SEORANG WANITA sendirian menaiki sampan sambil berdiri. Tak ada seorang pun melihatnya. Hanya seekor kijang yang melihatnya dengan membisu. Sampai melintaslah seorang lelaki sendirian yang sedang jalan-jalan saat itu. Dia melemparkan batu ke danau. Memantul batu itu seperti bumerang.
Wanita itu berdiri di sampan. Matanya menatap tajam ke depan. Tidak ada takut di hatinya. Bajunya berwarna coklat seperti air danau itu. Lelaki itu melirik dan melemparkan batu lagi. Tidak dia sadari bahwa di danau itu ada seorang yang sedang di tengah danau menaiki sampan.
Dia menoleh dan diam au berteriak. Tetapi dia tak mau dianggap ikut campur urusan orang lain. Dia berteriak akhirnya, “Jangan lakukan itu, hai wanita muda, kembalilah!” kata lelaki itu menghawatirkan keadaannya.
Tapi tidak ada jawaban. Menoleh pun tidak. Wanita itu hanya membisu. Tidak dia dapati seolah manusia peduli lagi padanya. Mata kosong tidak punya harapan. Seorang wanita pasti akan bunuh diri. Dia sudah sampai jauh ke tengah danau.
Lelaki itu tidak peduli lagi kalau mau tenggelam. Lebih baik menolongnya daripada harus melihat manusia bunuh diri. Segera dia berenang. Dia meloncat ke danau. Berenang sampai lelah. Tapi jaraknya masih jauh. Nafasnya sudah putus-putus.
Berusaha lagi dia dengan kuat sampai akhirnya akan meraih sampan wanita itu. Dia mengehala napas mendongak ke atas. Kakinya seperti katak meraup air di bawah badannya. Tidak dia temukan seorang pun.
Wanita tadi menghilang, entah kapan dia menghilang. Atau mungkin saja dia sudah keburu loncat ke danau tanpa sepengetahuan dari lelaki tersebut. Lelaki tersebut menyalahkan diri sendiri. Dia sungguh merasa kesal karena tidak bisa apa-apa.
Sambil mengumpat-umpat dia pukuli air dengan telapak tangannya. Air beriak-riak. Serasa ada yang menarik badannya. Dia merasa kaku. Tubuhnya seperti akan ditenggelamkan oleh sesuatu. Dia melihat ke bawah. Tidak ada seseorang.
Tubuhnya ditarik ke dalam air. Dia meronta-ronta mau melepaskan. Tergagap-gagap mulutnya di air. Dia diseret oleh sesuatu ke dalam danau itu. Tangannya sudah menggapai-gapai minta tolong. Tidak ada orang di danau itu. Sepi sekali.
Maghrib hampir tiba, tetapi seorang lelaki yang ditunggu istrinya belum datang. Lelaki itu suka sekali ke pasar kalau setiap hari. Setelah selesai urusan kerja sebagai pemilik sebuah toko di pasar, dia biasa minum duduk sendiri di depan tokonya. Sambil menghitung uang harian.
Malam hampir tiba. Lelaki yang dinantikan istrinya belum datang. Istrinya panik, mencari suaminya. Dia keluar rumah, menanyakan pada tetangga. Sebelah rumahnya terkadang suka bersama suaminya untuk pergi urusan dagang. Mereka biasanya bekerjasama membeli sayuran di pegunungan untuk dijual lagi.
Tetangga sebelah rumah duduk di teras. Sebelum wanita yang mencari suaminya tiba di rumahnya, tetangganya itu tersenyum kepadanya. Wanita itu bertanya, “Apa kamu melihat suamiku? Dia belum pulang kembali.”
Tetangganya hanya menggelengkan kepala. Lalu dengan kebingungan juga menjawab, “Tidak, aku tidak tahu. Dia bersamaku siang tadi. Tetapi setelah itu aku tidak tahu arahnya.” Lelaki yang duduk itu kebingungan. Mulai serius istri yang sedang mencari suaminya.
