SEJAK MENIKAH, aku mempunyai ritual untuk merenungkan setiap kejadian yang terjadi dalam sehari. Biasanya kulakukan itu bersama istriku di kasur sebelum tidur. Kami akan saling bercerita sambil berpelukan. Seringnya, kami mengutuk kehidupan yang menyebalkan nan menyedihkan yang kami punya. Sisanya, kami menertawakan penderitaan kami sendiri.
Sekarang, istriku tidak ada. Dia tidak ikut ke kampung halamanku untuk melayat keluarga besar bundaku yang baru saja ditinggal Nenek. Jadi, hanya ada aku di balkon rumah ayahku, menatap lampu-lampu rumah dari kejauhan yang cahayanya mirip sinar bintang, sambil merokok dan meminum teh manis panas.
Baiklah. Mari mulai. Hari ini fokusku hanya pada kematian Nenek. Jam sepuluh ketika aku sedang berada di kantor, Bunda mengabariku dari group WA keluarga besar, bahwa Nenek meninggal. Sebenarnya dia tidak benar-benar mengabariku, dia hanya men-tag-ku dan menyuruhku pulang. Aku balas, sepulang kerja akan ke sana. Mengingat baru beberapa bulan lalu, aku cuti karena bibiku meninggal, jadi hari ini aku tidak berani cuti lagi. Bunda sedikit tidak memahami itu, mengutukku karena lebih memedulikan pekerjaan dibanding keluarga. Aku sama sekali tidak membuat pembelaan, lagi pula debat di group WA adalah salah satu tindakan bodoh yang kuhindari.
Saat itu, di sela-sela pekerjaanku, segera ku-WA istriku. Aku mengajaknya untuk sama-sama ke sana sepulang kami kerja. Dia menolak dengan berbagai alasan. Mari bahas ini di rumah sepulang kerja, balasku. Lalu aku fokus kembali ke pekerjaanku. Itu hal mudah, karena aku memang kurang dekat dengan Nenek. Bagiku, Nenek tidak seasyik yang diceritakan dalam PR anak SD dengan tema liburan ke rumah Nenek. Alasan istriku tidak hadir juga tidak terlalu membuatku risau, dan bisa didiskusikan di rumah. Jadi aku bisa dengan mudah kembali bekerja.
Aku tidak akan menyebutkan lebih detail tentang pekerjaanku. Itu membosankan. Jadi langsung ke waktu aku pulang ke rumah. Ketika itu, istriku sudah pulang. Namun sepertinya belum lama, karena dia belum mengganti baju. Dia sedang bersantai di sofa. “Pokoknya, aku tidak mau datang,” katanya bahkan sebelum aku duduk.
“Kejadian di kematian Bibi masih melekat, ya?” tanyaku sambil duduk. Dia hanya mengangguk. “Kalau kau tidak datang, hal itu akan lebih memanas, bukan?”
“Kamu bisa berbohong. Bilang aku sakit.” Aku hanya diam. Waktu itu, aku merasa haus. Kenapa kami tidak minum dulu sebelum bicara. “Mereka selalu membenci Cina. Aku ada dan tidak ada, tetap dibenci.” Aku masih diam dan masih merasa haus. Istriku bangkit dari duduknya dan membawa minum. Sambil menunggu istriku mengisi gelas dengan air galon, aku berpikir apakah akan mendebatnya atau tidak.
Istriku menyimpan dua gelas di meja. Aku minum. “Terima kasih,” ujarku yang tidak mengerti kenapa istriku bisa tahu bahwa aku haus. “Kau tahu, mereka sepertinya membenci semua orang. Bukan hanya Cina saja,” lanjutku.
“Intinya aku tidak mau ikut,” jawab istriku lalu meminum air dari gelasnya. Terdengar suara ting yang cukup melengking saat dia menyimpan kembali gelas kosongnya ke meja.
SEKARANG aku menghisap rokokku. Apalagi, ya, yang terjadi setelah itu. Seingatku, aku pergi sendiri menaiki mobil setelah berganti pakaian dengan baju koko ditambah peci hitam. Sebenarnya rumah keluarga besar Bunda dengan rumahku masih di satu kota yang sama. Hanya saja kampung halamanku berada di tempat yang cukup terpelosok. Perjalanan ke sana dari rumahku sekitar dua jam. Selama itu pula, aku mendengarkan radio dan menatap senja terbenam dari kaca spion.
