TUGU
di depan tugu berwarna kuning keemasan mereka termangu
dedaunan yang berserakan
seperti ingatan dihidupkan:
yang tumbuh dan luruh hanya soal musim
setiap langkah memilih caranya sendiri
menyusun takdir masing-masing
tentang masa depan mereka cermat menebak
di taman itu
pada rumput antara pohon samboja dan bambu jepang
mereka memeluk kelak
bukan sekadar bersintuhan
MENGUKUR JARAK
sejak itu tak pernah lagi berjumpa
kita bersepakat untuk saling mengubur kenangan
walau pun bayang-bayangmu sendiri terlalu sering hadir
berkelebat setiap kali kubuka tirai waktu
sejak itu
aku separuh yakin pertemuan gaib barangkali lebih bermakna
berucap dengan menanggalkan kata-kata
siapa memandang tidak melibatkan mata
siapa menulis tanpa suku kata
menjemputmu tidak musti lagi berjalan dengan rangka
sejak itu
kita tak lagi tersentak ketika rindu tiba tiba datang berulang-ulang
karena rang dan waktu telah kita lipat
PADA JAMUAN PETANG
menjelang petang
pada sebuah kedai di menara kembar
kopi hitam beraroma gunung puntang dihidangkan
satu jam kemudian percakapan belum juga menemukan kalimat akhiran:
ujung adegan untuk saling meninggalkan
orang-orang sibuk datang dan pergi
membincang yang akan terjadi
menggumamkan yang belum jadi
semua yang datang kelak kembali
siapa pun yang lepas nanti dikenang lagi
sebelum akhirnya menuju abadi
aku masih ingat perempuan lembut singapura yang berbicara cepat
ia tak menyukai basa basi
disebutnya berkali-kali tuhan yang bermurah hati
dan kita, ujarnya, sering memperumit diri
perempuan putih yang mengirimkan isyarat:
kesetiaan pada jernih
ia ingin selalu memungut bahagia
merunduk pada oase yang sebenarnya:
sederhana
TUN RAZAK EXCHANGE
sepuluh menit sebelum jam kepulangan
di kedai yang menyajikan makanan arab itu
barangkali: plasma dunia melulur dan akhirnya hancur
terkadang ia ingin seperti ikan
berenang menziarahi setiap tepian
sebelum melenyep tenggelam di kedalaman
misalkan bima yang ditelan dewa ruci
atau ibrahim yang tak hangus dalam kobaran api
dan ia pun memasuki iman sunyi
di antara perahu nuh dan tongkat musa yang membelah samudera
atau dinding hira yang memancarkan titah iqra
setelah malam semakin pekat
kita pun pergi ke tempat pemberangkatan
bersama keyakinan tak goyah
di sebuah kota yang tampak lelah
KEMANA KALIAN PERGI
ketika tuhan bertanya,”faaina tazhabun?”
bayangkan saja:
perjalanan kemana pun sebagai langkah keberangkatan
menyongsong kekal
keranda adalah ujung kendaraan
ajal tak harus menunggu kesiapan
apalagi memperkenalkan nama-nama penumpang
kita sekadar menunggu giliran:
tidak ada tempat persembunyian
dan tuhan tak lama-lama berbisik, “irji’i. pergilah”
demikianlah ayat-ayat sunyi dibunyikan
dan dari tingkap terkirim pancaran keheningan
IA BERNAMA ARJUNA
ia datang dengan sepuluh nama
lereng gunung himawan dan bintang utara palguna
di zenith
membawanya meniti tepi
dipersembahkan sebagai laki-laki langit
bertubuhkan sempurna
merontalah bumi
mengharap disirami
menggumamkan namanya
mungkin cerita tentangnya tak mengenal ujung
berabad kemudian ia kembali
kali ini tak lagi berkisah ihwal zakar
tapi tentang bagaimana mengolah kesabaran
menemui jalan untuk cinta bersahaja:
mengenai kepasrahan yang sesungguhnya
sembil berguru pada kurusetra:
peristiwa yang menggenapkan tanda ksatria
sekaligus menyimpan ribuan luka
BIODATA
Asep Salahudin, rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Bukunya yang terakhir, Sufisme Sunda (2019), Kitab Tritangtu (2021) dan Jatiniskala: Memahami Spiritualisme Manusia Sunda (2023), puisinya dalam Antologi “Like” (2023).