PEREMPUAN adalah jalanan panjang terjal berliku tiada ujung yang tak pernah selesai untuk dipelajari. Itu yang Ron rasakan sekarang ini ketika rumah tangganya diuji dengan kerepotan ekonomi. Padahal dulu istrinya mau bersama dalam suka dan duka. Bagi Ron, membahagiakan istri adalah cita-citanya dari dulu. Ia yang kerja serabutan, berusaha sekuat tenaga agar segala kebutuhan rumah tangganya bisa terpenuhi. Namun, angan-angan kadang tak sesuai kenyataan. Betapa hidupnya terus berjalan dalam kepayahan walaupun ia berusaha terampil mengambil kesempatan dan memanfaatkan peluang.
Ron memang tak pilih-pilih dalam bekerja. Ia mau mengerjakan apa saja. Terdampar di ibu kota dan tidak tamat kelas menengah atas, ia pernah bekerja sebagai kuli bangunan saat melihat info dari Facebook. Ia yang sebenarnya tak tahu masalah bangun-membangun, ia berusaha belajar dengan teman-temannya. Toh, di umurnya yang baru dua empat, ia sudah membangun rumah tangga. Sudah pasti ia harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap istri yang sudah orangtua titipkan kepadanya.
Namun, Ron adalah orang yang cepat bosan. Baru tiga minggu ia ikut teman-temannya membangun sebuah hunian elit di tengah kota, minggu keempat ia tak mau berangkat kerja lagi. Hilang sudah semangatnya saat tahu, mantan kekasihnya berjalan di depannya dengan seorang pria, turun dari mobil dengan wajah putih mulus dan licin membuat lalat bakal terpeleset jika hinggap di pipinya. Apalagi, pria yang digandengnya pun tak kalah licin dan bersih wajahnya. Bertubuh gemoy dan perut sedikit maju seolah menyimpan bola tendang di dalamnya. Ron hanya bisa menggenggam erat pengaduk semen dengan hati yang panas saat melihatnya, walau ia pura-pura tak acuh.
Melihat peristiwa kemarin, diam-diam ada sedikit dendam di hati Ron. Maka, ia mulai bekerja keras, melakukan segala hal yang ia bisa. Berjualan baju daring, mengojek, membuka jasa bersih-bersih rumah, menguburkan anjing yang mati, memotongkan kuku nenek-nenek yang ditinggal anaknya sendirian. Semua pekerjaan itu ia lakukan dengan membuka promosi jasa di Facebook. Ia mau disuruh apa saja. Perlahan, perekonomian rumah tangganya bangkit.
Namun, betapa Tuhan selalu menguji orang-orang terpilih. Ketika rahim istrinya mulai terisi benih miliknya, dan kecepatan arus teknologi membuat orang selalu melihat peluang dari yang mereka lihat, lagi-lagi persaingan membuat ordernya menyusut. Padahal sebentar lagi tentu ia akan membutuhkan banyak biaya untuk kelahiran anak pertamanya. Saat itulah, ketika pikirannya kalut, ia mulai mencari cara lain. Berusaha agar segala kebutuhan istri dan anaknya nanti terus terpenuhi, tetapi karena istrinya tak sabar menunggu janji manis Ron, ia malah pulang ke orangtuanya. Ron hanya bisa meringis kesal. Merebah sambil melihat ponsel dalam pikiran yang melayang-layang tak karuan. Tepat, saat di Facebook, ia melihat promosi seseorang tentang “batu lipan”. Punya permasalahan hidup? Batu Lipan ini jawabannya. Begitu bunyi iklannya yang sedikit merayu.
Jujur, ia tak tahu untuk apa benda itu. Hanya melihat batu merah kehijauan dengan lurik-lurik hijau muda berkaki di dalamnya. Mirip lipan yang sering ia lihat merayap di tembok lembap samping rumahnya kala hujan. Namun, saat melihat berbagai testimoni di kolom komentar, ia tertarik. Berusaha mencari titik lokasi yang disebutkan. Batu itu tidak dijual daring. Orang yang menginginkannya harus datang sendiri ke lokasi yang disebutkan. Mirip hewan piaraan, admin iklan tersebut bilang jika tidak semua orang bisa membawa pulang batu tersebut. Hanya orang-orang terpilih saja yang bisa. Maka, ketika ia bertanya di kolom komentar tentang ‘Maharnya berapa?’, dering Messengger-nya berbunyi. Bilang datang saja ke lokasi dan bisa dibicarakan. Siapa cepat dia dapat, begitu balasnya.
Pikiran rasional Ron bekerja. Bisa saja ia hanya jualan semata. Betapa orang-orang yang katanya bisa menggandakan uang pun juga tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Orang yang jualan batu lipan itu bisa saja ia hanya membual. Menjual barang biasa dan hanya menginginkan uang dari pembeli yang mudah dibohongi. Orang yang sedang dalam kekalutan hidup, pikiran bawah sadarnya biasa mudah dijebak. Ron selalu memikirkan kemungkinan terburuk di belakang segala hal yang akan terjadi di dunia ini. Ia hanya menggelengkan kepala dan bilang tidak, walau hatinya bilang ‘Bagaimana kalau dicoba dulu?’.
Ron berusaha melelapkan mata saat ia ingat, betapa uang yang tersisa di dompet hanya ada lima ribu rupiah. Uang yang cukup untuk membeli nasi uduk besok pagi dan ia tak tahu apakah sorenya bisa makan. Ia kembali telentang dengan melihat langit-langit kamar tanpa palfon. Ia melihat deretan genteng hitam yang disangga kasau bambu-bambu yang lapuk. Ia merasa jadi laki-laki tak berguna, tak sanggup membahagiakan istri. Padahal segala pekerjaan sudah ia coba. Ia telah melakukan berbagai cara agar istrinya bahagia. Namun, betapa ukuran rezeki selalu dari sang pemilik semesta. Besar, kecil, sedang, semua diberi jatah sesuai takdirnya.
Ron memiringkan tubuhnya yang sedikit kaku. Meletakkan ponsel. Ketika malam sudah berjalan setengah, ia biasanya mengelus perut istrinya dari belakang. Bercerita apa saja. Sekarang ia hanya bisa memeluk guling yang dingin tepat saat suara entah dari mana terdengar di telinganya, “Jangan elus-elus aku gitu terus dong. Nanti aku hamil.”
Ron melempar guling itu ke tembok kamar. Bagaimana mungkin guling yang ia peluk sama cerewetnya dengan istrinya. Ia hanya menggelengkan kepala lagi bahkan setelah malam telah hampir usai dan hanya tiga jam lagi menuju pagi. Ia jadi ingat, andai saja saat sekolah dulu ia mau lebih keras dalam belajar, tentu hidupnya tak akan seperti ini. Ron sebenarnya cukup cerdas dan selalu peringkat lima besar di kelas. Karena salah pergaulan, ia hanya suka nongkrong dan motoran. Main ke sana ke mari bersama teman satu geng-nya. Ron ingat, teman satu bangku di SMA-nya dulu sudah bekerja di bea cukai. Teman lain yang sama nakalnya ada yang jadi polisi. Ada juga teman perempuannya yang jadi dokter. Hanya ia yang entah karena takdir atau apa, hanya jadi buruh serabutan.
Perlahan, dalam pikiran kepayahan dan rasa lelah, katup mata Ron perlahan menyempit. Mirip sebuah tirai pementasan yang hendak menutup pertunjukan. Bergerak perlahan. Kemudian menutup sempurnya. Ron tiba-tiba telah berjalan pelan ke sebuah tempat yang ia belum pernah dan tak tahu itu di mana. Yang ia lihat sepanjang mata memandang, ada jalanan kecil berumput menananjak di depannya. Di kanan kirinya banyak orang-orang berpakaian lusuh meminta tolong kepadanya. Mirip orang kelaparan dan mengharap makanan kepadanya. Ia tak acuh dan terus saja berjalan ke depan. Tak tahu akan ke mana jalan itu. Hingga ia akhirnya berhenti di sebuah saung. Melihat seorang kakek renta duduk di bangku bambu di dalam saung. Seolah menunggunya sejak lama.
Ron langsung masuk karena penasaran kakek itu terus memanggilnya, lalu memperlihatkan sesuatu. Ron melihat di telapak tangan kanan kakek itu ada sebuah batu merah kehijauan dengan lurik-lurik aneh di dalamnya. Sebuah batu yang pernah ia lihat di Facebook. Mirip batu lipan. Kakek itu dengan santainya menangkupkan telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Ron. Memaksa untuk menerimanya.
