Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Álvaro de Campos

Ilustrasi: Handy Saputra

 

TOKO TEMBAKAU

Aku bukan siapa-siapa.
Aku tak akan jadi apa-apa.
Aku tak bisa berharap menjadi apapun.
Walau demikian, kumiliki segala impian dunia dalam diriku.

Jendela-jendela kamarku,
Kamar milik satu dari berjuta orang yang tak seorang pun ketahui siapa dirinya
(Kalau, toh, ada yang tahu, apa yang mereka bisa ketahui?),
Kalian membuka ke misteri seruas jalan yang tak henti dilalui orang-orang,
Ke seruas jalan yang menutup dari segala permenungan.
Senyata nyata di luar kira, sepasti pasti di luar terka,
Tempat misteri meringkuk di balik wujud dan bebatuan,
Tempat ajal memulasi peluh pada dinding dan uban pada manusia,
Tempat di mana Nasib menghela pedati segalanya ke penghujung ketiadaan.

Hari ini aku tak lagi melawan, seolah kebenaran terbuka bagiku.
Hari ini aku menatap jernih, seolah maut datang menghadapiku,
Dan tak lagi memiliki rasa terikat dengan apapun
Kecuali melalui seutas salam perpisahan yang mengubah rumah dan sisi jalan ini
Menjadi seleret gerbong yang beranjak saat peluit dibunyikan
Dari dalam kepalaku,
Seraya menyentak tubuh serta mengeretakkan tulang-tulangku di kepergiannya.

Hari ini aku tak dapat menentukan pilihan, bagai seseorang yang menemu dan membuah akal lalu kehilangan.
Hari ini aku terbelah pada kesetiaanku untuk
Sesuatu yang nyata di sana—toko tembakau seberang jalan,
Dengan sesuatu yang nyata di dalam—rasa jika semua ini hanyalah mimpi.

Aku gagal menentukan segalanya.
Namun karena aku tak pernah menyatakan apapun, mungkin segalanya jadi bukan apa-apa.
Semua hikmah yang kuperoleh dari hal itu,
Kugunakan untuk menyelinap keluar dari jendela belakang.
Kukunjungi pedesaan dengan kehendak-kehendak mulia di kepala,
Namun yang kutemukan melulu rumput dan pepohonan di sana,
Jikapun ada orang, mereka tak berbeda dari yang lain.
Kutinggalkan jendela dan mendudukkan diri di atas kursi. Apa yang harus kupikirkan sekarang?
Bagaimana aku tahu apa jadinya aku, jika aku sendiri tak tahu aku apa saat ini?
Apa aku harus menjadi yang kubayangkan? Tapi aku membayangkan begitu banyak hal!
Dan ada banyak yang turut membayangkan hal yang sama, tidak mungkin semuanya bisa menjadi itu!
Jadi jenius? Saat ini juga
Beratus ribu kepala membayangkan diri mereka jenius seperti aku di saat ini,
Dan sejarah tidak akan mencatat, siapa bisa kira?, tidak satupun,
Pun tak akan ada apa di sana selain onggokan-onggokan keberhasilan yang mungkin terjadi.
Tidak, aku tidak bisa merasa yakin.
Di setiap rumah sakit jiwa ada begitu banyak orang sinting dengan keyakinan teguh mereka masing-masing!
Aku, yang tidak memiliki rasa yakin, apa aku lalu menjadi lebih benar atau kalah benar?
Tidak, aku tidak dapat merasa yakin pada diriku…
Dan berapa banyak kamar loteng dan yang bukan kamar loteng yang di detik ini
Tidak sedang menaungi angan-angan seseorang yang membayangkan dirinya jenius?
Sebegitu banyak harapan agung, mulia, dan masuk akal—
Iya, yang begitu agung, mulia, dan masuk akal—
Bisa saja mereka terwujud—
Apa mereka akan diketahui luas, memperoleh pengakuan?
Dunia ini ada bagi mereka yang terlahir untuk menaklukkannya,
Tidak bagi mereka yang berangan dapat menaklukkannya, bahkan jika angan itu benar.
Di angan-anganku, aku telah mencapai lebih dari Napoleon,
Telah kudekap dalam rangkul andai-andaianku lebih banyak manusia daripada Kristus.
Tanpa setahu siapapun telah kuciptakan lebih banyak filsafat daripada Kant.
Namun aku, dan aku mungkin, akan senantiasa terus jadi ia yang berumah loteng,
Walau aku tidak tinggal di tempat semacam itu;
Aku akan terus menjadi ia yang tidak dilahirkan untuk hal semacam ini;
Aku akan terus menjadi ia yang wah, padahal orangnya begitu berbakat;
Aku akan terus menjadi ia yang terus menanti seseorang mementangkan jalan masuk di suatu tembok tak berpintu,
Yang bernyanyi-nyanyi tentang ke-Tiadaan Batas dari dalam kandang ayam,
Yang mendengar sabda Tuhan dari dalam sumur tertutup…
Yakin pada diriku sendiri? Tidak, tidak juga pada yang lainnya.
Biar Semesta meruahi kepalaku yang penuh gemolak ini
Mentarinya, hujannya, anginnya yang menderai menjatuhi rambutku
Dan biar yang lain datang jika mereka datang, atau di saatnya nanti, atau tidak sama sekali.
Budak kesayangan gemintang,
Telah kita taklukkan segalanya sebelum bangkit dari ranjang;
Tapi kita terjaga dan segalanya jadi samar,
Kita berdiri dan segalanya jadi berbeda,
Kita keluar dan segalanya menjadi dunia di luar,
Lalu tata surya dan kemudian galaksi Bima Sakti dan berikutnya jagat tak berbatas.

