Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta
Entahlah
-Disebabkan oleh Mikael Johani
Entahlah
Kau memang bukan anugrah terindah
Yang pernah kumiliki
Tapi kau adalah nyanyian putus asa
Yang paling sedih
Yang pernah kuhapalkan
Padahal harum tubuhmu pun
Aku sudah lama lupa
Masih kau simpankah sobekan sobekan foto
Yang dulu kukirimkan padamu
Dari kedalaman musim dingin di selatan sana?
Sobekan sobekan dusta
Yang kita jadikan graffiti di tembok tembok muram kota tua itu
Antara bulan purnama dan angin kutub selatan
Entahlah
Kau memang bukan anugrah paling indah
Yang pernah aku miliki
Tapi kau adalah memori
Yang pernah jadi puisi
Jogja, September 2017
Kau Cuma Memori, Katamu
kau cuma memori, katamu
dan angin tiba tiba berhenti berhembus
di daun daun pohon tua di pinggir jalan
di siang yang terik itu…
begitu sunyi jalanan itu
begitu kelam tembok kota itu
dan langit begitu biru
tanpa awan
kau cuma memori, katamu
di siang yang panas itu
rambutku jadi rel kereta api
yang berlari tak henti
membawa gerbong gerbong kosong
jadi bus malam
yang berangkat di ujung senja
ke kota kota tak bernama
tapi selalu gagal untuk melupakan kata katamu
melupakan dirimu…
kau jadi memori
menghantui nama nama kota
di peta pelarianku!
Tak Sepadan
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan bahagia
Sedang aku seperti Ahasveros mengembara
Dikutuk-sumpahi Eros tak satu juga pintu terbuka
Kau kawin, beranak dan bahagia
Nama dan wajahku pun pasti kau lupa!
Dikutuk-sumpahi Eros tak satu juga pintu terbuka
Aku merangkaki dinding buta
Nama dan wajahku pun pasti kau lupa!
Jadi baik juga kita padami unggunan api ini segera
Aku merangkaki dinding buta
Aku terpanggang tinggal rangka
Jogja, November 2015
Sajak Dalam Empat Variasi Cat Air
Aku menyaksikan dengan terpesona kata kata berubah warna berubah nama berusaha menyesatkanku dari tikungan tajam jalan gunung yang akan membawaku ke rumah kayu metafora puisi puisiku… Kabut dan cahaya matahari pagi di mana mana
Aku menyaksikan dengan terpesona para Nabi Kesucian mendorong anak anak kampung kecil ke jurang jurang dalam dari puncak gunung kemuliaan mereka sambil menyanyikan kidung kidung kebijaksanaan yang gemanya mengusir suara jangkrik dan kepak sayap burung dari lembah lembah penuh kabut dan cahaya matahari pagi…
Aku menyaksikan dengan terpesona kerikil di jalanan, daun jatuh, barisan semut di ranting, sungai di batu dan angin di rambut tergesa gesa bergegas menuruni jalanan setapak gunung menjauhi gema suara kidung kidung kebijaksanaan yang sekarang mulai menutupi wajah matahari pagi itu…
Aku menyaksikan semua itu dengan terpesona dan tak tahu artinya…
2014
Malioboro Blues
Selamat akhir pekan, penyair salon!
Seorang nenek tua, menawarkan krupuk tiga rasa, di bising Malioboro
lewat tengah malam.
Seorang penyair setengah tua, termangu di tikar di atas trotoar, tiba tiba birnya berubah jadi tiga rasa, Malioboro jadi sunyi seperti bayi mati.
Penyanyi jalanan bernyanyi, lonte nite club menari, penyair inlander mencari metafora di puting backpacker politically correct, dalam semalam.
Tiga krupuk tiga rasa mengapung di buih bir di ujung botol, di ujung bibir, di ujung malam, di ujung Malioboro tempat nenek tua terbaring lelah.
Selamat akhir pekan, penyair borjuis, penyair inlander, penyair infotainment! Masih belum puas dengan banalitas daun gugur di cangkir kopimu?!
Jogja, 2013
BIODATA
Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di kota kecil Tebing Tinggi, Sumatera Utara, tapi dibesarkan sebagai “anak kolong” di Medan. Sekarang menetap di Jogjakarta sebagai penulis full-time. Buku-buku puisinya yang sudah terbit antara lain saut kecil bicara dengan tuhan (2003), otobiografi (2007), Perahu Mabuk (2014) dan Negeri Terluka (2020) sementara buku kumpulan esei sastranya Politik Sastra (2009) dan Sastra Dan Film (2022). Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam buku Kotbah Hari Minggu (2016).