JALAN MARUGA RAYA
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota,
dan tak berdaya orang-orang di jalan
menahan matahari dari birahi raja-raja.
bunga anggrek dan baju dinas
terwarnai rencana buas
dari perbincangan bersama swasta
untuk suatu pemetaan wilayah
serta pertemuan rahasia bersama pers
menjelma suara-suara kendaraan
yang meraung-raung dengan makian:
bahwa demi kepentingan
segala hal harus dihalalkan!
kesedihan yang menjelma panas
itu menjadi runcing di hati yang waswas:
“Ini standar hukum
untuk kaum, untuk kaum.”
wajah media terjerat pancaroba
tak sempat memasang iklan
untuk dimuat kabar harian.
para orang miskin membisu
lupa semua doa yang hendak
di-mikraj-kan
lalu debu terbang bebas
dan tertutuplah permukaan surga.
Ada seorang sosialis
menggiring kata-kata:
kita semua bersaudara
tapi, uang lain cerita.
suaranya seperti barang rongsok,
membusuk dengan waktu,
di trotoar, di sel-sel penjara harapan.
o, di jalan MARUGA
di warung kopi murahan
jejak Betawi berserakan dalam sajak
tertimpa rencana pembangunan
di sekolah, di gedung penguasa,
di seragam kerja honorer,
dan di toko tembakau yang klise.
seorang penjaga kantor berkata:
adakah berita?
dalam kaca ponsel yang takabur
kitab digital tertampar sosial media
motor-mobil berkeliaran
menyeberangi kenyataan
aura ketakutan mengelak
dari kematian, yang diwacanakan koran.
barangkali yang terakhir dan satu-satunya
yang berkaitan, telah lama
ditinggalkan manusia pada rumahnya.
“ada berapa nyali di hidupMu?”
kata tukang parkir sore itu.
tukang parkir itu menanyakan rumahKu
dan berapa hari sekali mengunyah nasi?
“di hatimu, apakah ada Tuhan?”
“siapa yang pantas anda percaya
setelah penghianat memasuki rumahMu?”
…. Aku diam tak menggubris.
lalu matahari mati dengan
bayangan upacara kebangkitan
dengan kebahagiaan yang terluka.
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
harum anggrek semerbak bahaya
kata-kata mesti dipisahkan dari wawancara
dan makna kebahagiaan yang tertampung
di kertas-kertas pidato.
sebuah puisi subversif kering kerontang
melekat di udara yang amat busuk
di genangan air ketika hujan datang
yang berkeliaran di bunderan Ciater
yang macet, yang keder.
o, para pengendara matanya tajam
hatinya berdarah, wajahnya muram.
“Tangsel akan tumbuh oleh
takut dan kesepian… tapi ia sendiri
berjaya sendiri, menangis sendiri
dilupakan dirinya sendiri.
dan orang-orang saling menyapa
tapi tawar-percuma
dan rasanya selebihnya swasta,”
kata pengendara mobil yang lelah.
“Lho… aku siapa?”
konser-konser, keramaian yang hampa
rencana-rencana, kebisuan yang berdarah
atau harapan yang sekadar igauan sementara.
“Tangsel ini tak mengerti apa
yang dia jalani itu,”
ah, aku tak tahu kenapa harus ada di sini
dan berbicara itu, berbicara ini.
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
di jalanan dengan wajah yang ramai
dengan sisa baliho partai
dan suara ayat-ayat Tuhan berguguran
semacam hikayat, membawa ketetapan
mengunjungi semua kemungkinan.
sekarang aku tiba-tiba berada di mana saja
seperti udara…
nempel di gantungan jemuran
dan bahan-bahan makanan
pada lembar uang kertas
di kehidupan yang lepas
di sela-sela wajah Serpong dan Ciputat
setelah keterampilan hidup yang sesat.
seorang mahasiswa sastra
membaca puisi Rendra:
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan. Kepadamu, aku bertanya!
lalu penyair kampung matanya merah
sambil mengeluhkan keadaannya:
aku lapar dan kalah.
kemurnian yang bertengger di mulut bayi
berselancar di payudara ibu-ibu
kebaikan yang mati kerna waktu
meracau ke sendok dan garpu
dan truk sampah milik penguasa
berdampingan mesra
dengan kendaraan roda tiga
dengan knalpot yang jelek suaranya.