(Makanlah cokelat, gadis kecil:
Makanilah cokelat!
Lihat, tidak ada metafisika lain selain cokelat di dunia ini.
Lihat, betapa semua agama tak mengajar lebih dari satu toko permen!
Makan, gadis hina, makan!
Kalau saja aku dapat menikmati cokelat setulus dirimu!
Tapi aku terjerumus dalam pikir, dan saat mengupas kertas perak, yang sebenarnya lembar tipis timah,
Kujatuhkan semua ke atas tanah, sebagaimana aku menghempaskan hidupku.)

Setidaknya, dari kecut segala yang tak kucapai, tersisa,
Gegas indah tulis puisi ini,
Serambi beratap yang mengantar ke Kemustahilan;
Setidaknya rasa muak yang kutimpakan pada diriku tidak dicucuri basah air mata,
Setidaknya masih ada harga diri dalam tindak agung saat kulemparkan
Baju kotor yang merupakan diriku, tanpa permintaan binatu, ke laju waktu,
Dan berdiam diri bertelanjang dada di rumah.

(Kau, yang melipurku, yang tak benar-benar ada dan karenanya sedemikian melipurku,
Baik berwadag dewi Yunani, berwujud patung yang hidup,
Atau perempuan terkemuka Romawi, mulia tak terkira dengan maksud tersembunyi,
Atau putri raja sanjungan para penyanyi kelana, penuh kehalusan dan rona warna,
Atau bangsawan perempuan abad kedelapan belas, tak terjangkau dengan gaun berleher rendah,
Atau gadis penggoda terkenal dari masa yang baru lalu,
Atau sesuatu yang benar-benar modern—yang aku tak tahu apa—
Semuanya, yang mana saja, hadirlah, dan ilhami aku jika dapat!
Hatiku adalah bejana tercampak.
Serupa pengundang roh mendatangkan roh kuundang
Diriku sendiri dan tak menemukan apapun.
Beranjak ke jendela, bisa kulihat jalanan dengan kejelasan tak terkira.
Kulihat toko-toko, kulihat trotoar, kulihat mobil-mobil yang melintas,
Kulihat makhluk-makhluk hidup terbungkus pakaian melalui satu sama lain,
Kulihat anjing-anjing yang juga ada.
Dan semua itu membebani perasaanku bagai sebuah kutuk pengasingan,
Dan semua itu asing, sama seperti segalanya.)

Aku telah menjalani hidup, menuntut ilmu, mencinta, bahkan juga percaya,
Dan sekarang tidak ada satu gembel pun yang tidak membuatku iri hanya karena mereka bukan diriku.
Kulihat rombeng, kudis, dan dusta mereka,
Dan pikirku: mungkin kau, diriku, tak pernah menjalani hidup, menuntut ilmu, mencinta, dan percaya
(Karena kita bisa melakukan semua itu tanpa benar-benar melakukan semuanya);
Mungkin kau hanya sekedar ada, seperti saat seekor kadal terpotong ekornya,
Ekor itu terus bergerak tanpa kadal pemiliknya.

Kujadikan diriku sesuatu yang tak kuketahui,
Dan apa yang sebenarnya diriku tidak kuwujudkan.
Kukenakan topeng yang tidak semustinya.
Mereka menerimanya tanpa tanya; aku tak membetulkan mereka, dan kehilangan diriku.
Saat ingin kulepas topeng itu,
Ia melekat kuat di wajahku.
Ketika ia akhirnya dapat kulepaskan dan kulihat diriku di cermin,
Aku telah dimakan usia.
Aku mabuk, aku tak tahu bagaimana mengenakan topeng yang belum lagi kutanggalkan.
Kubuang topeng itu dan pergi tidur di tempat penyimpanan mantel
Seperti seekor anjing yang pemilik usaha perkenankan masuk
Karena ia tak berbahaya
Dan akan kutuliskan kisah ini sebagai tanda kehalusan budiku.

