DALAM ruangan guru dengan dinding bercat kusam dan sedikit retak oleh matahari yang masuk itu Pak Sanggah sedang membolak-balik buku siswa. Beliau seorang ASN berusia sekitar 50 tahun, bertubuh kurus, kulit sawo matang, dengan baju seragam guru yang kurang lama menyetrika. Dengan telaten Pak Sanggah yang mengajar materi PKN di SD Sine Qua Non ini memeriksa hasil pekerjaan siswanya. Ia sadar betul koreksian akan cukup menyita waktunya. Selain harus adil sesuai porsi, ketelitian bacaan akibat rabun di matanya juga jadi perhitungan yang cermat. Pak Sanggah sesekali mengangkat catatan itu ke langit. Mengadu dengan cahaya untuk memperjelas maksud tulisan siswanya.
Dalam ketiadaan, sesekali Pak Sanggah mendengus manakala pandangannya harus tercuri oleh sebuah surat beramplop putih di sudut meja. Surat yang sudah ia ketahui isinya. Surat mutasi kepindahan Pak Sanggah.
Di luar, gerimis turun pelan seperti memberikan roman dukungan kepada hatinya yang sedang gelisah. Semua berawal dari keberanian Pak Sanggah yang mempertanyakan anggaran studi tour dan bantuan siswa. Sebagai wali kelas, memperoleh informasi tentang keadaan dan perkembangan siswanya tentu telah menjadi semacam amanah wajib. Sementara di era digital di mana siswa-siswa telah kegandrungan media sosial, memang warta yang bagaimana untuk mereka nafikan. Konten-konten kecurangan pihak sekolah yang dibongkar oleh kreator tak pelak menjalar dan menciptakan martir di kepala siswa. Itu juga yang membuat mereka dan orang tuanya vokal. Dan memang itu kebenaran yang harus Pak Sanggah bela sesuai hak yang melekat pada mereka. Sekalipun dalam beberapa hal, pembelaan itu kerap berujung pada selip dirinya dengan atasan bahkan rekan guru. Dari itulah diam-diam Pak Sanggah mulai dianggap semacam duri bagi banyak pihak.
“Bapak dipindahkan karena..ya terlalu berani ngomong” bisik Bu Siska beberapa hari lalu.
Pak Sanggah tersenyum tipis mengingat itu. Mungkin dirinya sudah terlalu lelah untuk merasa marah.
Pak Sanggah lalu menata koreksian itu kembali. Ia dorong tubuh tuanya untuk bersandar. Ia lihat jam, 3 menit lagi istirahat akan selesai. Pak Sanggah menyapu baju bagian lengan dan sedikit membenarkan kerahnya. Usai dari sana dirinya kemudian meraih kacamata dan menggosoknya dengan tisu. Sejurus kemudian ia pasang kembali menghiasi dua matanya.
Mungkin ini memang waktunya pergi, batinnya. Pak Sanggah lalu berdiri untuk masuk ke kelas.
*
Ruang Dinas Pengajaran dan Pengamalan Nilai Luhur itu berhawa seolah merangkak ke lembah yang lebih dingin, lebih rapi, dan lebih licik.
Galih baru satu tahun bekerja di sini. Perawakannya muda dan tentunya bergelora semangat nasional yang ia dapatkan saat masa kuliah.
Siang itu Galih sedang mengambil berkas ketika tanpa sengaja mendengar percakapan samar dari ruang rapat atasannya. Pintu yang tidak sepenuhnya tertutup itu menjadi celah menguarnya siasat busuk.
“Ini Map berisi permohonan saya, Pak. Syarat lain ada di dalam” kata Pak Prambudi, Kepsek SD Sine Qua Non. Jemarinya secara licin menyisir celah dalam map. Tampak amplop putih di sana.
Pak Damhuri selaku Kabid yang mengerti gesture tersebut kemudian sedikit meminggirkan map.
“Pak Parambudi, yang begini tidak bisa segitu segini. Proses harus tetap naik sesuai kadarnya. Jika alasan Pak Pram memutasi Pak Sanggah karena vokal, saya rasa itu tidak terlalu kuat. Bahkan mungkin bakal memicu tanggapan negatif di lingkungan sekolah.”
Pak Prambudi yang bertubuh tambun dan berkepala plontos itu maju dengan menyilangkan tangan di atas meja.
“Saya mengerti itu, Pak. Namun ini menyangkut nama para bedebah berdasi di sana. Jika keluar permukaan, saya yakin atasan Pak Damhuri pun akan kena imbasnya.”
