MENYIMAK perjalan histori lahirnya istilah demokrasi saat kekaisaran Romawi runtuh pada masa pra Socrates menjadi relevan dalam membangun argument yang argumenttif untuk dapat memilah “hak individu” krama desa dalam menjalankan hak politiknya dengan jabatan “bendesa atau sebutan lain” sebagai prajuru adat dalam melaksankan “tugas dan kewenangan desa adat”.
Amanat terhadap kondisi ini menjadi penting mengingat keberadaan desa adat dengan berbagai kelembagaannya selalu menjadi “objek dan sekaligus subjek” yang rentan dintervensi dan diikooptasi oleh “kekuasaan” dalam kontestasi politik, baik untuk legislatif maupun eksekutif tanpa henti dalam kondisi menebal dan menipis.
Bendesa adat atau istilah lain sebagai prajuru adat, selalu seksi dieksploitasi politisi untuk sebuah kekuasaan dengan menggunakan tafsir “politik” atau kepentingan.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memobilisasi melalui “kebulatan tekad” dalam “paruman” di tingkat banjar dan atau desa adat.
Apakah cara-cara ini dapat dinyatakan “patut” dengan mengingat pada tiga asas kerja hukum adat dalam penyelesaian masalah, yaitu: “rukun, laras, dan patut” ?
Desa adat di Bali sebagai badan persekutuan hukum yang masih diakui dan dihormati oleh hukum negara memiliki sifat yang khas sebagai pembawaan sejarahnya, yaitu: “otonom dan otohton”.
Otonom dan otohton dalam arti bahwa desa adat mempunyai kewenangan mengurus rumah tangganya di bidang sosial kemasyarakatan dan keagamaan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang lahir atau dibentuk oleh masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, konsep atau teori “koeksistensi” menjadi relevan dijadikan dasar pijakan dalam argumentasi yang argumentatif.
Di Bali, sifat otonom dan otohton desa adat masih hidup dan utuh sampai sekarang walaupun dua kali pernah mengalami “badai”, yaitu pada tahun 1979 sebagai badai jilid I dan pada tahun 2014 sebagai badai jilid II.
Kebertahanan desa adat sebagai badan persekutuan hukum yang diawali dari Pemerintah Kota Denpasar untuk Bali melalui kebijakan penataan terhadap dualitas system pemerintahan desa di Bali sebagai akibat terbitnya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa.
Penegasan berikutnya sebagai dasar pengakuan dan perhormatan negara adalah melalui pengaturan dalam Perda Provinsi Bali, yaitu Perda No. 4 tahun 2019 sebagai pengganti Perda 3/2001 junto Perda 3/2003.
Pengakuan dan penghormatan lebih lanjut dikuatkan dalam UU No. 15 tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
Tugas desa adat dalam Perda 4 tahun 2019 antara lain untuk mewujudkan kesukertan desa adat, yaitu: mencapai ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian sekala-niskala.
Tugas-tugas ini meliputi mengatur, mengurus, dan mengayomi penyelenggaraan parahyangan, pawongan, dan palemahan desa adat; memajukan adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal masyarakat desa adat; memelihara keamanan desa adat; melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan krama dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap lingkungan; melaksanakan kegiatan panca yadnya sesuai dengan tuntunan susastra agama Hindu; melaksanakan kegiatan lain yang sesuai dengan awig-awig dan atau dresta;
Sementara dengan mereferensi salah satu awig-awig desa adat yang sudah disuratkan, ditegaskan bahwa desa adat sebagai lembaga “pasayuban krama desa beserta kule warga pawegannyane”, menjaga kedamaian melalui pengetreptining awig-awig berlandaskan jaga dite sebagai personifikasi Bhuwana Agung (maurip) sesuai falsafah Tri Hita Karana.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa desa adat telah melaksanakan swadarmanya yang diorientasikan untuk mengabdi kepada “sesuunan” yang berstana di pura yang ada di wilayah desa adat.
Implikasinya, kebudayaan Bali tetap lestari dan bahkan terus terbina dari generasi kegenerasi melalui kegiatan seni yang ditujukan untuk “sesuunan” yang diyakini telah memberikan sumber kehidupan bagi krama desa.
Semua itu dilakukan dalam konsep “ngayah” yang dilandasi rasa tulus iklas.
Demikian berbagai bentuk yadnya dengan berbagai upacaranya dilakoni seperti tanpa beban.
Perda Desa Adat dalam hal ini hanya berfungsi sebagai sosial kontrol, yaitu dalam bentuk mencatatkan pola perilaku yang sudah ajeg dan mapan ini dan dirumuskan sebagai norma yang mengatur tugas dan kewenangan desa adat.
Perumusan ini merupakan salah satu bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap keberadaan desa adat.
Mengamati situasi dan fenomena yang selalu dinamis menjelang dan pada masa kampanye kepala daerah secara serentak di Bali saat ini, perilaku yang menyimpangi norma hukum adat dan hukum negara secara koeksisten menjadi penting untuk diberikan pemikiran secara ilmiah dengan harapan dapat dijadikan standar oleh semua pihak yang akan terlibat dalam pelaksanaan pemilihan “kepala daerah” sesuai prinsip dasar demokrasi dalam konteks hukum negara dan sesuai prinsip dasar patut, laras, dan rukun dalam konteks hukum adat.
