AKHIRNYA petani Dusun Biling Monte bisa bernafas lega, sebab hama tikus yang sekian lama meneror lahan mereka telah berhasil ditumpas. Penumpasannya berlangsung selama seminggu dan selesai jelang sore pada suatu hari, yang ditandai dengan berdirinya Rebo –pemimpin petani- di atas tunggul pohon asam jawa seraya mengangkat satu bangkai hewan pengerat itu, yang ia klaim sebagai musuh yang terakhir dibunuh.
“Ini yang terakhir, ditemukan bersembunyi di tumpukan batok kelapa di kebun Banco!” serunya. “Artinya mulai detik ini sawah ladang dan kebun kita terbebas dari kerakusan tikus-tikus!”
Seratusan petani yang mengelilinginya bertepuk tangan. Lalu ada yang mengancungkan parang, sabit, tongkat kayu dan perangkap besi sambil bersorak-sorai. Beberapa di antaranya terdengar pula memuji-muji kepemimpinan Rebo.
Sanu ada di antara mereka. Tapi ia tak bertepuk tangan, tak mengancungkan senjata, tak bersorak. Ia hanya menyeringai.
Lelaki lima puluh tahunan itu sedang memikirkan sesuatu dan kemudian di kepalanya mencuat kesimpulan bahwa masih ada tikus-tikus lain yang justeru menjadi penyebab kemunculan tikus-tikus yang selama seminggu diburu.
***
“Masih ada tikus lain?” seru Monyeng tak percaya. “Bukankah Bapak sendiri ikut serta memerangi hewan itu, mencarinya sampai ke persembunyian paling dalam, memasang perangkap di mana-mana? Ikut pula menumpuk bangkainya? Masa iya masih ada lagi?”
Sanu menggeleng-geleng saat sadar bahwa isterinya tak akan bisa paham meskipun diberi penjelasan. Maka ia memutuskan masuk ke kamar. Tapi sebelumnya ia berpesan pada perempuan itu, “Kata-kataku ini janganlah kau sebarkan.”
Di kamar Sanu masih mendengar Monyeng mengoceh, “Tak usah disebarkan? Kenapa?”
Sanu keluar lagi dari kamar. Matanya melotot pada Monyeng. “Pokoknya jangan disebarkan. Paham?” sentaknya.
Monyeng diam. Ia takut tak diberi uang lebih oleh suaminya.
Di atas dipan Sanu terpekur. Pikirannya dikuasai penyesalan pada diri sendiri. Menyesal karena tak mengikuti saja pikiran orang-orang dusun.
“Kenapa aku masih berpikir dan berkesimpulan macam-macam lagi?” serunya pada diri sendiri.
Ia tidak percaya sepenuhnya bahwa Monyeng akan tahan tidak membicarakan ucapannya pada tetangga. Jika itu terjadi maka lambat laun para petani akan mendengar, lalu akan melapor pada Rebo, lalu Rebo akan marah.
“Apa maksudmu bahwa masih ada tikus lain? Bahwa masih ada hama di dusun kita?” bentak lelaki kekar itu. “Kau tidak percaya dengan kerjamu sendiri yang telah ikut serta dalam penumpasan? Atau kau meragukan ucapanku di atas tunggul kayu asam jawa? Kau hendak meragukan kepemimpinanku?”
Dan Rebo akan melarang Sanu ikut serta dalam kelompok buruh tani yang ia ketuai. Sanu tak bisa lagi mendapat penghasilan. Sanu sangat takut dengan hal itu.
Dan benar, apa yang dicemaskan Sanu menjadi kenyataan!
Dua hari kemudian ia dipanggil Rebo ke kebun singkongnya. Di sana telah berkumpul puluhan petani. Tatapan mereka menunjukkan kekurangsenangan pada Sanu.
“Takkah kau perhatikan sendiri bahwa dalam dua hari ini tidak ada lagi tanaman kita yang dikerat tikus? Takkah kau saksikan pematang, petak-petak, kali-kali, lubang-lubang tanah telah bersih dari penampakan tikus-tikus? Lalu apa dasarnya kau berpikir bahwa masih ada tikus lain?”
Bentakan itu sudah diduga oleh Sanu. Maka ia tak kaget lagi. Yang ada dalam benaknya hanyalah segera kembali ke rumah dan memarahi Monyeng.
***
Sanu tak memahami dengan jelas tentang KDRT. Tapi ia sering mendengar tetangganya bergosip mengenai si anu dilaporkan ke polisi oleh isterinya yang tak terima dipukuli. Maka walaupun kemarahannya memuncak ia tak jadi menjatuhkan tangan pada Monyeng.
“Hingga tiga minggu ke depan uang belanjamu hanya kuberi seratus ribu. Kelebihan penghasilanku jangan kau harap masuk dompetmu.” Hanya kalimat itu yang meluncur dengan getar emosi dari mulutnya. Lalu ia masuk kamar.