Pak Damhuri membenarkan kemejanya. Di sana Pak Prambudi langsung mengutarakan permasalahan yang Pak Sanggah ungkap. Keterkaitan nama-nama besar serta peluang hal tersebut akan melebar jika tak segera ditangani. Semua sangat jelas dan logis terkait maraknya sidak belakangan yang dilakukan sebuah tim kreator di media digital. Tak pelak semua uraian Pak Prambudi membuat Pak Damhuri cukup mengeluarkan keringat dingin.
Tentu hampir sama kagetnya dengan Pak Damhuri, Galih yang mendengar percakapan kotor di sana segera meraih satu deduksi bahwa nama ‘Pak Sanggah’ yang dimaksud pasti adalah nama gurunya. Guru yang dulu pernah merangkul Galih saat semua keraguan dari guru lain mencecar hebat dirinya.
“Baiklah, saya upayakan satu Minggu ini mutasinya diproses. Dua Minggu nanti pasti beres” tukas Pak Damhuri.
Ingin rasanya Galih membanting pintu. Tapi ia tahu bahwa melawan sistem butuh lebih dari sekadar kemarahan.
“Saya jujur kaget bahwa nama itu terkait hal beginian, Pak Prambudi” lanjut Pak Damhuri sambil menyeka keningnya yang berkeringat.
“Mau bagaimana Pak. Semua kelaparan. Sekarang sangat ribet kalau sampai ke media. Semua menjalar. Parahnya akar dari ini pasti berlaku sampai lingkup keluarga kita, Pak.”
Pak Damhuri membenarkan itu. Merasa udara dari pendingin seolah mati fungsi, Pak Damhuri mengajak Pak Prambudi untuk mencari angin di luar. Keduanya kemudian berdiri meninggalkan ruangan.
Saat sampai ambang pintu, Galih sengaja memapas Pak Damhuri dan Pak Prambudi.
“Mohon maaf, Pak. Berkas ini saya harus taruh di mana?” tanya Galih dengan membawa puluhan map warna-warni.
“Dari siapa?” tanya balik Pak Damhuri.
“Dari Kabupaten Nomanden, Pak. Untuk pengesahan SK.”
“Oh, letakkan di lemari. Susun sesuai kabupaten di sana” jelas Pak Damhuri tanpa curiga. Menyadari itu akan memerlukan waktu, seperti kebiasan yang Galih pelajari, atasannya itu pada akhirnya menitipkan kunci ruangan dan minta diserahkan nanti di tempat yang Pak Damhuri katakan.
“Baik, Pak” jawab Galih tersenyum. Senyumnya bukan sebagai penghormatan melainkan perasaan lega karena rencananya berjalan mulus.
Setelah keduanya pergi, Galih segera masuk untuk melihat berkas mutasi. Benar, pikirnya. Berkas ini untuk mutasi gurunya, Pak Sanggah. Galih lalu menemukan secarik memo terselip di bawah meja komputer yang bertulis “Mutasi Prioritas.” Galih menggeleng melihat kezaliman di depannya. Dia segera memotret semua dengan tangan gemetar.
Malam itu di kamar, Galih membaca ulang foto memo dan berkas dalam map. Kata-kata Pak Sanggah tiba-tiba entah kenapa terngiang jelas di benaknya:
“Kalau kamu percaya diri, dunia nggak bisa gampang belokin kamu.”
Galih menutup mata. Diam adalah larangan dari ajaran Pak Sanggah. Ia membuka mata. Bara ada dalam mata Galih. Sekejap, bara itu berubah nyala yang membakar.
Tangannya segera meraih tas kerja. Sebuah laptop ia tarik lalu membuka layarnya. Tak lama jemari Galih kemudian bergerak merajut kata.
PENGAJUAN KEBERATAN ATAS MUTASI GURU SANGGAH PRANOTO, S.Pd.
Nama Pengaju: Galih Kusuma Adya
Sehubungan dengan rencana mutasi yang ditunjukkan kepada Bapak Sanggah Pranoto, S.Pd., atas berbagai lampiran dalam surat ini saya selaku Pemberdaya Bidang Keguruan Kreatif dan Inovatif mengungkapkan ketidaksetujuan. Hal di atas saya ajukan atas beberapa pertimbangan di bawah ini:
1…(Surat ini panjang dan rinci dengan beragam bukti dari prestasi Pak Sanggah.)
Tanpa keraguan sedikitpun, manakala surya belum tegak lurus di atas kepala, pada keesokan hari Galih melangkahkan kakinya menuju kantor inspektorat. Ada percakapan datar antara dirinya dan bagian pemangku di sana yang intinya bahwa tembusan pengajuan dari Pak Damhuri belum sampai. Atas dasar hal yang menurut Galih merupakan kesempatan, pemuda itu bercerita panjang kali lebar. Bahkan dengan ketegasan dan prinsip penuh, Galih juga memperdengarkan percakapan hasil kupingan dirinya yang telah melakukan perekaman. Pemangku di sana tercengang menyaksikan data yang telah disuguhkan Galih. Dari roman wajahnya yang jujur, pemangku tersebut berjanji untuk mengusut skandal itu.
