KLUNGKUNG, Balipolitika.com– Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Indonesia Raya (DPD Gerindra) Provinsi Bali, Made Muliawan Arya atau yang akrab disapa De Gadjah mengunjungi 35 warga Banjar Sental Kangin, Nusa Penida, Klungkung yang hingga kini berstatus kanorayang atau sanksi adat dan diusir dari kampung halamannya.
De Gadjah mendatangi lokasi pengungsian mereka di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Jalan Raya Banjarangkan, Tusan, Klungkung pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Sejak 21 Maret 2025 lalu, ketujuh KK yang berjumlah 35 jiwa, terdiri dari 7 anak-anak, lansia, hingga perempuan, terpaksa meninggalkan rumah dan tanah leluhur mereka akibat perselisihan antarwarga yang belum terselesaikan.
Selama dua bulan lebih, mereka bertahan di tempat penampungan sementara dengan segala keterbatasan.
De Gadjah hadir tidak hanya memberikan dukungan moril, tetapi juga bantuan berupa kursi roda, tongkat, alat-alat sanitasi bagi lansia, serta kebutuhan pokok.
Ia menyatakan keprihatinannya atas situasi ini dan berharap persoalan segera tuntas.
“Saya berharap Bapak, Ibu di sini tetap sabar, berdoa agar masalah ini cepat selesai dan bisa kembali ke rumah masing-masing,” ujar De Gadjah di hadapan warga.
Perwakilan warga, Made Sudiarta menyampaikan terima kasih atas perhatian tersebut.
“Kami warga di sini berterima kasih banyak kepada beliau karena telah berkenan hadir untuk melihat keadaan kami di sini memberikan bantuan beserta jajaran DPRD dan Gerindra Klungkung,” katanya.
Selama mengungsi, kebutuhan konsumsi memang ditangani Dinas Sosial Klungkung, namun anak-anak masih mengalami trauma.
Mereka sulit bergerak bebas dan bahkan terpaksa mendaftar sekolah sementara di dekat lokasi penampungan.
“Kami juga merasa khawatir karena terbatasnya ruang gerak dan tidak bisa kerja secara leluasa,” ujarnya.
Terkait kepastian kapan bisa kembali belum ada, karena hingga saat ini keputusan dari pihak terkait, termasuk Bupati Klungkung, belum turun.
Sudiarta menegaskan sejak awal pihaknya tidak pernah melanggar adat.
Permasalahan bermula dari persoalan pemanfaatan tanah negara untuk usaha, yang sebenarnya di luar ranah adat.
Namun keputusan sepihak dari bendesa adat menyebabkan mereka dinyatakan kanorayang, sesuatu yang dinilai warga tidak adil.
“Kami hanya ingin kepastian keamanan dari aparat hukum. Karena selama ini kejadian yang membuat anak-anak trauma itu yang jadi beban kami,” ujar Putu Suardika, warga lainnya.
Warga pun menolak jika dipindah ke tempat lain, “Di sana tanah leluhur kami sejak sebelum Indonesia merdeka. Orang tua kami pendiri banjar itu. Kami tidak mau pindah, hanya ingin jaminan keamanan dan bisa pulang,” tambahnya.
De Gadjah berjanji akan terus mendorong agar permasalahan ini mendapat perhatian serius dari pihak berwenang, sekaligus mencari jalan keluar terbaik agar warga bisa kembali ke rumah masing-masing dengan tenang dan aman. (bp/ken)