DI KAMPUNG KAMI, nama Matjago sungguh populer. Tak kalah populernya dengan para pesohor dan elite politik yang sering berdebat kusir di acara talk show pada stasiun tipi.
Semua warga yang berdiam dan berkehidupan di Kampung Kami, sangat kenal dengan lelaki setengah baya yang hidup melajang itu. Mulai dari anak-anak hingga kaum tua.
Maklum, Matjago dikenal sebagai biang keributan dan pembuat persoalan sosial lainnya di Kampung Kami. Warga di Kampung Kami menyebutnya sebagai Kepala Ganak.
Mulai dari tukang mabuk hingga mencuri barang milik para juragan dan orang kaya di Kampung Kami.
Hebatnya, Matjago tidak pernah mengusik barang-barang milik milik rakyat jelata. Tak pernah sama sekali.
Lelaki yang masih melajang itu hanya mencuri barang dan ternak milik para juragan dan orang kaya di Kampung Kami hanya untuk mengisi perutnya.
Maklum Matjago tidak punya pekerjaan tetap. Matjago mencuri barang dan ternak milik para juragan dan orang kaya di Kampung Kami bukan untuk memperkaya dirinya pribadi. Sekedar menyumpal perutnya dari kelaparan.
Bahkan banyak kaum lemah dan fakir miskin di Kampung Kami yang dibantu beras, dan bahan sembako oleh Matjago secara diam-diam.
Matjago tidak seperti mereka yang berdasi yang mencuri aspal, semen, bantuan sosial hingga kubah masjid. Bahkan beras untuk orang miskin pun mereka curi. Mereka mencuri untuk dimakan tujuh turunan. Kontradiksi dengan perilaku Matjago.
Dan hebatnya mereka, kaum berdasi itu tetap dihormati warga masyarakat kampung, walaupun sudah diputuskan sebagai koruptor oleh instansi resmi.
Mereka masih dipuja-puji warga bahkan mereka masih bisa ikut kontestasi demokrasi.
Mencalonkan diri sebagai kepala daerah hingga menjadi anggota dewan yang terhormat. Sementara Matjago justru menjadi serapah warga. Mendapat hukuman sosial dari warga.
Matjago dikenal pula sebagai penjaga keamanan Kampung Kami, walaupun tak resmi. Atas inisiatifnya sendiri.
“Mumpung masih bisa berbuat baik walaupun cuma secuil,” ungkapnya saat ditanya kenapa bersedia menjaga kampung tanpa dibayar.
Dan dalam melakoni pekerjaannya sebagai penjaga keamanan Kampung Kami, Matjago tak pernah dibayar. Kalaupun ada, itu sekedar sedekah dari beberapa warga Kampung Kami untuk Matjago. Itu pun tidak rutin mendapat sedekah dari warga yang berbuat baik.
Semenjak menjadi keamanan Kampung Kami, hampir dikatakan tak pernah ada maling yang berani melakukan aksi nakalnya di Kampung Kami.
Nama besar Matjago menciutkan nyali para pencuri untuk melancarkan aksi hitamnya di Kampung Kami.
“Mau mampus mencuri di Kampung Kami,” cerita seorang warga.
“Sama saja menghantarkan nyawa,” celetuk warga yang lain.
Pernah pada suatu malam, rumah Pak Haji Ketol dimasuki pencuri. Matjago yang meringkusnya saat semua warga terlelap dalam mimpi indahnya.
Dan tentu semua orang tahu, resiko yang diterima sang pencuri itu. Badannya bonyok dan mengalami patah tulang yang serius. Harus diopname di rumah sakit.
Matjago juga menjadi penyelamat ketika gudang beras milik Haji Kikit hampir habis dilalap api, di saat semua warga terlelap dalam mimpi indahnya di peraduan. Matjago dengan kemampuannya mampu memadamkan api.
Keberhasilan-keberhasilan itu tidak membuat warga merubah pikiran tentang Matjago. Prestasi Matjago menjaga Kampung Kami tidak serta merta direspons positif oleh warga Kampung Kami.
