MONTASE TUBUH TUHAN
Di setiap lekuk tubuhmu
aku melihat sorgaNya, di sana
menggoda merayu para lajang
mencoba mengasuh para jalang
namun sejauh ini, tak ada Filsuf, Penyair maupun Raja
bahkan Nabi pun belum sempat menjamahnya
sebab, kau punyaku
dan hanya aku yang berhak mendekap lama,
di sana—di setiap lekuk tubumu—yang
begitu jumawah merawat kalam-kalamNya
Di tubuhmu juga, sungai Kautsar mengalir deras doa-doa
membasuh bebatuan yang berlumutan dosa-dosa kepala
rindang pohonan dan ilalang menjelma tempat teduh
bagi sajak-sajakku
Matahari yang terbit di matamu dan tengelam di mataku
seketika malam menyapa, menimang tubuhku dengan tubuhmu
sambil menyanyikan lagu yang dibawakan angin dari mulut Tuhanmu
lalu kita nyenyak bersama, terlelap tanpa ada cakap yang terucap
hening, tinggal sunyi yang membising
Pada tubuhmu aku ingin baka sebaka-bakanya
bahkan aku ingin menisankan diri di sana,
di tubuhmu di mana montase tubuh Tuhan memanggilku.
Bandung, 2024
DI MEJA PENYAIR
Di atas meja itu huruf-huruf berlayar
menjala rindu di laut nestapa
tersisah doa yang terus bergemuruh
di langit-langitnya
Hening membungkam ruang
menjarah kata dari buku yang terlelap nyenyak
Di meja itu aku diantarkan ke pintu subuh
menjemput amin di setiap tangan yang mulai dingin
syair-syair bertaburan kepada-Nya
tak ada titik, tak ada koma di sana
Di meja itu aku meracik tembakau
yang terbuat dari galau dan risau
lalu membakarnya dengan api yang menyala di kepala
menyalalah, menyalalah hingga fajar ikut menyapa
Bandung, 2024
HUJAN BULAN NOVEMBER
Hujan kembali mengetuk pintu dada
mengguyur seluruh kenangan di sana
Setiap rintiknya adalah kata-kata berjatuhan
entah kabar baik atau buruk bagi petani dan nelayan
November ini dimulai dengan kebasahan
punggung-punggung kota dan kaki-kaki desa kedinginan
Terlihat seorang penyair sedang menggigil di depan rumah
berharap ada pelukan untuk ia singgah
Bandung, 2024
SEPERTI HUJAN YANG BERJATUHAN
Seperti hujan yang berjatuhan
kau basahi tubuh dengan kata-kata
dan doa yang dirubaiatkan penyair
mendung menggumpal di kepalamu
kini memadati ubun-ubunku
jatuhlah satu persatu puisi itu
ke setiap tubuhku dan tubuhmu
lalu, kita menggigil dalam pelukan dan kecupan
melepas hasrat dari jerat ruang kesendirian
dan tak lama kemudian hujan reda
namun kita tetap lekat dalam dekap
Seperti hujan yang berjatuhan
aku bakal meninggalkan pelangi di matamu
sebagai bukti bahwa aku telah menderas di tubuhmu
Seperti hujan yang berjatuhan
kita mengalir ke seluruh tubuh-tubuh dan pemukiman
tergenang menjelma kenangan
Bandung, 2024
PEREMPUAN ITU BERNAMA IJEN
Aku baru saja mencintainya
Lewat beberapa beranda media
Aku rasa ia firdaus yang Tuhan pasung di baladah ini
Dan membiarkan aku untuk berkelana dan mencicipi
Setiap kelezatan tubuhnya
Perempuan itu aku sebut Ijen
Yang memelihara sekuntum bunga sorga
Tak ada roh penghianatan dari wajahnya
Tak ada sketsa manipulasi dari molek tubuhnya
Bahkan nyaris tak ada aroma dystopia di sana
Sungguh aku ingin bertemu
Lalu bertamu dalam satu meja
yang di atasnya tersaji sepiring hidangan
buatan Tuhan
dan sekilas itu mirip dengan pesona tubuhmu, Ijen.
Bandung,2024
KATA-KATA ITU BERKELANA
Kata-kata itu berkelana
kulihat di sana,
di tubuh dunia yang telah lansia
begitu banyak rubaiat dan nubuat
menjalar ke sekujur tubuhnya
Kata-kata itu berkelana
aku, kau atau kita dan dunia
lahir dari persetubuhan waktu dan kata-kata itu
hidup dan mati
berada di tangan para kekasih
Kata-kata itu berkelana
di setiap waktu yang berdetak
dan jantung yang berdetik
kita dan kata-kata itu suka bersajak
dengan kesepian yang begitu asyik
Kata-kata itu berkelana
mencoba memberi kabar nyata
bahwa Tuhan adalah penyair
dan kita kata-kataNya yang mengalir
Bandung, 2024
NUBUAT
Di rooftop sebuah cafe
aku dan sepasang kursi
sedang bernubuat dengan diri sendiri
tentang laju peradaban
yang bertowaf liar di kepala para tuan-tuan
sesekali terdengar beberapa sajak
dari jeritan anak-anak
dalam termangu aku
terlihat bayang-bayang Gaza
melambai-lambaikan tangan dari kejauhan
memberi tahu bahwa sesungguhnya
mereka sedang dalam pelukan Tuhan
tanpa rohim dan rahman-Nya
kita sama-sama berada dalam belenggu dystopia
mengunyah nasib pilu di atas tungku waktu
mengaminkan setiap doa para ibu
yang bermuara hingga ke hulu subuh
kelak bongkahan pilu dan doa-doa itu
bakal menjadi artefak di surgamu dan surgaku
mari bersujud pada-Nya yang wujud
karna pada-Nya, dan hanya pada-Nya
kita berserah diri tanpa beresah hati
dengan sepenuh-penuhnya
Bandung, 2024
ELEGI SEORANG PENYAIR DAN TUKANG PARKIR
Di depan indomaret
seorang penyair dan tukang parkir
sedang menyeduh nasib
sambil melihat lorong-lorong derita
yang dilalui kaki-kaki kota
Mereka tak ada waktu untuk bermalming
sebab, minggu-minggunya telah bising;
bising kenalpot, bising sirene
dan bising sorak-sorai kampanye
Sungguh tak ada ruang
bagi mereka untuk hening sejenak
kendaraan terus berlalu-lalang
motor, mobil dan keranda
menjelma distopia
Bandung, 2024
BIODATA
Mh. Dzulkarnain, lahir di Sumenep, Madura. Ia menempuh Pendidikan di UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Puisi-puisinya dibukukan dalam sejumlah antologi, antara lain Antologi Puisi Nusantara (Indonesia-Malaysia-Singapura) Identitas, Kemanusian, Kampung Halaman (2023), Antologi Puisi Dari Negeri Poci Ke-14 JAUHARI (Jakarta, 2024), Antologi Puisi Jambore Sastra Asia Tenggara Ijen Purba: Tanah, Air dan Batu (2024), dll. Selain itu, puisinya juga dimuat di sejumlah media massa. Puisinya masuk dalam 50 nominasi Lomba Cipta Puisi Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia.