Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PARADE PUISI

Adnan Guntur, Asep Salahudin, Bima Yuswa, Karst Mawardi

Ilustrasi: Gede Gunada

 

Adnan Guntur

Soneta yang Dipelajari Para Dewa

KPU Kabupaten Gianyar KPU Kabupaten Gianyar

seperti longsung tombol telah tertekan lalu menimbulkan gelombang udara dari perutmu, diantara garis padam rumahku adalah puing-puing amoniak yang berjalanan di atas lantai buku sunyi kitab para pemabuk

kububuhi segenggam perjalanan dari sinar gelap matahari, dirimu berdatangan dengan kecepatan cahaya seperti udara yang menembus para pendoa dan pendosa, akar-akar pohon tumbuh, sebuah ingatan membentuk ligamen, mendirikan tembok dengan pecahan ilahi meteor

“telah kutendang ladang pertanian, gunting dari warisan pembantaian”

sesampainya, aku hanyalah burung yang terbang menuju gorong-gorong kesedihan yang membatasi dirinya sendiri, lalu waktu terhenti; kupasangi mantra dari macam cerita yang mundur tersembunyi di bawah lidahmu

menjilati bayangan, biji cuaca telah tumbuh dalam kakiku, melompati sorga dan meniupi usia dalam sebuah soneta yang dipelajari para dewa

Surabaya, 2022

 

Sungai Darah Diantara Kalimat yang Bergerak

kucatat kesedihan dan nama-nama para dewa yang jatuh, bunyi degup menggema, kau lambaikan air matamu yang hijau ke selembar daun dengan luka yang jatuh

seketika waktu berlarian terbalik, jendela membuka sebuah tabiat dari kesakitan yang melolong lalu menumbuhi langit-langit dengan rambut yang lebat

kudengari hari peperangan dari sekelebat suara kuda, halaman hanyalah penyubur sunyi dari masa lalu, kakiku berdetak-detak ketika sepasang angka membuka pintu kabut dari hutan-hutan yang takut, di sana;

hanya gerak burung beterbangan dengan sepasang sayapnya yang patah, udara gemetar, tuhan jatuh dengan kepalanya yang putus

sungai darah diantara kalimat yang bergerak, suatu pagi beku, matamu menggerakkan masa depan di sebalik meja patah yang memercikkan bintang-bintang yang kembali pulang menuju menara

Surabaya, 2022

 

Asep Salahudin

Kiara Park

setelah dua putaran diselesaikan, kita saling bercerita
kita bahagia atau tidak aku hampir tahu tapi tidak sepenuhnya kehilangan tuju
enam november. yang tersisa dari hari kelahiran mungkin lenguh, keluh atau peluh
yang pasti senja tidak bisa ditolak. ketika usia mengokohkan tepi
kau tercipta untukku?
“aku menerima lamaranmu bukan memburu gembira”
ketika tiga anak lahir. kau, aku dan mereka menerka bahwa rumah adalah tangga menuju surga. adalah akar yang menguatkan pohon atau soal iman yang mengurapi kehidupan
tapi ini november, kau menyela, hujan dan angin sebentar lagi menyatukan musim. sebaiknya diselesaikan putaran ketiga
setelah itu kita gumamkan doa. sebelum sebuah ujung menghampiri

 

Pangersa

tepekur di sebuah kursi
abadi pada sunyi
khafi deras bergolak
mata menembus palung cakrawala
lumat dalam baka

seperti arus
menghancurkan tebing
memugar fajar
dalam ribuan talqin yang ditatahnya:
iman menyala

di sepanjang malam
keramat melulur
menyandar pada yang kekal
di antara sir dan asrar

menyiapkan nama-nama
namun tak ada atau belum tiba

di tahun-tahun kemudian banyak yang mengaku guru tapi sirna pesona:
susul menyusul jualan dusta
dan gamis yang menyapu tanah
memperebutkan yang entah

“kau lihat gobang mengkilat itu memotong tepi lidahnya”

sosok bersahaja itu tak merujuk tubuh
hanya mengirim isyarat antara talqin dan wakilnya
antara rasa dan raibnya

 

Bima Yuswa

Riwayat Pohon

sesudah asap
dari bakaran kayu
lesap ke awan;
yang tersisa darinya
cuma abu,
bau sangit atau harum?

pohon-pohon telah dikisahkan
dengan nama berbeda
melintas waktu
berakar pada kosong
sebelum satu dan min satu

Lampung, 2023

 

Wangi Sorga

di dunia yang tenggelam
dalam gelas wisky
tak ada sesuatu bernama eudaimonia,
segalanya hanya bayang prasangka

baju diri bakal hangus diludahi api,
maut meremat keakuan hingga lebur
bercampur tanah pekuburannya sendiri

dari dinding orang mati
menggema berbait dusta
bangunkan aku,
maka kan kubangun
berjuta tempat ibadah,
beribu nyala dupa,
dan bermacam sesembahan”

dan begitulah manusia
sibuk memamah nanah
tetapi gemar bercerita
tentang wangi sorga

Lampung, 2023

 

Karst Mawardi

Spell

orgel di bukit zaitun
genta di tebing gunung

gelombang yang jauh
tinggi-rendah suara

pada setiap jendela
spons bertambah rimbun

batas pada jalan atau
jurang, batas bagi

setiap kondisi
serta kejadian

untuk berhenti, sehingga
keawamanku mengambil

alih bagian:
Buka!

kelilipanku
telah mengeliminasi

kendali peluang
satu per satu:

lepasnya kerbau,
runtuhnya kastil

busa laut, dan
tungau scabies

menyebar di lutut,
bertelur

Buka:
interferensi

atau sabda, ketika
grafem <n> itu

terpencar dari
titah penuturnya

sejak gagu (juga
ragu) yang inheren

dengan pribadinya
mendadak

mempertanyakan
dress code yang

cocok untuk
memenuhi undangan

 

Adumbration

sarkofagus pupa
sayap jaring laba-laba

kotak musik usang
kepak di luar gudang

anonim, hitam putih: ia terjatuh
bersama pigura lapuknya

goresan tinta memudar, relief tertutup belukar
dan senja: sewarna ornamen kaca kekuningan

tiada yang datang, tiada yang pergi
sebatang kunci dalam tatap iba seorang gipsy

rayap, piring, buku puisi
deflasi seluas pandang—lalu seleksi alam

di luar amin, di luar krematorium
segalanya, kini tinggal adagium

 

 

BIODATA

Adnan Guntur, lahir di Pandeglang 1999. Buku puisinya Tubuh Mati Menyantap Dirinya Sendiri (2022), Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api (2023).

Asep Salahudin, rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya. Menulis tiga buku Sunda, Sufisme Sunda (2017), Kitab Tritangtu: Keislaman, Kesundaan Keindonesiaan (2020), Jatiniskala: Memahami Spiritualisme Manusia Sunda (2022).

Bima Yuswa, tinggal di Lampung, tertarik pada bacaan sastra dan juga filsafat.

Karst Mawardi, lahir di Banjarmasin, 28 Juni 1999. Bekerja sebagai guru honorer dan petugas perpustakaan pada salah satu sekolah dasar di Banjarmasin.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!