Pemilukada ini merupakan salah satu momen ujian berat terhadap sifat otonom dan otohton-nya desa adat dan hukum adat dalam konsep koeksistensi.
Hukum adat harus dapat menunjukkan sifat sufel dan dinamis di satu sisi, sedangkan di sisi lain wajib menampakkan corak keasliannya, yaitu komunal religius.
Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh prajuru adat dan krama desa karena di satu sisi wajib berperan serta dalam pembangunan melalui penyaluran hak-hak politiknya yang bersifat sekuler sedang di sisi lain wajib menjaga marwah desa adat sebagai badan persekutuan hukum adat agar tetap kokoh dalam standar kepatutan.
Sedangkan, bagi politisi menjadi batu uji terhadap integritas, komitmen, dalam penguatan desa adat, kejujuran dalam menyampaikan pemikiran dan visi misinya dalam membangun Indonesia dari Bali dan membangun Bali dari kabupaten/kota.
Masyarakat sebagai pihak ketiga sebagai “juri” yang mempertaruhkan netralitasnya dalam melakukan penilaian untuk menentukan kualitas pemikiran yang diargumentasikan secara argumentatif.
Juri lain yang tidak kalah penting adalah KPU, bawaslu, dan panwas sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh hukum negara agar tidak melakukan pembiaran ketika terjadi pelanggaran dalam skala sekecil apapun.
Desa adat agar tidak dijadikan objek dan subjek ekploitasi kepentingan politik dengan cara sesat argumentasi dalam memposisikan desa adat dan prajuru adat sesuai tafsir politik dengan menggunakan term “sosialisasi” untuk berkampanye di banjar dan atau desa adat dengan memanfaatkan organisasi desa adat secara melembaga dengan berbagai bentuk dan cara.
Banjar atau desa adat memang tidak alergi untuk digunakan sebagai tempat sosialisasi atau kampanye, namun ada hal prinsip yang tidak dapat diabaikan, yaitu “kewajiban” menjaga keutuhan krama desa agar tetap guyub (damai dan tertib) dan tetap terpeliharanya solidaritas serta sikap menyamabraya.
Oleh karena itu, diperlukan sikap objektivitas yang mampu mengeksistensikan hukum adat dan hukum negara agar pemilu damai dapat diwujudkan.
Jadi diperlukan pemikiran objektif untuk dapat memilah antara “bendesa” sebagai prajuru adat dalam organisasi desa adat dengan “bendesa” sebagai pribadai dalam melaksanakan hak politiknya yang sedang menjabat sebagai prajuru adat.
Juga perlu dipilah antara banjar atau desa adat sebagai badan persekutuan hukum dengan banjar atau desa adat sebagai tempat.
Dibentuknya berbagai lembaga di desa adat seperti “peiketan” tidak dimaksudkan untuk memudahkan dalam mempolitisasi secara melembaga untuk sebuah kepentingan kekuasaan, tapi lebih pada penguatan desa adat dalam pelaksanaan tata kelolanya.
Jika kecurangan tetap terbiarkan dikhawatirkan akan menjadi presedent buruk yang dianggap benar, karena dapat menyesatkan dengan digunakannya tafsir politik.
Bagaimana kalau ada tawaran atau permintaan dari Pasangan Calon Bupati atau Gubernur untuk “sosialisasi atau kampanye” di banjar atau desa?
Dalam kondisi ini biasanya lembaga banjar dihadapkan pada persoalan pragmatis, yaitu “sumbangan” atau sering disebut dengan “punia”.
Apakah fenomena ini salah? Pemberian sumbangan atau punia ini jika ditempatkan secara tidak patut dalam adab hukum adat dan hukum negara, maka akan menjadi “keliru”, yaitu pertama, menggunakan sumbangan dengan istilah punia dengan misi “mengikat” dan memasung kebebasan krama banjar atau desa dalam menentukan dan memberikan hak politiknya, lebih-lebih jika diikuti dengan “kebulatan tekad” untuk memenangkan atau memilih salah satu calon. Yang lebih celaka jika diikuti dengan ancaman pemberian sanksi adat.
Kedua, menggunakan lembaga paruman banjar atau desa dalam pelaksanaan sosialisasi atau kampanye.
Hal lain yang perlu dicermati antara lain kecendrungan “komodifikasi” jabatan bendesa sebagai prajuru adat untuk kepentingan politik praktis, atau memanfaatkan lembaga “paruman” atau mendompleng lembaga atau sengaja menggunakan lembaga paruman melakukan sosialisasi atau kampanye.
Dalam kondisi ini perlu diingatkan bahwa di Bali dikenal adanya dualiatas dalam sistem pemerintahan desa, yaitu di satu sisi ada sistem pemerintahan “desa dinas”, dan disi lain ada sistem pemerintahan desa adat.
Jadi, posisi perbekel dengan bendesa atau sebutan lain sepatutnya tidak dibedakan sebagai pemerintahan desa (dinas dan adat) untuk ikut menjaga netralitas.
Namun tetap dapat dijamin dalam melaksankan hak politiknya secara pribadi.
Oleh karena itu, tidak salah jika “kedewasaan dalam politik para politisi” selalu akan diuji dan dipertanyakan dalam setiap kontestasi melalui cara berpikirnya. (bp/***)