“Kau lihat di luar sepanjang jalan itu Nak. Mereka rela menumbalkan anak istri dan suaminya, menggadaikan jiwa dan uangnya agar bisa memiliki batu ini. Apa yang mereka harapkan adalah sebuah ambisi dalam keserakahan. Beruntung kamu datang ke sini cucuku. Aku lama menunggumu. Aku kakek buyutmu. Kau tak akan tahu karena aku ada sebelum kau lahir di dunia. Hatimu bersih, pikiranmu suci. Kelak, jika kau bersedia menerima ini, maka pergunakan batu ini untuk kebaikan. Sekali saja ada rasa serakah dalam hatimu, ia akan mencelakai dirimu sendiri. Kau sanggup?”
Ketika Ron segera menerima di telapak tangannya dengan gembira, ia malah berteriak kepanasan dan berusaha melepaskan batu itu kembali. Kakek itu tertawa. Bilang masih ada rasa keserakahan dalam dirinya. Ia menuntun Ron untuk segera menghilangkan perlahan rasa itu. Kakek itu bilang, batu itu hanya bisa digunakan untuk kebaikan. Lalu, ketika kakek itu tersenyum dengan gigi putih menyilaukan mirip iklan pasta gigi, mata Ron memicing geli dan ia terbangun. Sadar, sebuah batu yang ia lihat di iklan Facebook telah di genggaman tangan kanan. Ron terkejut sekaligus bahagia, walau Ron tak tahu untuk apa.
Maka, ketika ia masih merebah, ia berpikir jika ia ingin bertemu istrinya. Sekedip mata, raganya telah berjalan dan berada di depan rumah megah. Ia berusaha masuk. Mengetuk pintu dengan sopan saat ia mendengar tawa cekikikan yang mirip suara istrinya di dalam. Namun, pintu tak pernah dibukakan untuknya. Ia akhirnya nekat masuk, berusaha melompat pagar. Pintu depan terkunci. Ia berusaha membuka. Saat ia baru sadar jika tangannya bisa menembus pintu kayu, ia mengerutkan alis. Gila, keren sekali pikirnya. Maka, ia menelusup masuk bersama tubuhnya. Berjalan menyusuri rumah megah dan melihat istrinya dengan perut membesar sedang berguling-guling di ranjang kamar tanpa busana dengan lelaki yang sungguh ia kenal. Teman SMA-nya dulu. Ada yang tercekat di tenggorokan Ron. Ia pergi berlalu keluar dengan hati panas dan genggaman batu lipan di tangan yang kaku.
Kembali ke rumah dalam rasa sakit hati, Ron tak tahu apakah batu itu memang berguna. Ia malah ditunjukkan hal menjijikkan tentang istrinya di depan matanya sendiri. Padahal, Ron sedang berjuang mencari uang. Andai Ron jahat, tentu ia bisa ke bank tanpa terlihat dan mencuri semua uang di brankas. Ia akan punya banyak uang dan kemungkinan istrinya akan kembali ke pelukannya. Namun, kakeknya bilang batu itu tak bisa untuk kejahatan.
Ketika ia melihat sebuah berita di ponsel tentang uang ganjaran bagi siapa saja yang bisa menangkap koruptor yang kabur di Singapura, ada hadiah 1 milyar dari pemerintah. Ron buru-buru menuju bandara. Berharap bisa naik pesawat serta konfirmasi ke pemerintah tentang titik lokasi jika menemukan koruptor itu. Sayang, Ron menelusup sembarangan dan salah naik pesawat. Ia malah menaiki pesawat jurusan Sydney. Menuju Australia. Apa yang ia cari tak ia temukan. Ron malah bertemu dengan orang yang dikasihinya di sana. Bergandengan tangan dengan koruptor yang sedang dicari pemerintah. Ron benar-benar murka. Maka, untuk kedua kalinya, Ron membuntuti mereka hingga apartemen. Ingin membunuh laki-laki itu. Ron lupa janji awal hanya ingin menangkap dan mengabarkan ke pemerintah. Karena tergesa, batu itu lepas dari genggaman dan terjatuh di pinggir selokan. Raga nyata Ron jadi terlihat. Hingga cerita ini selesai dibuat, Ron tak pernah diketahui rimbanya. Koruptor itu pun tak pernah tertangkap.
BIODATA
Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersiar di berbagai media massa nasional seperti Republika, Media Indonesia, Kompas.id, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Bangka Pos, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dan lain-lain.