Tak perlu waktu lama manakala tembusan dari Pak Damhuri telah sampai pada bagian inspektorat. Suasana kantor tempat Galih bekerja mendadak mencekam. Kabid berubah muka dan melabrak siapa saja. Ada sebuah kelegaan manakala bagian inspektorat itu secara profesional menyembunyikan identitas Galih. Namun sebagaimana dinding dalam sebuah tempat kerja, entah melalui siapa, toh warta keberatan Galih terendus juga.
Di sebuah lorong sempit, Pak Kadar, pegawai senior di tempat itu langsung menarik Galih untuk bicara.
“Kau sudah gila, Galih?” desisnya. “Hal apa yang buatmu tercebur sedemikian rupa. Semua di sini topeng. Jika begini, siap-siap kau tergilas” tegas Pak Kadar khawatir.
Galih mengangkat dagu “Kalau nggak ada yang nekad, sistem begini jadi turunan.”
“Tapi yang ini beda, aduhh..” kata Pak Kadar memegang dahinya.
Galih memegang pundak kanan pegawai senior di depannya itu.
“Anda tenang saja, Pak. Meski risiko, saya yakin masih banyak pemangku jabatan yang tegas dan berani atas aduan ini.”
Pak Kadar manggut-manggut berusaha memasukkan pernyataan itu ke dalam akalnya. Walau nyatanya itu sungguh sulit ia cerna. Dan memang benar yang Pak Kadar cemaskan. Usai bocornya gugatan Galih, mulailah beberapa tugas-tugas pemuda itu diundur. Akses Galih tak luput dari pengawasan bahkan pembatasan. Rekan-rekan lain pun mulai menjarak seolah Galih pembawa wabah.
Mungkin sekarang Galih mampu merasakan posisi Pak Sanggah. Bukan kendur atau meratapi, semangat itu kian bergemuruh dan menjadi topan. Sudah saatnya media sosial tahu tentang ini, gumamnya satu waktu. Galih pun mengerti kemana informasi ini harus tertuju. Ia pukul tapak tangan kirinya untuk lebih memantapkan niat.
*
Satu bulan yang berat, Galih lalui di tempat kerja dengan tebal wajah dan makanan intimidasi. Dia pun tak memasukkan semua itu ke dalam hatinya. Dia sadar itu biasa dalam dunia kerja. Banyak orang melakukan penyelematan diri melalui bermain peran atau menjadi pribadi yang lain. Galih percaya, saat hukuman itu tiba atau pergantian pimpinan berlangsung, semua rekan sejawatnya akan kembali. Ini hanya tentang waktu dan kuatnya kesabaran.
Pada satu momen manakala dirinya sedang tekun menelisik berkas pekerjaannya, satu pesan seluler dari seorang yang ia kenal mencuri pandangnya.
Pesan itu tertulis begini.
“Kawanku, aku baru saja dapat kabar bahwa gugatanmu memperoleh pertimbangan dari Kadis dan Inspektorat. Sayangnya, mutasi harus tetap berlangsung. Ku kirimi salinan surat mutasi tersebut. Kau periksa saja sendiri.”
Selanjutnya jemari Galih yang gelisatan segera membuka sebuah file dokumen word kiriman temannya itu. Pada bagian tujuan kepindahan tersemat “Mutasi ke SD Sin Cos Tan.” Membaca itu Galih segera ambrukkan wajahnya ke meja dengan topangan kedua lengan. Dia menangis sesegukan.
*
Jingga merah berpoles kelabu menggantung di langit sore. Cakrawala redup tergantikan ambang malam yang mulai menyelimut. Galih yang melihat motor butut Pak Sanggah masih terparkir sendirian di SD Sine Qua Non memberanikan diri masuk ke sekolah.
Saat kaki kuatnya melangkah pelan menuju kantor, langkah kaki tua juga tampak muncul dari pintu depan itu.
“Assalamualaikum, Pak,” sapa Galih menekan wajahnya. Sosok mulia di depannya sekarang begitu kurus dan tampak ringkih. Semua rambutnya putih dengan urat-urat keriput melipat-lipati wajahnya. Galih tak kuasa menahan haru.
“Waalaikum..” sebelum habis kalimat doa itu tubuh kurus Pak Sanggah langsung terbekap pelukan hangat Galih.
“Pak Sanggah. Ini Galih. Pak Sanggah?? Duh gusti, sehat selalu ya Bapak..!!” peluk Galih menangis mengusap-usap punggung gurunya itu.
“Alhmdullah, Nak. Bapak diberikan kesehatan terus oleh Allah SWT.”
