STOP: (Kanan) Pakar Hukum, Dr. Togar Situmorang, SH., MH., M.AP., C.Med., CLA. (Sumber: Dok Pribadi)
DENPASAR, Balipolitika.com – Menyoroti maraknya praktik kriminalisasi terhadap Advokat yang diduga banyak dilakukan oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH), Pakar Hukum asal Medan, Dr. Togar Situmorang meminta para oknum tersebut untuk berhenti melakukan praktik kriminalisasi terhadap Advokat dengan menghormati adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait imunitas profesi Advokat dan selalu berpedoman terhadap Undang-Undang Advokat, dikutip Selasa, 29 April 2025.
Kepada wartawan Balipolitika.com, pria yang akrab disapa Bang Togar tersebut selanjutnya menjelaskan hal tersebut menjadi perhatian serius baginya, mengingat banyaknya Laporan Polisi (LP) terhadap Advokat yang dilakukan baik oleh pihak yang merasa dirugikan maupun oleh mantan kliennya sendiri. Di sisi lain, hubungan antara advokat dan klien itu secara hukum telah sah terikat berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang syarat sahnya perjanjian, yang diperkuat dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Selain itu, ia juga merujuk pada Pasal 1792 KUHPerdata, kuasa adalah suatu persetujuan di mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Artinya, hubungan antara klien dan advokat merupakan konsensus hukum yang sah, tidak dapat diputuskan sepihak, apalagi dikriminalisasi hanya karena adanya ketidakpuasan.
“Banyak contoh kasus di mana advokat menjadi korban kriminalisasi melalui laporan pidana oleh mantan klien atau masyarakat, bahkan ketika advokat hanya menjalankan tugas profesionalnya. Laporan ini diterima oleh kepolisian dan diproses dalam bentuk LP, tanpa mempertimbangkan lebih dulu konteks hukum hubungan antara advokat dan klien. Ini Teror terhadap Profesi Advokat dan Lembaga Peradilan,” ungkapnya melalui sambungan telepon.
Ia memaparkan, sesuai ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat dijamin memiliki hak imunitas dalam menjalankan profesinya, yakni tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas tindakan profesionalnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik untuk kepentingan klien. Perlindungan ini dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, yang menegaskan bahwa imunitas advokat merupakan bagian dari perlindungan konstitusional atas hak atas peradilan yang adil (fair trial) dan hak atas bantuan hukum.
“Realita di lapangan memperlihatkan adanya kecenderungan kriminalisasi terhadap advokat, di mana tindakan profesional advokat dipersepsikan keliru sebagai tindak pidana oleh pihak yang merasa tidak puas dengan proses hukum atau hasil akhirnya,” lanjutnya.
Deretan Kasus Kriminalisasi Advokat di Indonesia
Kasus kriminalisasi terhadap advokat bukan peristiwa baru. Beberapa contoh kasus yang terjadi sebelumnya di antaranya:
- Kasus Tony Budidjaja.
- Kasus OC Kaligis, Marcella Santoso dan Ary Bakrie yang walaupun berhubungan dengan dugaan suap, menimbulkan perdebatan tentang batas tindakan profesional advokat saat mendampingi klien.
- Kasus Fredrich Yunadi, yang dituduh merekayasa kondisi kliennya Setya Novanto. Perdebatan muncul apakah tindakan itu bagian dari strategi pembelaan yang sah atau tidak.
- Kasus Alvon Kurnia Palma, advokat yang dilaporkan saat membela hak klien dalam sengketa perdata.
- Kasus Advokat HAM di Papua, yang mengalami tekanan, intimidasi, hingga laporan pidana akibat mendampingi kasus-kasus politik dan pelanggaran HAM.
Berdasarkan penjabaran di atas, Togar menilai kondisi tersebut menunjukkan bahwa advokat di Indonesia masih sangat rentan menjadi korban kriminalisasi ketika mereka seharusnya dilindungi dalam menjalankan peran profesinya.
“Aparat Penegak Hukum Harus Lebih Bijak. Pentingnya mereka untuk memahami posisi advokat sebagai bagian integral dari sistem peradilan,” sentilnya.
I menegaskan bahwa Advokat dalam menjalankan tugasnya memiliki hak imunitas yang dijamin oleh undang-undang. Polisi yang notabene sebagai sesama aparat penegak hukum, seharusnya memahami bahwa laporan yang berkaitan dengan tugas advokat mesti dilihat dalam perspektif profesi, bukan langsung dipidana, mengingat hal tersebut tidak hanya merugikan profesi advokat, tetapi juga mengancam hak masyarakat untuk memperoleh pembelaan hukum maksimal.
“Kalau advokat dibatasi atau diintimidasi dengan ancaman laporan pidana, masyarakat yang mencari keadilan menjadi korban sesungguhnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dr. Togar menyatakan bahwa hubungan advokat dengan klien adalah konsensus hukum yang sah, termasuk soal kesepakatan biaya jasa hukum yang merupakan wujud dari kebebasan berkontrak.
“Jika seorang advokat mengerjakan kepentingan hukum klien, itu adalah konsensus. Masalah kesepakatan dana juga bagian dari hak kebebasan berkontrak. Jika nanti ada perselisihan, penyelesaiannya tetap harus berdasarkan perjanjian, bukan dengan kriminalisasi. Jangan dipangkas prosedur hukum, tetap harus kita taati. Aparat hukum juga harus peka dan peduli,” ujar Dr. Togar.
Ia mengilustrasikan, “Ibarat seorang pasien di rumah sakit mengeluarkan biaya banyak untuk perawatan. Namun apabila pasien tersebut meninggal dunia, tidak serta-merta dokter dianggap bersalah atau harus mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Sama halnya dalam dunia advokat; tidak semua hasil bisa sesuai keinginan klien, tetapi tugas advokat adalah berusaha maksimal berdasarkan hukum.”
Imunitas Advokat Adalah Pilar Keadilan
Dr. Togar menegaskan bahwa hak imunitas advokat bukan berarti membebaskan advokat dari akuntabilitas, melainkan untuk menjaga keseimbangan sistem peradilan.
“Imunitas bukan berarti advokat bebas berbuat sewenang-wenang, tapi advokat harus diberi ruang untuk membela kliennya tanpa takut dikriminalisasi. Tanpa perlindungan itu, advokat tidak bisa maksimal membela hak-hak rakyat,” katanya.
Dalam konteks ini, Dr. Togar Situmorang menyerukan seluruh aparat hukum untuk kembali ke prinsip dasar: bahwa profesi advokat adalah mitra strategis dalam penegakan hukum, bukan pihak yang harus dicurigai.
“Aparat penegak hukum harus menjadi garda terdepan memastikan advokat bekerja dengan aman, independen, dan profesional. Bila ini diabaikan, maka cita-cita negara hukum bisa runtuh dari dalam,” pungkasnya.
Kasus kriminalisasi terhadap advokat adalah ancaman nyata bagi demokrasi dan negara hukum. Perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan tugasnya bukan hanya kewajiban moral, tetapi amanat konstitusional. Semua pihak harus bersinergi menjaga marwah profesi advokat demi terciptanya keadilan substantif bagi seluruh rakyat Indonesia. (bp/gk)