Sampailah aku di rumah Nenek saat magrib menuju isya. Di sana sudah tidak ramai. Hanya ada dua pamanku, juga dua bibiku. Bunda sepertinya sudah pulang ke rumahnya. Sedangkan Kakek telah lama tiada, bahkan sebelum aku lahir. Dari luar, aku mendengar mereka sedang membicarakanku dan istriku. Aku bisa mendengarnya karena suara bibiku begitu keras.
Ketika aku masuk, langsung hening. Seolah menambah kepercayaanku bahwa mereka memang membicarakan keluargaku. Aku salam kepada mereka semua. Meminta maaf karena hadir terlambat. Kemudian, aku berbasa-basi dengan menanyakan Bunda. Mereka menjawab, Bunda baru saja pulang.
Yang paling kubenci dari hari ini dimulai sesaat setelah itu. Aku sedikit lupa dari mana obrolan ini dimulai tapi tiba-tiba mereka membahas tentang pemilihan kepala desa. Aku menyimak saja, karena aku merasa tidak mengerti apa yang mereka bahas. Aku sudah lama tinggal di kota dan memang sudah lama tidak memilih pemimpin. Aku bahkan tidak tahu di rumahku ada kepala desa atau tidak.
“Si A, calon yang terpilih itu, mainnya licik. Satu suara dibeli seratus ribu.” Sebenarnya kalimatnya bukan ‘Si A’. Pamanku waktu itu menyebutkan nama, cuman aku tidak ingat siapa.
“Ah, di desa B, si C juga sama. Katanya, sih, abis delapan belas miliar.” Lagi-lagi aku tidak ingat desa apa yang disebut dan siapa namanya.
Aku tetap menyimak sambil, kalau tidak salah, merokok. Rumah Nenek memang sebuah rumah dengan ruang keluarga yang luas dan bebas merokok. Tipe-tipe rumah di pedesaan, yang masih panggung dan memakai bilik anyaman. “Si D, tidak terpilih, tapi rugi dua puluh lima miliar.” Aku lupa siapa yang mengucapkan itu, tapi aku ingat ada yang mengucapkan kata tersebut.
Selama dua jam, aku tetap bertahan di sana. Aku sama sekali tidak bicara. Mereka lebih banyak bicara, dan topiknya masih tentang pemilihan kepala desa. Aku juga baru menyadari saat itu bahwa tahun ini, pemilihan kepala desa dilakukan serempak. Jadi mereka membicarakan dari desa ke desa. Ada yang desanya kutahu, ada yang namanya begitu asing.
Aku pulang ketika rokokku telah habis. Aku pergi pamit pada mereka semua. Aku izin untuk pulang karena harus ke rumah Bunda, tidak baik jika terlalu malam. Kurang lebih begitulah alasanku. Padahal sebenarnya aku sudah muak dengan obrolan politik mereka. Saat pertama datang, aku membayangkan obrolan tentang kebaikan Nenek, lalu beberapa keluarga masih menangis dan aku akan dibuat sedih. Semua ini di luar ekspektasiku. Aku merasa jijik dengan apa yang dibicarakan. Bukan karena aku merasa mereka tidak menghormati Nenek dan kematiannya. Aku hanya benci politik.
ANGIN dari balkon mulai membuatku menggigil. Sialan, aku merindukan pelukan istriku. Memang lebih baik ritual merenung ini dilakukan di kamar bersamanya. Aku pindah ke dalam, membawa cangkir tehku dan menyimpannya di meja. Kunyalakan rokok, dan mulai kuingat-ingat lagi tentang hari ini.
Kalau tidak salah, aku langsung pulang ke rumah Bunda. Tadinya aku ingin menginap di sana. Sekalian meminta maaf dan menghibur Bunda yang baru ditinggal Nenek. Oh ya, aku lupa menjelaskan bahwa orang tuaku bercerai sejak aku kecil. Jadi rumah Bunda bukanlah rumah yang sekarang kutempati. Akan kujelaskan sebentar lagi kenapa tiba-tiba keinginan menginap di rumah Bunda langsung kuurungkan.