Warga Kampung masih berasumsi Matjago adalah begundal kampung. Menyebut lelaki itu sebagai penyusah warga. Pembuat onar di kampung. Sampah masyarakat. Dan sederet frasa lain yang searti dengan kata-kata itu. Sungguh malang nasib Matjago.
Di balik keberingasannya, Matjago dikenal sebagai seorang lelaki yang baik. Aku sebagai temannya semenjak kecil amat paham dengan perilakunya.
Dia adalah seorang penolong bagi sesama temannya. Pembela para sahabatnya yang menderita atau mendapat kesusahan.
Dan bukan sombong, hanya aku satu-satunya warga di Kampung Kami yang disegani Matjago.
Ya, cuma aku yang disegani lelaki bertubuh kekar itu.
Penyebabnya saat waktu kami masih remaja dan sama-sama berlatih silat di padepokan silat Kampung Kami, hanya aku yang mampu merobohkannya dalam suatu pertarungan. Dan membuatnya bertekuk lutut.
Dan tak heran bila ada persoalan sosial yang dilakukan Matjago, Pak Kepala Kampung biasanya meminta aku untuk sekedar menasehati Matjago.
“Mohon, Bung. Nasihatkan Matjago untuk tidak membuat keributan di kampung kita ini,” pinta Pak Kepala Kampung. Aku pun mengangguk.
Demikian pula ketika ada barang dan ternak peliharaan milik para juragan yang hilang, biasanya para juragan itu mendatangi aku dan meminta tolong kepadaku untuk menasehati Matjago agar tidak mengulangi lagi aksi jahatnya. Aku pun mengiyakannya.
Bahkan para tetua Kampung Kami pun meminta bala bantuan aku, ketika mereka mendengar Matjago berbuat keributan di Kampung Kami. Dan aku pun mengangguk.
Sebagai teman sepermainan sejak kecil, aku tahu pula mengapa Matjago kehilangan jati dirinya sehingga harus melajang sepanjang usianya.
Seorang perempuan memang memiliki arti yang sangat penting dalam perjalanan kehidupan Matjago seperti sekarang ini.
Penolakan keluarga seorang perempuan yang istimewa di hatinya menjadi malapetaka bagi kehidupannya hingga harus menjerumuskan diri dalam lembah kenistaan diri. Matjago frustasi. Lalu berkubang dalam kegiatan hitam.
Senja itu, di saat gerombolan burung camar menari-nari di awan yang biru, aku berniat ke rumah Matjago yang berada dalam hutan kecil di pinggir Kampung Kami.
Sudah lama kami tak berjumpa. Terakhir kali kami bertemu di sebuah acara kondangan kawan kecil kami, sekitar tiga atau empat bulan silam.
Dan hanya dalam hitungan menit, aku sudah sampai di depan rumah Matjago. Maklum rumah kami masih dalam satu kampung yang sama.
Rumah Matjago agak masuk kedalam hutan di ujung kampung.
Dengan berjalan kaki, rumahnya aku tempuh dalam hitungan waktu sekitar belasan menit. Pepohonan yang besar dan rindang menghiasi halaman rumah Matjago.
Aku sengaja datang ke rumah Matjago saat cahaya matahari mulai menuruni langit. Soalnya, aku tahu, Matjago baru terbangun dari tidurnya, saat suara azan Ashar terdengar dari corong pengeras suara masjid.
Maklumlah, Matjago semalaman begadang menjaga Kampung Kami dan baru tidur saat orang-orang mulai menuju Masjid untuk menunaikan ibadah sholat Subuh.
Beberapa kali aku melihat Matjago berjalan sempoyongan berjalan ke arah rumahnya saat aku menuju Masjid untuk menunaikan shalat Subuh.
Bahkan pernah aku melihat Matjago tertidur di pinggir jalan saat aku hendak ke pergi bekerja.