Inti bunyi sajak-sajak tak bergunaku,
Seandainya dapat kusua dirimu sebagai sesuatu yang kucipta,
Dan bukannya malah terus berdiri menghadapi Toko Tembakau di seberang,
Menjejak keras-keras kesadaran akan kemengadaanku,
Seperti karpet yang menyandung kaki si mabuk,
Atau keset tak berharga yang dicuri orang-orang gipsi.

Tapi Pemilik Toko Tembakau datang ke pintu dan berdiri di sana.
Aku menatapnya dengan rasa tak nyaman sebatang leher yang salah urat
dan rasa tak nyaman seseorang yang salah paham.
Suatu saat ia akan menemui ajalnya dan aku akan menemui ajalku.
Akan diwariskannya papan nama tokonya, aku puisi-puisiku.
Di kelak hari, papan namanya tak akan lagi ada, dan puisi-puisiku pun tak akan lagi ada.
Lalu, jalanan tempat papan namanya pernah berdiri tak lagi akan ada,
Juga bahasa yang kugunakan dalam puisi-puisiku.
Kemudian planet yang berputar, di mana semua ini mengambil tempat, akan menemui akhirnya.
Di suatu benda langit berputar lain di sebuah tata surya lain sesuatu yang menyerupai manusia
Akan selalu menciptakan hal-hal seperti sajak dan menjalani hidup di bawah papan-papan nama.
Senantiasa ada sesuatu yang berada di seberang yang lain,
Senantiasa ada sesuatu yang sama tidak bergunanya dengan yang lain,
Senantiasa ada suatu kemustahilan yang sama tidak masuk akalnya dengan kenyataan sendiri,
Senantiasa ada suatu misteri di kedalaman sana yang sama pastinya dengan misteri yang tergolek di permukaan,
Senantiasa yang ini atau yang itu atau bukan yang ini atau bukan yang itu.

Tapi seseorang masuk ke toko tembakau (untuk membeli tembakau?)
Dan sebuah kenyataan yang bisa diterima akal tiba-tiba menerpaku.
Aku penuh terjaga, dipenuhi kepastian, kembali manusia.
Dan memiliki rencana untuk menuliskan puisi ini di mana aku akan menyatakan yang sebaliknya.

Kunyalakan rokok sambil membayangkan menulis baris-baris puisi ini
Dan rokok itu terasa bagai pembebasan dari segala pemikiran.
Kujejaki asapnya seolah ia jalan setapaknya sendiri,
Dan menikmati, dalam suatu kesempatan yang rapuh namun mengena,
Lepasnya segala belenggu renungan
Serta penyadaran jika metafisika tak lebih dari sesuatu yang disebabkan senewen berlebih.

Lalu kududuk lagi di kursi
Serta melanjutkan menghisap rokok.
Selagi Takdir mengizinkan, aku akan terus menghisap rokok ini.
(Mungkin aku akan menemu bahagia
Jika kukawini putri tukang cuciku.)
Penuh terpuaskan. Aku mengangkat diri dari kursi. Kubawa diri ke jendela.

Orang itu keluar dari toko tembakau (memasukkan kembalian ke saku celananya?)
Hei, aku tahu siapa itu: itu Esteves, yang tak punya pikiran metafisika sama sekali.
(Pemilik Toko Tembakau datang ke pintu.)
Seolah didorong naluri surgawi, Esteves menoleh dan melihatku.
Ia melambai memberi salam perpisahan, aku berseru Dadah, Esteves!, dan alam semesta
Menata ulang dirinya untukku tanpa pengharapan dan ideal, dan sang Pemilik Toko Tembakau tersenyum lepas.

(Puisi ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Phalayasa Sukmakarsa)

 

BIODATA

Álvaro de Campos lahir pada tanggal 15 Oktober 1890 di Tavira, Portugal. Berprofesi sebagai insinyur kelautan dan bertempat tinggal di Lisbon. Ia adalah penyair rekaan (imajiner) Fernando Pessoa.

Phalayasa Sukmakarsa adalah seorang fotografer yang suka menerjemahkan puisi-puisi dunia yang menarik perhatiannya ke bahasa Indonesia.

Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), Argya Citra di Gourmet Garage (2021).

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!