BERKEBUN
Pagi itu aku mencangkul
halaman belakang rumah
yang katanya dulu bekas kuburan
atau tempat orang
menyembunyikan rindu.
Tanahnya diam saja
seperti sedang menyimpan
rahasia tentang seseorang
yang tak pernah benar-benar pergi.
Aku menanam langkah-langkah
yang sudah tidak kupakai
langkah-langkah yang dulu
suka menyusulmu
meski tahu
tak akan pernah bisa mendahului.
Kusisipkan benih
yang kutemukan di saku jaket tua
tulisannya kabur
entah “doa” atau “dosa”
mungkin memang tak perlu dibedakan.
Tiba-tiba tanah membuka mulut
dari lubangnya
keluar siluet mirip ayah
atau mungkin
aku di masa tua.
Ia tak bicara
hanya memeluk cangkulku
lalu bersujud
mungkin karena capek
membawa beban
yang bahkan tak punya nama.
Aku diam saja
menatap air matanya
yang jatuh ke benih tadi
tumbuh sepasang telinga
yang menolak
mendengar argumen klise.
Kau muncul sore harinya
tanpa suara
tanpa tubuh
tapi membawa aroma roti panggang
dan kata-kata
yang belum sempat
kau kirim dahulu.
Lalu kau menanam aku
di samping langkah-langkah itu
dengan cangkul yang sama
dengan senyum yang tak selesai.
Dan aku,
akhirnya tumbuh
menjadi pertanyaan
yang tak perlu terjawab.
2025
PERCAKAPAN DENGAN KAOS KAKI
Aku tanya pada kaos kaki,
“Kenapa kau selalu hilang sebelah?”
Ia menjawab sambil menguap,
“Aku tidak hilang,
aku pergi lebih dahulu.
Yang satunya terlalu setia,
hingga lupa caranya pulang.”
Aku terdiam,
lalu duduk di lantai
menghadap lemari
yang setengah terbuka
seperti mulut
yang enggan mengaku salah.
Kaos kaki itu melanjutkan,
“Kadang manusia seperti kami,
berpasangan karena terbiasa
bukan karena benar-benar seirama.”
Aku tersenyum pahit
kumasukkan kaos kaki itu
ke dalam sepatu
yang tak akan dipakai hari ini.
“Kenapa kau tak minta dicuci dulu?”
tanyaku.
Ia menjawab ringan,
“Bau adalah bukti aku pernah sampai
lebih jauh dari pikiranmu.”
Lalu,
ia menutup mata benangnya
beristirahat di sudut kamar
menunggu pasangannya
yang mungkin sedang tersesat
di mesin cuci
atau dipakai seseorang
yang juga kehilangan arah.
2025
CELANA YANG BOSAN DUDUK
Pagi ini,
celanaku mogok dipakai
ia melipat diri di ujung ranjang
dan berkata,
“Aku lelah menampung
kegelisahan yang tak punya kaki.”
Aku duduk di sebelahnya
berharap ia berubah pikiran
tapi ia hanya mendesah,
“Setiap hari kau pakai aku
untuk duduk di depan layar
tapi pikiranmu ke mana-mana,
kau tak butuh aku,
kau butuh jalan.”
Aku tertawa kecil,
“Bagaimana mungkin aku jalan
kalau arahnya
sudah disembunyikan?”
Ia membentangkan tubuhnya perlahan
“Aku dulu menemanimu ke gunung,
ke stasiun, ke rumah mantanmu,
sekarang, aku cuma jadi alas kentut.”
Aku menunduk,
menatap lututku
yang mulai lupa
caranya bertekuk.
Ia memelukku,
keduanya kanan dan kiri.
“Kalau suatu hari
kau berani pergi lagi,
biar aku yang jadi peta,
asal kau yang jadi langkah.”
2025
LEMARI DAN KENANGAN ORANG LAIN
Lemari di kamarku tiba-tiba batuk
“Maaf,” katanya,
“Debu di sini bukan punyamu.”
Aku membuka pintunya
perlahan hawa dingin keluar
bukan dari suhu
tapi dari kenangan
yang tak aku kenal.
