BERMULA dari seringnya mengadakan kegiatan hajatan dan kenduri, Ibu Titi dikenal dengan sebutan Ibu Hajat. Warga kampung Karangmulya sudah sangat mengenal sosok Ibu Titi yang hidup dengan penuh kemewahan di tengah warga yang serba kekurangan. Rumah Ibu Titi sangat luas, besar, dan antik. Setiap minggu Ibu Titi selalu mengadakan selamatan atau kenduri. Apa saja dijadikan alasan untuk mengadakan acara tersebut. Acara pernikahan, khitanan, kelahiran, kematian, naik jabatan, dan acara apa pun. Sampai-sampai dulu ada selamatan untuk memeriahkan ulang tahun nenek Ibu Titi yang konon berusia 1 abad lebih.
Acara kenduri dan selamatan yang diadakan Ibu Titi tidak sembarangan. Ibu Titi akan mengadakan acara itu dengan serius. Tidak alakadarnya. Sangat serius sampai beberapa kali acara sempat mendatangkan penceramah dan artis dari ibu kota bahkan tidak jarang acara dilaksanakan sampai beberapa hari.
Warga kampung Karangmulya kadang dibuat bingung dengan hobi Ibu Titi tersebut, kok sering sekali mengadakan acara yang tidak murah. Bahkan, seluruh acara selalu dia yang membiayai tidak ada iuran apa pun dari warga. “Uangnya sangat banyak, satu kamar isinya uang semua,” ujar Kang Maman yang bekerja sebagai tukang kebun di rumah Ibu Titi. Memang beberapa warga ikut bekerja di rumah Ibu Titi. Ada yang bekerja sebagai tukang kebun, tukang masak, tukang cuci baju, tukang setrika, dan tukang-tukang yang lainnya. Sangat spesifik dan sangat terarah sesuai pekerjaannya masing-masing. Keahlian para tukang itu, tidak ada yang overlap mirip para professor di negeri ini.
Sebenarnya, dulu Ibu Titi adalah warga biasa. Seperti warga biasa lain di Kampung Karangmulya. Biasa saja. Bahkan terkesan cuek dengan adanya acara selamatan dan kenduri “Buang-buang uang saja,” ujarnya. Namun, hal itu berubah ketika anak semata wayangnya meninggal karena tersambar petir waktu hujan yang tidak kunjung reda. Anak semata wayangnya, suka sekali dengan hujan sehingga ketika hujan dia akan hujan-hujanan sampai hujan itu reda. Anak Ibu Titi sangat menyukai hujan karena konon dia sedang menunggu kekasihnya yang berasal dari rintik hujan dan pergi ketika hujan itu reda. Sejak saat itu, dia sangat suka dengan hujan, baginya hujan adalah pertemuan dengan kekasihnya tersebut. Hingga pada suatu saat ketika dia hujan-hujanan dia tersambar petir. Dan meninggal dunia. Seketika.
Peristiwa tersebut meninggalkan bekas luka batin yang sangat dalam bagi Ibu Titi. Anak semata wayangnya adalah hartanya yang paling berharga. Dia tidak bisa tergantikan dengan harta, emas, ataupun kekayaan. Dengan begitu, Ibu Titi melampiaskan kesedihan itu dengan selalu mengadakan selamatan dan kenduri dengan harapan bisa selalu menjadi penenang dan pengenang untuk anaknya.
Setelah itu, Ibu Titi memutuskan akan selalu mengadakan selamatan dan kenduri untuk acara apa pun dan acara siapa pun. Dia tidak begitu peduli dengan jenis acaranya dan siapa pun yang menjadi sohibulbaitnya. Tapi bagi Ibu Titi, yang penting kenduri dan selamatan itu bisa dinikmati oleh seluruh warga kampung Karangmulya. Dan tentu untuk dirinya sendiri. Ada semacam makna simbolisasi kenduri dan selamatan bagi Ibu Titi, makna terdalam, tersembunyi, terselubung, dan terselam.
Sebetulnya, Ibu Titi menjadi sangat kaya raya karena warisan dari suaminya. Suami Ibu Titi sangat kaya sedari kecil. Dia anak orang kaya dari orang tuanya yang sudah kaya sejak lama, turun-temurun. Ibu Titi tentu saja mewarisi kekayaan suaminya setelah suaminya meninggal menyusul anak semata wayangnya yang tersambar petir itu.
Melalui warisan yang sangat amat banyak itu, Ibu Titi menjadi ada dukungan materi untuk hobi dan keinginannya dalam mengadakan kenduri dan selamatan. Konon dengan banyak melakukan kenduri maka dalam beberapa tahun, Satria, anak semata wayangnya, akan kembali lahir dari titik-titik hujan. Ibu Titi sangat percaya itu. Banyak yang bilang bahwa Ibu Titi sebenarnya adalah Nawang Wulan, seorang bidadari yang selendangnya disembunyikan Jaka tarub. Memang, kalau dibilang bidadari tidak salah juga. Ibu Titi adalah perempuan yang sangat cantik dalam makna harfiah dan metaforis. Sangat sempurna. Paripurna. Tidak ada yang menandingi.
Suatu hari, Ibu Titi terlihat mematung di depan rumahnya. Para pembantu dan pekerja di rumah itu sangat bingung. Aneh dan tentu saja musykil. Mengapa kiranya Nyonya rumahnya tepekur sendiri saja. Para pembantu dan pekerja tidak berani bertanya atau bahkan menegurnya. Mereka seolah membiarkan Ibu Titi begitu. Mereka tetap mengerjakan pekerjaan masing-masing.
Perubahan sikap Bu Titi berlangsung sampai beberapa hari. Para pembantu yang bekerja di rumah Ibu Titi merasa khawatir atas keadaan majikan mereka. Sampai pada suatu sore, Teh Siti yang bekerja sebagai tukang masak mencoba memberanikan diri menegur majikannya, “Ibu, apa yang menjadi pikiran Ibu sehingga beberapa hari ini Ibu merenung saja?” Ibu Titi hanya menggelengkan kepala perlahan saja. Teh Siti makin bingung. “Apakah ada yang Ibu inginkan? Biar kami coba mencarinya,” ujar Kang Maman. Ibu Titi tetap tidak mau berbicara. Membisu. Semua semakin bingung.
Akhirnya, beberapa saat keadaan menjadi hening, tanpa suara. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Pikiran mereka mungkin saja saling terhubung. Bercakap-cakap, berkomunikasi, saling mengerti. Sampai pada beberapa menit kemudian, dengan sangat perlahan Ibu Titi mengatakan, “Minggu yang lalu, Satria mengunjungi Ibu.” Semua terkaget bercampur haru. