Ilustrasi: I Nyoman Wirata
UPACARA KABUT
ini hari buik rajah ni dirah menguasai kalangan
setiap lekuk di tubuhnya penuh kilatan api
tak ada yang berani mendekat perang tanding
sihirnya merambat ke semua penjuru mata angin
menyusup ke akar-akar nadi
layu pepohonan ditadah bara
“jangan ada yang mendekat sebelum kabut terkuak!”
begitu para balian mengingatkan
saat matahari bergerak tegak lurus mengitari ubun-ubun
si peladang garam
suruh pakembar datang buat melepas brumbun sangkur
penawar mantra hitam ni dirah
orang-orang menari-nari melingkari api setengah mabuk
sambil terus menenggak tuak
memeluk tubuh-tubuh perempuan
soraknya riuh menggema mengusung gerhana di puncak bukit
bergetar denyut jantung
buik rajah ni dirah terbang mengitari kalangan
merobek-robek kabut
jampi-jampinya menyusup sampai membatu
pada satu loncatan
tajian temberang brumbun sangkur menancap di jantung gerhana
berjatuhan percikan api
buik rajah ni dirah terkapar
orang-orang membisu beku timpakan kutuk
pada lelaki tua
yang sudah berjalan jauh mencari sunyi
penuh dengan kesia-siaannya
begitulah aku senantiasa mengupacarai kelahiran diri
gurat nasib di telapak tangan
tersurat dalam lontar para dewa
selalu berakhir sebagai pecundang
dalam pergumulan waktu
(umah panjer ‘24)
PESISIR SINDU
sepasang bule tidur telentang setengah telanjang
di pasir-pasir pesisir sindu
bermandikan cahaya pagi
mencari hangatnya sinar matahari tropis
membiarkan mata tuaku menjelajahi setiap lekuk tubuhnya penuh pesona
aku terpukau
lupa akan bayang sendiri lepas hanyut
dibawa arus pasang ke muara senja
(umah panjer, juni ’24)
SEPANJANG PESISIR SEMAWANG
menyelinap diantara bule-bule di sepanjang pedestrian pesisir semawang
terasa sesak dan penuh aroma
bar dan cafe yang berjajar
menawarkan berbagai kenikmatan
aku tak tahu rupa dan namanya
tiba-tiba seorang pramusaji muncul dalam bayangku
sambil menawarkan daftar menu
“kau boleh menikmati menu apa yang kau suka!”
“jangan tanya itu padaku!
karena aku mau bersampan menunggang ombak
mengail mimpi yang hanyut semalam di pesisir!”
suara hingar-bingar musik begitu deras meluncur
menusuk telinga
aku tak hirau
suara ombak yang pecah di pesisir
terasa lebih memanggil
penantian panjang sampan-sampan di penambatan
tak oleng diterjang ombak
tak seperti tubuhku yang renta
gelisah menunggang ombak
sungguh seperti juga penantianku
yang penuh tanya kapan mengayuh sampan jiwa
mencari samudra cahaya di kejauhan dengan riak sunyi gelombang yang tak pecah
dihempas angin timur
dalam perjalanan ini
(umah panjer, juni ’24)
BULAN TERKAPAR DI PESISIR SERANGAN
Setelah bulan mabuk cahaya
bayangnya masih nampak terkapar di permukaan pesisir
seperti ketidakberdayaan para pribumi menjaga tanah warisan
dari cengkraman para cukong
menyeberangi kanal saat pasang mulai surut
ada garis pembatas
bagai naga yang menggeliat
aku menyaksikan dua tempat terpisahkan
daratan yang masih tersisa
tempat bermukim para pribumi
dengan laut yang sudah direklamasi milik para cukong
jangan ada yang memijakkan kaki di tanah reklamasi
ini kawasan privasi
para centeng dengan wajah sangar
akan mengusirmu menjauh
aku sedih menyaksikan ini
tak tahu masa depan semakin tersudutkan
untuk kemudian menyerah lagi!
(umah panjer ’24)
DI PANTAI KARANG AKU MENGAIL BAYANG SENDIRI
saat aku turun di pesisir pantai karang menyibak riak air pasang
apa ikan-ikan tahu
aku membawa mata kail yang penuh tipu daya?
ikan-ikan berenangan di antara pasir putih dan rumput laut
menari mengitari mata kail
sekali waktu muncul di permukaan
untuk kemudian menyelam lagi
seperti mengejek tahu akan tipuanku
dengan ekornya yang lincah mengibas mata kail
lalu berenang menjauh menyelinap di celah-celah karang diantara denyut nadi
meninggalkan aku sendiri tanpa ada yang menyapa
di riak air pasang yang semakin meninggi
matahari redup
lepas bayangku
disusur angin mengambang bersama buih
hanyut menjauh dibawa derasnya arus
aku gagap mengail bayang sendiri
agar tak disantap ikan-ikan
(pantai karang-umah panjer, ’24)
BIODATA
Gm. Sukawidana lahir di Bali, 16 Juli. Menulis puisi sejak 1979. Dia salah satu pendiri Sanggar Minum Kopi, Sanggar Cipta Budaya (SMPN 1 Denpasar), dan sesepuh di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP). Puisi-puisinya dimuat di Bali Post, Nafiri, Swadesi, Simphoni, Berita Buana, Republika, dll. Puisinya juga terangkum dalam buku Lukisan Magis Tanah Bali (2000). Buku puisi tunggalnya: Upacara Tengah Hari (1993), Upacara Senja Upacara Tanah Moyang (2000), Upacara-Upacara (2015), Upacara Terakhir (2020). Atas pengabdiannya di bidang sastra dia menerima Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali (2021).
I Nyoman Wirata lahir di Denpasar, 1953. Selain penyair, dia adalah seorang pelukis. Dia mulai menulis puisi sejak tahun 1975. Bekerja sebagai guru seni budaya sejak tahun 1980, pensiun tahun 2013. Dalam bidang sastra, dia pernah meraih Juara 1 Penulisan Puisi se-Bali yang digelar oleh Pemerintah Provinsi Bali (1977), Sepuluh Puisi Terbaik se-Bali yang digelar Bali Post (1978), Juara III Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Tingkat Nasional Antar Guru yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993), Juara II lomba menulis novel yang digelar Bali Post (2003). Puisi-puisinya dimuat di berbagai media massa, seperti Bali Post, Kalam, dll. Juga terhimpun dalam buku “Tutur Batur” (2019), “Mengunyah Geram” (2018), “Pernikahan Puisi” (2017), “Klungkung Tanah Tua Tanah Cinta” (2016), “Dendang Denpasar Nyiur Sanur” (2012), “Hram” (1988). Buku puisi tunggalnya adalah “Merayakan Pohon Di Kebun Puisi” (2007) dan “Destinasi” (2021). Dia menerima anugerah Widya Pataka (2007) dan Bali Jani Nugraha (2020) dari Pemerintah Provinsi Bali.