“Kita pasti mati,
tapi kebodohan telah menjadi kehidupan,
kepasrahan jadi rambu-rambu yang abadi,”
kata pedagang bakso pinggir jalan.
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
dan kesenian
serta kebudayaan
hanya pameran yang maklum.
dan puisi yang bingung,
taman kota yang dekoratif
dan beberapa kursi
legislatif yang dijualbelikan
menganyam dinding-dinding perkantoran.
“28 Oktober 2008
atas ijtihad, dan sebuah kenyataan
menjelma tujuh kecamatan
dan sekarang bergerak sembarangan,”
kata Buruh angkut sampah penguasa.
“Jangan membicarakan hal yang percuma
itu memang ada, tapi percuma
dan hiduplah hidupmu, wahai anak muda,”
kata perempuan tua.
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
di jalan MARUGA
di dinding kantor yang tergantung burung Garuda
mengapa kita mudah percaya
lepas itu jadi curiga?
mengapa ada rencana
yang bisa celaka, dan bisa bahagia?
oh… mungkin karena sebagai manusia
kita punya cinta
yang dititipkan Tuhan
kepada hati, kepada jiwa kita
untuk menutupi hidup yang percuma
hidup yang neraka
hidup yang sekadar menunda hari senja
hari yang melulu kalah!
(2024)
BUNGA ANGGREK
*
di pot hitam, di halaman
gedung penguasa
dan ruang orang kaya
anggrek mekar seperti kotoran
menyala percuma
dikelola mimpi yang jahat
iblis menjelma kuning pekat.
sepuluh tahunan anggrek dirawat
pupuk-pupuk kemasan, asumsi sesat
seribu tangan kehilangan rahmat
berteriak gelombang suara yang padat.
para media memotretnya, menyebarkan
kuning menyala
dalam buaian keindahan fana
suara nurani tercecer di langkah keraguan.
orang-orang yang semrawut mendesah
di sekitarnya,
dan di pancaran warna-warni lainnya
kadang semua hal gampang berubah
ada suara lainnya yang menangis
ada keindahan lainnya meringis
sebuah kenyataan misterius
dari polusi yang menempel pada emas.
**
wahai, anggrek mekar di kantor penguasa
kau nyala di cermin yang menggoda
oksigen dari tujuh wilayah
menampakkan peringatan perih dan luka
mencari-cari dinding-dinding kebebasan.
Sebab suara-suara di hati makin asing
pada jiwa yang bingung
menyelinap ke rambut para penguasa
mekarMu terasa buru-buru
dalam kelaparan dan keadilan yang mendesah
malam pada tidur yang menakutkan.
sebab mekarMu menambah angin ribut
menghancurkan dadaMu yang kusut
amatlah harum kebenaran, amat jelas hati yang lembut
dan pada bulan-bulan pergantian
sejumlah kesatria antre makanan
sambil memandang mekarMu
dan seseorang lainnya memaki lapar.
keluarga! kebusukan! Jual beli! Cinta
o, mimpi mekar abadi yang sembrono
kau layu sebentar lagi
api dari arah tak terduga bukan ilusi
rahasia keindahan makna membunuh kata-kata
kebenaran yang maha ajaib
menerawang dari suara-suara gaib.
***
Lihat! seorang penyair mendatangiMu
memandangi kuning mekarMu
dalam cahaya kebisuan, mencari
kegelapan yang tersusun rapih, hati-hati
dan di sekitar pot-pot hitam
kucing kampung matanya tajam
ia melihat bunga anggrek seperti kejam
yang menodongkan ancaman!