Di dalamnya
ada gaun merah
yang tidak pernah kubeli
kemeja putih yang terlalu besar
dan sapu tangan bertuliskan
“Untukmu yang tak jadi tua bersamaku.”
“Lemari,” kataku pelan,
“kenapa kau simpan milik orang lain?”
Ia menjawab,
“Karena kalian manusia
pandai melupakan,
tapi buruk dalam benar-benar melepaskan.”
Aku menyentuh bahu gantungan
rasanya seperti menyentuh
punggung seseorang
yang pernah kucintai
atau mungkin
hanya kubayangkan.
Lemari tertawa pelan,
“Kamu pikir
hanya kamu yang menunggu?
Aku menunggu kau benar-benar tinggal,
bukan hanya menggantungkan pakaian.”
Aku menutup pintunya
di dalam
segala yang bukan milikku
tetap berdiri diam
tak berganti musim
seperti masa lalu
yang terlalu sopan untuk pergi,
dan terlalu asing untuk diajak tinggal.
2025
BANTAL YANG MEREKAM MIMPI
Bantal itu berkata padaku,
“Setiap malam,
aku menampung beban
yang tidak pernah kau ceritakan.”
Aku berbaring di atasnya
merasa ia menyelam ke dalam
tanpa suara tanpa pertanyaan.
Ia melanjutkan,
“Apakah kau tahu,
aku pernah mengingatkanmu
akan tempat-tempat
yang tidak pernah kau kunjungi?
Dan orang-orang
yang tidak pernah kau temui?
Aku memimpikan mereka
saat kau tidur terus menerus
seperti air
yang tak pernah berhenti mengalir.”
Aku tertunduk.
“Kenapa tidak kau ceritakan saja?”
tanyaku sedikit kesal.
Bantal menghela napas.
“Kau terlalu sibuk mencari jawaban,
padahal aku lebih suka bertanya.”
Lalu ia diam lagi
menyerap ketenangan
yang sudah terlanjur hilang.
“Mimpimu sering patah,” katanya,
“Karena kamu terlalu khawatir
tentang mimpi orang lain.
Kita tak pernah tahu
apakah yang hilang itu adalah mimpi
atau yang terbangun?”
Aku terdiam,
mungkin ia benar
tidur bukan hanya untuk beristirahat
tapi untuk menemukan
segala yang tidak bisa
ditangkap oleh mata.
2025
CERMIN
YANG MOGOK KERJA
Aku berdiri di depan cermin
ia bertanya,
“Apa yang kau cari di sini?”
“Aku ingin melihat diriku,” jawabku.
Ia tertawa pelan,
“Aku hanya menunjukkan bayangan.”
“Kenapa tidak jujur?” tanyaku
Cermin menjawab,
“Aku hanya memantulkan
apa yang ada.
Kau takut melihat dirimu
maka aku juga takut
menunjukkan siapa kamu.”
Aku berpaling,
meninggalkan wajah
yang tak lagi bisa dikenali.
2025
CEMBURU PADA LANTAI
Meja bertanya,
“Kenapa kau selalu
menunduk ke lantai?”
Aku diam.
Ia terus berkata,
“Aku menampung bebanmu,
kenapa kau lebih suka
duduk di bawah?”
Aku menjawab,
“Lantai lebih sabar.”
Ia terdiam,
dan aku hanya berkata,
“Aku takut jatuh.”
2025
BIODATA
Armen Setiaji Untung lahir di Jakarta, 5 September 1980. Buku antologi pertama berjudul Ziarah Kenang (2019). Beberapa karya termuat di media, seperti Kompas, Litera, Kawaca, Majalah Elipsis, Pikiran Rakyat dll. Dan juga tergabung dalam buku bersama, seperti Tifa Nusantara 3 (2016), Monolog Di Penjara (2018), Bulu Waktu (Sastra Reboan, 2018), Jugijagijug (Redaksi Meja Tamu, 2018). Puisinya yang berjudul “Palung Ingatan” juga terpilih menjadi salah satu Nomine Penghargaan Sastra Litera 2018.