tak lagi berfungsi
Mesin-mesin tak lagi bernilai
Sekuntum bunga merekah
Mandi cahaya matahari
Di Stasiun
Pada gerbang keberangkatan
Menunggu saat tiba
Kereta akan membawaku
Menuju negeri asing
Terbayang dalam kereta
Hujan menderas dalam dada
menebalkan kaca jendela
Di bangku tunggu
Seorang tua menghampiri
Membawa sebuah pelita
“Lepas segala ikatan
yang menjadi beban
perjalanan menuju cahaya”
Aku berdiri, lalu pergi
Membelakangi kereta
Meninggalkan mimpi
Di rumah menanti cinta
Canda tawa sahabat
Bahagia selamanya
Dalam duka cita
Nanah Ini Bikin Gelisah
Nanah ini bikin gelisah
Kata-kata tajam
Melayang dan menukik
Membuat telinga teriris
Kupasung diri
Haruskah bermain drama
Menutupi luka hati
Api membara di dada
Membakar tubuh manja
Langit murung
Gumpalan awan
seperti ingin
menelan bumi
Nanah ini bikin gelisah
Pintu damai tertutup rapat
Ada Apa Dengan Langit Pagi Ini?
Menutup matahari dengan awan gelap
Sementara musim basah belum saatnya
Matahari redup dibuatnya
Burung-burung tak berkicau
Tak menyambutmu
Ada apa dengan langit pagi ini?
Adakah ia menangis
Melihat negeri ini
Dilanda bencana tiada bertepi
Purnama di Bukit Trunyan (1)
Di kaki bukit trunyan
Sepasang orang tua, suami istri
Menyunggi bawang di kepala
Tersenyum ramah menyapa
Di jalan setapak bebatuan
Penuh debu, langkah selalu terjatuh
Seorang pemuda dengan seekor anjingnya
Menunjukkan jalan
“Sebentar lagi sampai,” ujarnya
Langit semakin gelap, menambah semangat
Langkah kaki tiba-tiba ringan
Menuju puncak bukit trunyan
Dengan mata telanjang, bulan benderang sempurna
Gunung Batur terlelap, danau tenang
Dipeluki bukit-bukit, dikerubungi kunang-kunang
Purnama Di Bukit Trunyan (2)
Gigil angin menaburkan harum taru menyan
Membelai dahan-dahan pohon tua
Mengalunkan kicau burung-burung
kecil. Menyambut kedatanganku
Akulah Sisipus yang memikul batu
Ke puncak gunung. Terjatuh, terjatuh dan terjatuh
Langit berubah warna, hitam pekat
Seorang datang membawa terang cahaya
Menyalalah jiwa! usir kelam selimuti diri
Pecahkan batu! Mengikat langkah ini
Raihlah puncak! Segenap jiwa raga
Purnama tiba. Terangnya membuka mata batin
Membuaikan gunung, melelapkan ikan-ikan
Danau Batur. Pijar kunang-kunang menerangi hati
Pagi di Kedisan
Fajar tiba
Wajahnya berseri
Di kaki bukit, tangan dingin kabut
membelai danau
Seorang nelayan mengayuh sampan
Memunguti rejeki yang terjala
Harum kopi dan tembakau
Kawan setia
Menikmati karya indah Sang Sutradara
Burung layang-layang bernyanyi
Mengitari pohon beringin
Jemari tua menaburkan persembahan
Bunga-bunga mekar semerbak
Anak-anak riang bernyanyi
Menarikan tarian bumi
Melukis keindahan ibu pertiwi
Di Ruang Sunyi
Hujan berjatuhan. semakin deras
Rembulan menangis. Dadaku basah
Di kamar sendiri. Dengan sebotol arak
Kutuangkan segala duka
Aku yatim. Orang asing
Ditelantarkan
Tak dikehendaki, di dunia
Bercermin diri. Belajar damai
Belajar memaafkan
Terus berarti. Seperti matahari
Pulang
Gunung Batur bermahkotakan mega
Bukit-bukit merangkul danau
Seorang nelayan membuka jala
Melepaskan ikan-ikan dari jeratan
Seorang perempuan tua mendekat, bertanya “Kapan pulang?”
“Saat fajar timur mengusir embun,” jawabku
Sebuah perahu menyibak gelombang
Mengantar pelancong membeli keinginan
Ke tempat dimana tulang-tulang berserakan
Di bawah pohon Taru Menyan
Dingin jemari angin
Meraba kulit
Kicau burung prenjak
Memanggil pulang
Ke barat matahari pulang
Ke Pura aku pulang
Mengatupkan kedua tapak tangan
Mohon ampunan dan kerahayuan
BIODATA
Bonk AVA adalah nama pena dari Putu Sumadana, lahir di Denpasar, 27 Juli 1987. Puisi dan esainya dimuat di sejumlah media masa. Dan puisi-puisinya terangkum dalam antologi bersama, antara lain: “Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta”, “Mengunyah Geram”, “Saron”, “semesta jiwa”. Antologi puisi tunggalnya “Roda Musim” telah terbit tahun 2023. Selain menulis, ia juga melukis. Beberapa pameran bersama telah diikutinya, antara lain: Pameran Virtual dari Komunitas Perupa Tasikmalaya “Melawan Corona” (2020), Pameran Bertajuk “Silang Sengkarut” (2022) dan pameran bersama bertajuk “EgalitArt” (2023) dari Yayasan Banjar Global Nusantara. Beberapa kali diundang dalam acara melukis bersama seperti acara “Serupa” (2021) yang diselenggarakan oleh Jatijagat Kehidupan Puisi dan beberapa event melukis bersama atau mural pernah diikuti. Kini bermukim di Bali.
M. Kholilullah alias Holy, lahir di Denpasar, 9 Juni 1997. Ia belajar melukis secara otodidak. Ia pernah berpameran bersama di Universitas Indonesia (Jakarta, 2023) dan pameran tunggal di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP, 2004). Selain melukis, dia aktif berjualan cilok untuk menghidupi dirinya.