(2024)
BAYANGAN CINTA KEMELARATAN
aku harap kita mesti tahu
seperti itulah nasibKu dan nasibMu
berjalan serampangan, kebingungan
seperti sampah, seperti kelelawar, seperti bajingan
sepanjang hari, sepanjang malam
menuduh kehidupan, memaki-maki kenyataan.
setiap hari mimpi dan imajinasi
mengawal hati nurani
makan malam dengan pikiran soal cicilan
antara hutang bank dan utang masa depan
dengan jalanan bau busuk
dan banjir, dan mental yang tertusuk
rintihan lapar, dan suara ibu-ibu batuk
dan pelacuran, dan sekotak bahan narkoba
menari-nari di sisi trotoar dan gedung swasta
dan musik populer murahan
bergabung dengan tubuh seni pemberontakan
dalam racun kata entitas ideologis
yang meraung-raung di kepala ormas
dengan nasihat perempuan beringas.
swasta di kepala
negara di tubuh janda
dari lagu-lagu kebangsaan
antara tuan-tuan dan budak-budak
untuk kekayaan yang mendadak
membungkus birahi
dan mulut-mulut kebencian si pesimis.
buset! tembakau dan lipstik
obat-obatan dan kendaraan listrik
arak beras dan wiski murahan
asbak, buku, stempel birokrat
wajah lugu dan cinta yang sekarat
dan kepentingan
dan kepentingan
melaju deras di dubur kemelaratan
di jiwa kemelaratan!
aku harap kita mesti tahu
uang, populer, kemewahan
telah berduri di hati kau dan aku
menggeser mimpi kanak-kanak
dari definisi picisan yang kocak
dengan lampu lima watt
dan kekonyolan sampah plastik
dari makanan cepat saji
dan bau kotoran di sela gigi
dan bekas kejayaan sebuah kota
di huruf purba
rencana tata ruang kota
dalam Betawi, Sunda dan Jawa
dan kebudayaan yang ala kadarnya
dan seksualitas yang pragmatis
dengan campuran iman
di langit jingga bercorak pemerintahan
dan aliran masasilam jiwa impresif.
analisis perang dunia
dan rancangan biaya PILKADA
tergantung di angkasa
berwarna merah
mirip birahi kaum romantisme
yang tertekan ejakulasi makna.
yang menyala dari bibir intelektual
hanya sperma busuk yang amat kental
sebelum puisi-puisi
dan teori-teori
yang nyangsang di kelaparan
dan di kemiskinan.
dengar! aku harap kita tahu
tembok-tembok yang berbaju abu-abu
dari tablet waktu, mesin-mesin bergambar bunga
diagnosa demam berdarah
dan rujukan aborsi
dan ingatan sakit hati, dan sakit gigi
terbang dan terbaring
berjaya dan terbanting
sambil berkata:
bawakan aku kematian
dari bayangan cinta
dan sebuah kemelaratan!
baliho partai dengan wajah yang sombong
di ruang terbuka, dan rumah orang kalah
di jiwa, di protes, di jebakan setan yang bergairah
menangkap kejenuhan hidup sebagai manusia
dan alun-alun, taman kota
dan tandon, dan cinta
terbayang di muka petugas keamanan kota!
aduh! kompos gas
sabun dan odol, dan minyak goreng bekas
dan akses internet
dan tagihan dan keriuhan.
Aduh! kado percintaan
dengan gerak estetika yang dipaksakan
meninggalkan konsep, dan momentum
dari suara-suara rasis
dan kemewahan berjubah fasis
papan iklan elektronik
stiker dan sebuah kekuasaan ikonik.
aku harap kita mesti tahu
bayangan yang menipu
dan menggebu-gebu
menempel di jidatMu
di pori-pori bibirku
di seluruh pikiran nakalMu
di sela-sela waktu yang malu-malu
dengan impian
dan pemberontakan
atau khayalan
serta kemungkinan atas kemunafikan
terjelaskan dari sumber masasilam
menjelma gelombang dan penasaran
mengetuk kenyataan dan penghayatan
memberanikan diri untuk bertahan
dan mempertahankan diri untuk sebuah keberanian
dari sebuah bayangan cinta KEMELARATAN.
aku harap kita mesti tahu
seperti itulah nasibKu dan nasibMu
berjalan serampangan, kebingungan
seperti sampah, seperti kelelawar, seperti bajingan
sepanjang hari, sepanjang malam
menuduh kehidupan, memaki-maki kenyataan
(2024)
BIODATA
AHMAD RIZKI, tukang Ayam Geprek di belakang Kampus UIN Jakarta. Sering mendengarkan ceramah orang tua di rumah dan suka tidur, serta nyari duit sampingan demi kebutuhan hidup sehari-hari.