TABANAN, Balipolitika.com– Segmen kelima Debat Terbuka Ketiga Pilkada Tabanan Tahun 2024 bertema “Menjaga Kebebasan Warga Negara dan Keharmonisan Kehidupan Sosial” berlangsung panas.
Paslon Bupati dan Wakil Bupati Tabanan Nomor Urut 01, I Nyoman Mulyadi-I Nyoman Ardika “Sengap” menyinggung soal hibah dan bansos yang kini terkesan “membelenggu” desa adat bahkan memosisikannya sebagai alat politik.
“Desa adat sudah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga otonom yang tangguh karena dicekoki oleh hibah dan bansos bahkan bantuan-bantuan tersebut memasung netralitas, integritas, dan hakikat daripada desa adat itu sendiri. Saat ini desa adat disibukkan dengan administrasi manajerial yang diatur oleh lembaga-lembaga bentukan pemerintah sehingga hakikat desa adat tercabut dari akarnya. Upaya pelestarian nilai budaya yang adiluhung cenderung akan terlupakan. Pertanyaan saya, bagaimana pandangan paslon 02 terhadap kondisi ini?” tanya I Nyoman Ardika “Sengap” kepada Paslon Nomor Urut 02, I Komang Gede Sanjaya dan I Made Dirga.
Sanjaya menjawab bahwa pelestarian adat dari zaman dulu sudah ada; bahkan sejak Indonesia belum merdeka.
Di era kekinian, ungkap Sanjaya desa adat dijaga tidak cukup desa adat untuk mengurus kebutuhan-kebutuhannya, apalagi seorang jero bendesa adat mengurus Tri Kahyangan, yakni Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem.
“Kalau tidak diberikan bantuan dari pemerintah, bagaimana melestarikan adat? Apakah akan kena peson (kewajiban berupa uang atau barang, red) dan yang lain-lainnya. Maka dari itu, kami di pemerintah hadir. Salah satunya ikut memberikan stimulan berupa hibah bansos. Tujuannya adalah meringankan beban masyarakat tatkala untuk pelestarian adat itu. Bayangkan kalau itu tidak terjadi bagaimana menjaga adat yang sudah adiluhung dari zaman dulu itu? Terbukti penerimaan hibah bansos itu sangat banyak dilakukan. Mohon maaf, paslon 01 juga banyak sekali menerima hibah dan bansos. Ini menjadi pertanyaan yang sangat kontradiktif. Ironis bagi kita ketika tadi mengatakan bagaimana korelasi antara hibah bansos terhadap pelestarian budaya. Bagi kami hibah bansos itu sangat penting. Sesuaikan dengan kebutuhan desa adat. Pemerataan, keadilan, ini penting. Kalau tidak kita pemerintah yang menjaga adat dan budaya ini, bagaimana nanti adat kita yang begitu besar di Tabanan. Tabanan ini memiliki 349 desa adat. Bayangkan kalau tidak kita ikut di dalamnya. Maka dari itu astungkara, kita pemerintah daerah sangat diminati oleh desa adat karena mendukung desa adat yang ada di Kabupaten Tabanan selama ini,” jawab Sanjaya.
Menanggapi jawaban Sanjaya, I Nyoman Ardika “Sengap” menjelaskan bahwa esensi pertanyaan paslon 01 bukan masalah hibah bansos, melainkan hal miris di Tabanan berkaitan dengan tema debat “Menjaga Kebebasan Warga Negara dan Keharmonisan Kehidupan Sosial”.
“Bukan masalah hibah dan bansosnya, tetapi memasung netralitas daripada masyarakat desa adat. Saya merasakan bagaimana bantuan pemerintah terhadap hal ini. Maka dari itu, kami tidak mau dipasung dalam sebuah kontestasi politik sehingga kami berdua, merasa kami bagian dari Warga Negara Indonesia berhak atas hibah bansos yang diberikan pemerintah kepada kami karena hibah bansos yang diberikan adalah bagian dari pajak yang kami bayarkan kepada pemerintah itu sendiri. Maka dari itu kami ikut berkompetisi dalam perhelatan Pilkada ini menunjukkan bahwa kami tidak terpasung dalam bantuan maupun hibah bansos. Kemudian yang kedua, terkait dengan bagaimana ribetnya administrasi. Bagaimana ke depan kita mengkomunikasikan bahwa segala sesuatu harus bisa diselesaikan dengan lebih mudah untuk desa adat kita yang tercinta,” tandas I Nyoman Ardika “Sengap”. (bp/ken)