Aku sampai setelah mengendarai mobil selama lima belas menit. Rumah Bunda hanya berbeda desa dengan rumah Nenek. Jalannya sedikit terjal jadi cukup lama sampai. Aku memarkir mobil di lapangan desa lalu jalan sedikit untuk masuk rumah Bunda. Ketika aku mengetuk pintu, Bunda berteriak, “Masuk!” Ternyata tidak dikunci.
Aku masuk dan salam. Mengucapkan bela sungkawa pada Bunda dan meminta maaf karena baru bisa datang. Tak lupa, aku mengucapkan salam yang dititipkan istriku pada Bunda, lalu meminta maaf juga karena istriku tak bisa datang. Setelah itu, kami duduk dan berbincang.
Lagi-lagi perbincangan menyebalkan itu terjadi. Aku sedang menceritakan kisah tentang paman-paman dan bibi-bibi yang malah membicarakan pemilihan kepala desa. Namun, tiba-tiba Bunda memotong, “Itu memang lagi rame. Apalagi di sini, pemilihan kepala desa banyak ribut-ribut. Wah, pokoknya rame.” Setelah itu Bunda berbicara tentang si E, F, G, H mungkin sampai Z. Aku lupa semua namanya.
Aku mencoba menahan rasa kesal karena monolog Bunda. Semua dia bicarakan. Bahkan lebih kompleks dan mengejar aib. Bunda membicarakan tentang kasus perselingkuhan kepala desa lama. Istri kedua si calon kepala desa. Bahkan kasus LGBT si calon yang tidak terpilih. Ketika Bunda berhenti bercerita, aku langsung pamit, kubilang, “Aku sudah lama tidak ke Ayah. Kasihan dia.”
Menujulah aku ke rumah Ayah. Masih berada di kawasan kampung yang sama, hanya beda kecamatan. Selama perjalanan berlangsung, aku makin membenci politik. Tiba-tiba aku marah dan merasa semua yang diceritakan itu hanya miniatur kelicikan. Ah, coba bayangkan, itu baru sekelas kepala desa. Aku tidak bisa membayangkan sekelas kepala negara. Saking kesalnya aku saat itu, aku ingin sekali merokok. Menghisap tembakau adalah salah satu caraku menuntaskan segalanya. Namun, karena rokokku sudah habis tadi di rumah Nenek, maka aku berhenti di salah satu toko kelontong yang masih buka dan membeli rokok.
Aku merokok di mobil sampai tidak terasa sudah berada di rumah ayahku. Kata pembantu, ayahku sedang pergi. Maka aku menyimpan mobil di parkiran. Rumah ayahku cukup besar, bahkan parkirannya cukup dua mobil. Aku langsung naik ke balkon dan merokok sambil melakukan ritual ini.
“AH, di sini rupanya!” ujar Ayah saat menaiki tangga menuju lantai di mana aku berada. Untunglah suara itu datang setelah ritualku usai.
“Baru pulang, Yah? Dari mana?” Aku berdiri lalu menyalami tangan ayahku.
Ayah tidak menjawab. Dia hanya menatapku. Cukup lama. Aku merasa rikuh. “Takkan ucapkan selamat?” tanyanya tiba-tiba. Aku heran apa yang harus diselamatkan. Apakah kematian Nenek harus diucapkan selamat untuk Ayah? Hanya karena itu adalah ibu dari mantan istrinya?
Aku diam saja. Sampai akhirnya Ayah melanjutkan, “Ayah terpilih jadi kepala desa.” Mendengar itu, aku langsung memikirkan untuk segera mengirim WA pada istriku, mengatakan padanya bahwa aku akan pulang, dan dia tidak boleh dulu tidur. Aku merindukan ritual merenung bersama istriku. [*]
BIODATA
JEIN OKTAVIANY, lahir di Ciwidey. Bekerja sebagai penyunting. Menulis fiksi dan puisi. Aktif di komunitas Kawah Sastra Ciwidey, Prosatujuh, serta Filmkemarin. Karyanya bisa dilihat di jeinoktaviany.wordpress.com dan di instagram @jeinoktaviany.