Lelaki yang ditanya tadi mencoba mengejar. Dia balikkan pundak wanita itu, “Ayo coba kita cari dia, siapa tahu ada tempat dimana kita akan menemukannya.” Dalam hati, wanita itu sungguh tidak tenang. Dia merasa ada hal yang aneh. Perasaannya jadi tidak karuan.
Lelaki itu mengajaknya untuk mencari suami wanita tersebut. Mereka berjalan ke pasar. Di pasar biasanya lelaki yang sedang dicari itu menghabiskan hari-harinya. Mereka temukan pasar sudah sepi. Hanya beberapa orang menutup toko.
“Darman, sedang apa kamu, kenapa wajahmu kebingungan?” celetuk lelaki yang lewat dan memanggul karung. Darman mengungkapkan hal yang baru saja terjadi. Bahwa wanita ini sedang mencari suaminya.
“Jarman? Maksud kamu Jarman? Kenapa dia belum pulang. Siang tadi dia bertemu aku. Aku pinjam uang kepadanya,” ungkap lelaki yang memanggul karung goni itu. Dia melihat wanita itu sedang hamil. Perutnya memang sudah membesar.
Lelaki pengangkut karung goni itu mau bicara lagi, tapi dengan secepatnya pula dia mengajak wanita itu mencari Jarman kembali. Siapa tahu mereka akan menemukan Jarman di suatu tempat yang kerap mereka lalui.
Sebenarnya hal ini sudah bukan rahasia umum lagi. Danau di desa tersebut memang misteri dan mengandung unsur horror. Banyak setan gentayangan. Kata orang beredar, danau itu ditunggu seorang wanita. Setan wanita yang cantik dan suka mengambil tumbal lelaki.
Beberapa bulan yang lalu, seorang wisatawan tercebur ke danau itu. Dia melihat seorang wanita di sampan yang dinaikinya, lalu wanita itu mengguncangkan sampan yang dinaiki pria itu. Sampan akhirnya terbalik. Dia tenggelam ke dasar danau bersama wanita itu.
Orang-orang hanya melihat lelaki itu sendiri di danau. Tidak ada orang lain lagi di sampannya. Tetiba sampan itu terbalik. Perlu beberapa jam sampai akhirnya wisatawan itu tak bernyawa. Ditemukan badannya sudah kaku lembab basah oleh air danau.
Ada orang pintar yang pernah didatangkan untuk mengusir setan-setan di danau itu. Tetapi tidak ada setan yang mau diusir. Bahkan ayat-ayat ruqyah tidak berarti apa-apa di hadapan dedemit penunggu danau itu.
Ada anak indigo di desa itu yang melihat seorang wanita berbadan setengah ular dengan kerajaannya di tengah danau dan dijaga oleh seekor ular pula. Anak indigo itu bercerita tentang apa yang dia lihat. Tetapi tak ada yang mau percaya.
Mereka baru percaya ketika ada korban tenggelam di danau angker itu. Seorang kyai yang berkata bahwa penduduk dan orang lain juga harus hati-hati pada keangkeran danau itu. Para dedemit itu usil dan suka minta tumbal.
Kalau ada yang masih perjaka dan kebetulan lewat danau itu, dia harus berhati-hati sebab ratu dedemit di sana suka dengan lelaki muda. Kebetulan juga wisatawan yang tenggelam adalah lelaki muda.
Darman dan istri Jarman gelisah mencarinya. Justru malah Jarman berfirasat, mungkin saja Jarman saat itu sedang ke danau. Dan dia tidak kembali apa mungkin menjadi tumbal dari keganasan dedemit danau.
Darman mengutarakan maksud hati dan isi pikirannya itu kepada istri Jarman. “Neng, sepertinya suamimu mungkin sudah mati. Dia jadi tumbal telaga angker itu,” kata Darman tidak mau memancing emosi istri Jarman. Dia memegangi jam tangannya. Memutar-mutarnya.
Istri Jarman tambah terkejut. Dia sudah beranggapan yang tidak-tidak tentang Jarman. Mana mungkin orang sebaik Jarman jadi penghuni telaga angker ini. Rasanya tidak adil. Istri Jarman tidak mau menyerah. Dia tetap mau tidak percaya pada hal itu.
