Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta
AMSAL MATA ANJING
tak ada yang meminta aku menari mengikutimu kujilat kau dalam tilasmu paling lamat sekalipun seperti gerimis yang tajam menggores pasir lalu mengering dalam hitungan detik
tak ada lagi rupa tapi jejak tetap lamat terbaca. aku menggeliat dalam bola matamu, membiarkan udara bergumam dan gerimis yang jatuh mendentangkan lagu gelisah yang lahir dari cakrawala yang jauh. detik-detik jam mulai merahasiakan luka gigitannya. segala kata-katamu bagai api yang bertaring dan aku termangu dalam rimbun senyap yang berjarak. kubayangkan sejumput kisah akan melumut di tengah udara malam yang mendadak kering.
bersama malam yang makin kelam bulan perlahan ambyar di jantungku mengalirkan seribu sungai membandang ingatan-ingatan kecut melintas-lintas seperti kilat pecut merajam menyamaki, “siapa yang sanggup merampungkan silsilah gelap ini?’
ada yang hilang di sini, sunyi gagal membentuk kata-kata dan sajak menjadi sarat bunyi pedih bersama waktu yang meronta-ronta dan mimpi perih terbang bersamanya, melambai dengan mata malaikat tua sementara belum sempat dipikirkan bagaimana menulis epitaf sebelum melepas tabik terakhir
Ngrambe, 2023
OBITUARI ANJING PEMBURU
tuliskan kembali selarik puisi kenang-kenangan
saat kau dengar salak yang melengking
mengaing bersama sisa-sisa cahaya langit
gemetaran bersama roh-roh para mantan korban
terbunuh dirajam pisau-pisau rahang yang garang
dari daging-daging tersayat, warna maut
bagai oncor-oncor menari dalam pesta-pesta malam
sekarang dengan apa aku akan sambang
ketika aku tinggal punya sepotong ingatan
tentang bau jejak-jejak dalam malam yang dingin
bayangan tengah hujan, angin kencang, juga lari teramat kencang
sesudah revolusi yang lelah itu
bisakah kita buat percakapan panjang tentang
luas peta tanah dan kenangan warna cat rumah
lalu seperti bertahun lalu, ku harap ada ingatan
yang tersisa dari musim yang meranggas
sosokku perlahan pasti akan mengabur
sebagai bayang-bayang buram yang sesekali bergoyang
serupa hantu-hantu mantan para korban
yang juga sesekali bergoyang lambat dalam gelap
jam-jam berjalan lambat
seperti mantan para korban
ajal akan sempurna menjagalku
kubayangkan kau berkata
“setiap pagi ada yang ngopi dan ada pula yang mati!”
Ngawi, 2023
INGATAN PADA FRANSISCO RODRIGUES*)
atlas ini telah menyediakan jalan menuju lembah-lembah sorga
bandar demi bandar dan kapal-kapal yang menyala
ingatan jalang, tatapan liar dendam dan putus asa
kebangkitan dan kebangkrutan silih berganti
bagai hantu tua yang dikeluarkan dari peta usang yang rengat
menjadi roh abadi dalam dada para pelaut petualang yang liar
dan matahari sungsang di lautan mendadak gerhana
darah dari segala tarian perang meramaikan lautan
menyusup di antara sengat bau pala dan sangit bakaran kopra
tak ada yang dapat menolak sejarah
kaulah pencuri ulung alamat pojok-pojok sorga
cuilan firdaus dari secarik kertas retak lamat-lamat
menjadi route perjalanan, persaingan penuh rahasia
sangkakala api yang berkelabat sepanjang detak detak jam
digerakan taufan ke arah bebukit karang yang segera terbakar
racikan-racikan sorga diperebutkan dalam tangan-tangan terbuka
tak ada yang dapat menolak sejarah
di pantai-pantai ini tangis bocah-bocah diterbangkan camar
di atas geledak kapal kapitenmu mengelus-elus kepala meriam
menggambar langit dengan asap lada, cengkeh dan pala yang terbakar
membabat menimbunnya di tebal papan geledak kapal
persembahan dari tanah sorga yang kehilangan pintu gerbangnya.
*) Rodrigues, ahli peta Portugis yang berhasil merampas sebuah peta route jalur rempah kawasan Timur setelah sebelumnya menaklukan Malaka
MEMPELAI LAUT
kepada pantai selalu kukabarkan rindu
cinta yang keras dari geram taufan
yang tajam setia menggempur karang
kecipak ombaknya membelai mesra wajah pasir
kepada pantai selalu kukirim kabar
kisah-kisah pelaut di taring-taring semesta
kesabaran nahkoda kapal kapal perkasa
atau nelayan-nelayan yang tabah
meniti nasib di palung-palung samodra
kepada pantai selalu kujatuhkan air mataku
kisah perjalanan kapal-kapal dan perahu nelayan
yang bersetia dalam dekap cinta samodra
bersama ruh-ruh para moyang yang tenteram di dasar lautan
kepada pantai selalu tancapkan belati-belati rindu
bocah-bocah akan setia mengantar bapak di bibir ombak
menanti pulang bersama perahu sarat tangkapan
dalam kesabaran seribu pasang purnama
bersama ombak saat laut pasang
akan datang perahu lalotang
tanpa para kelasi, hanya nahkoda
yang tak pernah sangsi pasti esok sampai
tahun-tahun lalu lewatlah larut
ditiup angin laut dan angin darat
tahun-tahun kecut dan wajah purut
biarlah hanyut dibawa taufan lautan
berangkatlah perahu lalotang
bersama sepasang penumpang
bersama ombak janganlah kembali pulang
sebelum sampai belawan paling menawan
bersama ombak saat laut pasang
berlayarlah dengan senyum gelombang
seperti gairah sepasang nelayan berdendang
bersama ikan-ikan rajin bertandang
Ngawi, 2023
SAMPAN PENGANTIN
seperti hembus angin yang dikekalkan musim
mengembaralah dalam palung-palung laut
perjalanan akan menyingkap rahasia waktu
petualang nahkoda dan sampan mengeja cuaca
membawa larut dalam bentang samodra
memukul-mukul dada
menggeletar dalam jantung
mengabadi urat nadi
menjelma perahu-perahu cahaya
kayuhlah melayari masa demi masa,
seperti sepasang burung alit mengembara
ke tepi-tepi langit paling sepi
mendengarkan lumba-lumba bernyanyi
mengecup kening lautan
belajar kecintaan nelayan menghikmat badai
sebelum nanti pada waktunya
laut meninggalkan buih di pantai
merapat di pelabuhan dalam hujan cahaya
di gelap malam dua pasang mata
akan menjelma kristal-kristal cahaya
alasan untuk tak surut gemetar
menerabas route-route arung jalan
lalu menatah ceruk karang tajam
bakal dermaga tempat kalian
bersama memandang purnama
Ngawi, 2023
BIODATA
Tjahjono Widijanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya antara lain: Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai Sastra (2020): Dari Jagat Wayang Hingga Perahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020), Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpulan Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggaan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011), dan lain-lain.