Lelaki itu yakin sekali bahwa Rebo dan semua orang tak akan paham dengan isi kepalanya. Dijelaskan pun hanya akan membuat mereka balas mengejek, “Sok tahu, sok pintar kamu, Sanu!” Mungkin pula Rebo akan naik pitam dan memukulinya.
Maka Sanu memutuskan untuk menjalankan rencananya.
Ia keluar menuju perigi untuk berwudhu. Saat kembali masuk melalui pintu dapur ia berpapasan dengan Monyeng.
Wajah perempuan itu masam.
“Kurang uang belanja berarti kurang jatah malam,” ucap Monyeng serius. Kentara sekali nadanya mengancam.
Sanu tak menggubris. Ia harus segera sholat.
Khusyu sekali lelaki itu. Setelah salam ia berdoa, lebih khusyu lagi. Dengan derai air mata pula ia berbisik. Yang terdengar sedikit jelas adalah, “turunkanlah kembali bencana atas sawah ladang dan kebun petani dusun ini ya, Allah. Agar terbukti apa yang menjadi isi kepala hamba, dan menjadi jelas bagi mereka yang tak mungkin menerima jika hamba yang menjelaskan.”
“Sanu! Sanu! Keluar!”
Sanu tersentak karena seruan keras dari luar rumahnya. Lebih tersentak lagi saat keluar kamar dan melihat di ambang pintu telah berdiri Rebo dengan wajah merah menyiratkan amarah besar.
“Kau bersekongkol dengan sales obat pemusnah tikus!” serunya keras. Parau suaranya karena emosi.
Sanu gemetar. Ia yakin inilah saatnya Rebo akan menghajarnya.
“Kau sengaja menyebarkan berita bahwa masih ada tikus-tikus lain, bahwa tikus-tikus tak akan teratasi hanya dengan diburu menggunakan parang, sabit, tongkat dan perangkap. Kau berharap para petani percaya, lalu kami putus asa, lalu kami mulai berpikir untuk menggunakan pestisida. Lalu kami beli obatnya dari sales. Lalu kau mendapat komisi darinya! Kau hendak memanfaatkan keadaan untuk meraup keuntungan!”
Ingin Sanu menjawab, menerangkan yang sebenarnya. Tapi kembali ia dilarang oleh keyakinannya sendiri bahwa Rebo tak akan paham. Penjelasannya sebagai orang yang dianggap bodoh pasti tak akan diterima!
Plak!
Lelaki tuan rumah itu kontan terhuyung ketika tamparan Rebo mendera pipi kirinya.
Monyeng menjerit. Ia halangi Rebo yang masih hendak merangsek maju.
“Kalau kau berani memukul suamiku lagi, kuberitahu isterimu tentang perselingkuhanmu dengan Base!”
Mata Rebo melebar. Itu ancaman serius. Ia pun mundur dan pergi, tapi masih sambil berseru, “Awas kalau kau masih berani mengadali para petani!”
Sanu duduk lemas. Tangannya mengelus-elus pipinya yang panas.
Ia tak marah, tak dendam pada Rebo. Justeru yang mencuat dalam hatinya adalah rasa kasihan pada lelaki itu dan para petani.
“Kasihan pada dirimu, Pak,” bisik Monyeng. “Berhentilah berpikir dan bicara macam-macam. Berhenti pula menzolimi isteri dengan mengurangi uang belanja. Ini azabnya.”
Air mata Sanu meleleh saat hatinya berbisik penuh pengharapan, “tolonglah wakili hambamu ini untuk menjelaskan pada mereka ya, Allah. Hamba bukan ustad….”
***
Tiga minggu kemudian para petani panik. Rebo panik. Tikus-tikus bermunculan kembali! Tanaman di sawah ladang dan kebun pun mulai menunjukkan bekas dikerat.
Jelang sore, Sanu duduk sendiri di atas tunggul pohon asam jawa tempat kemarin dulu Rebo berdiri.
Matanya tertuju pada petak-petak yang tanamannya rusak, yang menghampar sejauh pandangannya.
“Terima kasih atas bencana ini ya, Allah. Semoga sejak hari ini ada yang mulai berpikir untuk berhenti mencuri air yang seharusnya mengalir ke petak tetangganya. Semoga isteri Rebo dan para pengusaha lain menyadari bahwa selama ini mereka telah mencurangi timbangan ketika membeli padi dan palawija petani. Dan semoga pula akan ada yang melarang kebiasaan merayakan panen berlimpah dengan membangun arena sabung ayam di petak-petak itu,” ucapnya pada diri sendiri.
Tak ia sadari senja tiba, yang berarti sebentar kemudian akan malam. Tapi lelaki itu sudah berencana menginap di kebun. Sia-sia saja pulang, pikirnya, sebab Monyeng tak main-main. Perempuan itu telah benar-benar membuktikan ancamannya.
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.