Dari kejauhan, aku menyaksikan senyum sumringah memuncrat dari wajah Matjago saat melihat aku datang.
“Terima kasih Bro, engkau sudah mau datang ke pondok kebunku,” sapanya sembari menyalami tanganku dengan sangat erat. Dia menyebut rumahnya sebagai pondok kebun.
“Justru sebaliknya. Aku yang berterima kasih. Engkau sudah mau menerima kedatanganku Bro, dengan kondisi aman dan terkendali,” balasku sembari bercanda. Matjago pun tertawa terbahak-bahak.
Dan seperti biasanya saat kami bertemu banyak cerita dan hal yang kami diskusikan. Mulai dari hal sepele hingga berbagai macam persoalan. Termasuk soal pemilihan presiden. Tak terasa gerbang malam sudah tiba.
Aku pun pamit. Dan kami berjanji akan bertemu di masjid untuk mengawali malam pertama sholat Tarawih kami di malam bulan sejuta bulan itu.
“Ini sudah memasuki bulan puasa, Bro. Usia kita sudah tak muda lagi. Kadang kalau terpikir, aku terus terang, malu dengan segala perbuatanku selama ini, Bro. Sudah saatnya aku mengakhirinya. Sudah waktunya aku mengakhiri semua itu,” ujarnya dengan tatapan mata yang penuh penyesalan.
“Alhamdulillah, Bro. Aku sebagai sahabat baikmu bangga dengan niat tulusmu. Sampai jumpa nanti malam ya di masjid,” ujarku sembari meninggalkan rumah Matjago.
Malam itu, cahaya purnama menerangi alam raya. Cahaya sakralnya menjadi penerang jiwa para warga Kampung Kami menuju masjid untuk melaksanakan Solat Tarawih malam pertama di bulan yang penuh pengampunan ini. Bulan Ramadhan. Bulan seribu bulan.
Dan saat hendak memasuki halaman masjid, dari kejauhan kulihat, Matjago sudah berada dalam masjid.
Badannya yang kekar dan berambut gondrong, yang menjadi ciri khasnya sehingga amat mudah mengenalinya.
Kulihat Matjago amat khusuk. Kepalanya terus menunduk dan menunduk. Sementara tangannya memegang tasbih.
Pak Imam masjid Kampung Kami telah mengakhiri sholat tarawih malam pertama di bulan suci ini. Para jemaah masjid secara berangsur-angsur, mulai meninggalkan Masjid.
Di dekat pintu masuk dan keluar Masjid, seorang jemaah masih bersujud. Lama sekali.
Menyaksikan kondisi yang tidak biasa ini, dan setelah bersepakat, akhirnya para jemaah yang belum pulang dari Masjid, mendatanginya.
Dan saat tangan Pak Imam Masjid Kampung hendak menyapa badannya, tubuh lelaki itu seketika langsung roboh ke sajadah.
“Matjago!” ucap Pak Imam Masjid dengan nada suara terkaget bercampur ketidakpercayaan, saat tahu lelaki yang roboh di dalam masjid itu adalah Matjago.
“Innalilahi wa inalillahi rojiun. Beliau sudah wafat. Mari kita doakan beliau agar segala amal baiknya di terima di sisi Allah. Dan diampuni segala dosa-dosanya,” pinta Pak Imam Masjid Kampung Kami sembari disambut koor Amin dari jemaah yang masih berada di dalam masjid.
Sementara aku masih melongo menatap tubuh Matjago yang terbaring kaku di sajadah masjid. Wajahnya menampakkan diri laksana orang yang sedang tidur.
Aku sama sekali tak percaya dengan yang kulihat. Sama sekali tidak percaya.
Toboali, Desember 2024
BIODATA
Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Ia dikenal pula sebagai penggiat literasi Toboali Bangka Selatan dan telah melahirkan beberapa buku kumpulan cerpen. Diantaranya Mereka Bilang Ayahku Koruptor dan Penjaga Makam yang diterbitkan oleh penerbit Galuh Patria Jogjakarta.