Keduanya lalu melepas pelukan hangat itu. Pak Sanggah tampak menatap wajah Galih yang asing. Perawakan bangir dengan roman kuat dan mata tajam. Jujur, gurunya itu pangling. Merasa itu sesuatu yang wajar mengingat jumlah siswa yang terlalu banyak Pak Sanggah ajar, Galih hanya tersenyum. Namun sejurus kemudian sebuah suara serak bergetar keluar dari bibir keriput Pak Sanggah.
“Kamu Galih yang dulu mecahin kaca sekolah? Galih yang sering kelahi dengan siswa lain? Kamu Galih yang ku tampar dulu?”
Galih tertawa. Kenangan itu muncul sebagai masa yang tak akan ia lupa.
“Benar, Pak.”
“Masyallah….” gantian Pak Sanggah yang segera memeluk dan mengelus-elus kepala Galih. Selama sekian waktu keduanya melepas rindu dengan bertanya kabar dan pekerjaan. Merasakan nostalgia itu muncul sebagai kebahagiaan membuat Galih benar-benar memandang sosok guru tua di hadapannya itu sebagai orang tua kandung. Usai menentukan tempat yang baik, Galih lalu mulai masuk ke topik tujuannya.
“Dengar-dengar Bapak mau pindah ke SD Sin Cos Tan ya?”
Pak Sanggah merasa terkejut tapi segera ia uraikan senyumnya.
“Kok kamu tahu. Alhamdulillah, mungkin masa pensiun Bapak akan selesai di sana. Dinas sungguh baik, sekolah itu jaraknya cuma 500 meter.”
Galih ikut sumringah mendengarnya. Ia yang mengetahui lokasi pindah Pak Sanggah terlebih dahulu benar-benar menghamburkan rasa syukur yang tak terhingga. Semoga di sekolahan yang dekat dengan tempat tinggalnya itu, guru kesayangan di depannya ini mampu menemukan kebahagiaan sepantas pahlawan pendidikan. Galih lalu menarik tas yang ia bawa menuju pangkuannya. Sekejap ia mengeluarkan sebuah amplop.
“Ini buat Bapak.” Rasa penasaran segera menggelayut di wajah gurunya itu. Pak Sanggah membuka perlahan. Di dalamnya, ada berkas pengesahan mutasi dan penghargaan khusus yang diam-diam diurus Galih. Berkas-berkas itu oleh Pak Sanggah dekatkan ke mata untuk mencermatinya.
Tiba-tiba tangan Pak Sanggah bergetar. Ia alihkan pandang dan menatap Galih dalam-dalam.
“Di pikiran dan sepengalaman hidupku, mutasi itu pasti di tempat terpencil. Jadi kau yang menguruskan ini untukku, Galih?”
Galih menahan tangisnya. Ia menukas.
“Semua ini tidak sepadan dengan jasa Bapak yang terus percaya kepada saya” ucapnya sambil mencium tangan Pak Sanggah berulang kali.
Pak Sanggah menahan napas. Dia tak mau tampak ringkih dengan perasaannya sekarang.
Tapi suara bergetar itu tak pernah bisa ia dustakan.
“Kau sudah jadi orang hebat, Nak.”
Udara susut ke titik terendah. Semua menguar dengan uapan hangat. Rinai hujan jatuh saat senja dibekap malam. Dua orang di sana merebang dengan masa-masa yang penuh linang. Semua tentang ketulusan pengabdian dan kepantasan penghargaan.
*
Sebuah pagi di mana aktivitas pembelajaran sedang berlangsung di SD Sine Qua Non, Bu Siska yang kebetulan bertugas hari ini sebagai guru piket mendapatkan tamu yang keluar dari 2 mobil. Kisaran 10 orang berpakaian rapi datang berkunjung ke sekolahan tempatnya bekerja itu.
Dengan senyum Bu Siska menyambut kedatangan mereka. Salah seorang pria tinggi berkulit kuning langsat, berkacamata, dan roman wajah dingin yang seolah ia ramah-ramahkan mulai mengenalkan diri dan menyampaikan maksud.
“Kami dari Loyalitas Keadilan Hukum Sekolah Departemen (Lokahusmen) bermaksud bertemu dengan Kepala Sekolah Anda. Apa Pak Prambudi di kantor?”
_________________
BIODATA
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat di media cetak dan online seperti di koran digital Balipolitika, Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, Radar Utara, Radar NTT, Kaltim Post, Negeri Kertas.com, Ngewiyak.com, Cakra Dunia.com, Tatkala.com, Potret.com, Nolesa.com, Flores.com, Kompasiana.com, dan Retizen Republika. Untuk berdiskusi dengan Heri Haliling pembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, email [email protected].