Dia berlari ke rumah pak Rt, minta tolong sama pak Rt untuk dibantu cari suaminya yang tak kunjung pulang. Pak Rt dengan segera memukul kentongan. Bunyi kentongan yang bertalu-talu mengumpulkan warga dalam sekejap.
Pak Rt mengintruksikan warganya untuk mencari Jarman. Jarman belum pulang ke rumah, kalau ada yang tahu silahkan bisa bicara. Orang di barisan paling belakang mengacungkan tangan dan berkata bahwa dia melihat Jarman tadi.
Saat dia sedang mencari rumput, dia melihat Jarman meloncat ke danau dan meraih sebatang gedebog pisang di danau itu. Lalu Jarman nampak tidak bisa berenang kembali. Dia meraup-raupkan tangannya ke danau. Tetapi tidak ada orang di sana. Hanya dia sendirian.
Karena tidak berani akan kengerian danau angker itu, dia berlari pulang ke rumah dan melaporkannya sama pak ustad. Pak ustad yang mendengar cerita orang tadi mengelus dada sambil berkata istighfar yang panjang. “MasyaAllah, fitnah apa yang menimpamu, Jarman.”
Pak ustad juga tergopoh datang saat itu bersama warga. Dia membenarkan perkataan orang yang barusan berbicara. “Tenang semuanya, jangan gegabah, kita coba cari Jarman di sekitar danau. Mari semua!” pak ustad mengajak mereka semua.
Mereka semua menuju danau. Danau sudah gelap. Tanpa lampu penerangan. Mereka menggunakan sorot senter mencari Jarman. Tubuh Jarman sudah tergeletak di atas rerantingan. Dia sudah membeku putih pucat.
Istrinya menangis sejadinya. Dia sangat terpukul. Dia tidak rela suaminya pergi meninggalkannya begitu saja. Dia memukuli dadan suaminya yang sudah tidak bernyawa itu. Pak ustad bersama warga segera membawa jasad itu ke rumahnya.
Mereka temukan tubuh Jarman. Dipastikan dengan benar bahwa Jarman sudah meninggal. Tidak ada nafas lagi dari hidungnya. Semua bersiap memandikan tubuh Jarman. Pak ustad bersiap memandikannya. Suaminya menyiramkan kembang dan bunga ke jasad suaminya. Sungguh dia memalingkan muka tak sanggup memandikan jenazah suaminya.
Malam itu juga Jarman dikuburkan. Malam gelap sekali. Burung hantu berdengkur. Gagak-gagak bertengger di pohon. Mereka segera menggali kubur dan menaruh jasad Jarman di kuburan.
Tahlil dan kirim doa dipanjatkan supaya arwah Jarman tenang di sana. Orang-orang yang selesai menjalankan kewajibannya segera pulang. Istri Jarman menutup pintu. Kemudian ada yang mengetuk pintu lagi. Istri Jarman membuka pintu. Tidak ada orang sama sekali.
Kemudian ditutupnya pintu kembali. Terdengar suara ketuka pintu. Dia membukanya. Betapa kagetnya dia, melihat suaminya berdiri di depannya. Dia melihat suaminya menangis sedih. Tidak bisa berbuat apa-apa. suaminya masuk ke rumah dan mengemasi barang bawaan. Setelah itu pergi keluar lagi dan menghilang. Sebelum itu, dia berkata pada istrinya dengan wajah pucat, “Jangan kau sesali kepergianku. Kirimi doa untukku. Jagalah anak kita baik-baik.”
BIODATA
Muhammad Lutfi, lahir di Pati, Jawa Tengah, 15 Oktober 1997. Karya sastranya tersebar di berbagai media massa dan buku antologi. Bukunya, antara lain Tabula Rasa (Tidar Media, 2020), Pelaut (Innovasi Publishing, 2020), Bunga Dalam Air (CMG, 2021), Lorong (Ebiz Publisher).