Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Tersangka, Prof. Bakta Buka-Bukaan: Ini Aneh Sekali

Sejak 2011 Tak Ada Gugatan Soal Pemalsuan

KAGET: Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. dr. I Made Bakta Sp.PD (KHOM) super kaget atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Permohonan perlindungan hukum yang diajukan mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. dr. I Made Bakta Sp.PD (KHOM) kepada eks institusi yang dipimpinnya berjalan mulus. Pasca menyandang status tersangka yang disematkan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri atas dugaan pemalsuan akta autentik, Rektor Unud periode 2005-2013 mulai buka suara. Prof. Bakta yakin dirinya tidak bersalah. Ditemui langsung di Denpasar, Prof. Bakta buka-bukaan.

Ungkapnya, pasca kasus perdata mencuat di tahun 2011 dirinya selaku Rektor Unud kala itu telah menugaskan tim hukum untuk fokus menghadapi gugatan hukum pasca terbitnya surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri Denpasar yang menerangkan bahwa Ni Nepreg (istri almarhum I Pulir) dan Nyoman Suastika (putra dari Ni Repreg dan almarhum I Pulir) mengajukan gugatan kepada Universitas Udayana dengan obyek sengketa berupa satu bidang tanah seluas 2,7 hektar yang diklaim sebagai harta warisan dari milik penggugat yang berasal dari kakeknya atas nama I Rimpuh atau ayah kandung dari I Pulir.

KPU Kabupaten Gianyar KPU Kabupaten Gianyar

Kasus tersebut ungkap Prof. Bakta dimulai dari pembebasan tanah pada kisaran tahun 1981-1983 yang seluruhnya dilakukan oleh panitia pembebasan tanah yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Bali yang kala itu dipimpin oleh Prof. Ida Bagus Mantra.

“Tahun 1983 oleh Pemda Bali dengan secara kolektif dalam bentuk buku pembebasan tanah. Salah satu tanah itu milik I Pulir (almarhum, red) yang keturunannya menggugat atas bidang tanah seluas 2,7 hektar. I Pulir meninggal tahun 2022. Selama itu, surat pembebasan sudah dipakai untuk membuat sertifikat dan sebagainya, tapi tanah ini (2,7 hektar) belum bersertifikat, tanah yang diperkarakan ini. Sampai 2011, tidak ada masalah sebelum akhirnya Unud digugat,” ucap Prof. Bakta.

Versi Prof. Bakta, dalil gugatan tersebut bergulir karena Nyoman Suastika mengaku pihaknya belum mendapat pembayaran atas pembebasan lahan tersebut. “Tidak ada urusan palsu-memalsukan. Tidak ada. Gugatannya perdata. Saya sebagai rektor kan punya kewajiban untuk menyelamatkan tanah negara. Saya tidak tahu hukum, maka saya serahkan serahkan sepenuhnya pada tim hukum Universitas Udayana. Waktu itu ketuanya Bapak Ida Bagus Argajaya (almarhum). Anggotanya ada, satu dua orang, tapi saya lupa,” tandas Prof. Bakta yang kini mengelola Universitas Bali Internasional.

“Beliau pun bersidang. Saya mempersilakan menggunakan seluruh fasilitas yang ada, baik pembiayaan maupun data-data. Tidak ada gugatan soal palsu-memalsu. Tidak ada orang ngutik-ngutik soal palsu. Itu data resmi yang ada di universitas. Tidak ada kaitannya dengan saya isi dokumen waktu itu. Saya baru jadi dokter itu. Bapaknya Swastika meninggal 2002 dan saya baru jadi rektor tahun 2005. Tahun 2011 Unud digugat,” bebernya.

Singkat cerita, akhirnya penggugat kalah di Pengadilan Negeri Denpasar. Di Pengadilan Tinggi penggugat juga kalah. “Awal 2013, mereka melakukan kasasi. Saya (jabatan rektor, red) berakhir pertengahan 2013. Pada waktu itu belum keluar keputusan kasasinya. Sehingga saya menyampaikan kepada pengganti saya, Prof. Swastika. Tolong diperhatikan sekali ini, jangan sampai kalah. Kalau kalah kita rugi sekian ratus miliar. Tahu-tahu kalah. Maka Unud langsung mengajukan PK. Kalau tidak salah awal 2014. Tanah itu sempat dieksekusi oleh Swastika karena menang. Dalam hukum, PK tidak boleh menghambat eksekusi. Itu aturannya,” sambungnya.

Lama tak bergulir, Prof. Bakta mengaku heran karena kasus yang semula perdata tiba-tiba menjurus ke pidana dan akhirnya menersangkakan dirinya. Cetusnya, mungkin karena kasus perdata sudah di ujung tanduk, maka dialihkan ke pidana. “Kira-kira pada September tahun 2021, Unud kembali digugat oleh Nyoman Suastika dengan pengacaranya yang sekarang ini dengan dalil bahwa ada pemalsuan surat. Tidak menyebutkan nama siapa, tapi yang diduga Unud. Saya dipanggil dan memenuhi panggilan penyidik Mabes Polri di Jakarta. Saya ditanya waktu itu apa fungsi rektor. Saya ditanya soal pemalsuan dan saya jawab tahun 1983 saya tidak tahu menahu. Surat-surat ada disimpan di arsip. Juga ditanya saat proses peradilan apakah saya pernah terlibat. Saya jawab tidak karena yang berproses tim hukum. Karena perdata kan boleh diwakili,” bebernya.

“Tiba-tiba beberapa minggu lalu ada surat yang menyatakan saya sebagai tersangka. Saya terima surat itu. Ke rumah dibawa, bukan ke universitas. Saya dipanggil sekali bulan September 2021. Sama sekali tidak ditanyakan seputar pemalsuan. Saya justru berpikir pasca diperiksa kasus sudah beres. Tahu-tahu datang surat seperti itu dengan tuduhan KUHP 262 ayat 2 yang bunyinya barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu untuk mendapatkan sesuatu dihukum penjara,” lanjutnya.

“Buktinya harus dipastikan palsu dan dengan sengaja baru bisa kena. Kalau itu proses dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, MA, sampai PK kan menggunakan dasar bukti yang sama. Kok kenapa saya saja kena? Ini aneh. Aneh sekali. Saya tidak tahu apa-apa karena yang ngurus semuanya tim hukum. Sejak 2011 tidak ada gugatan mengenai pemalsuan,” telisik Prof. Bakta. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!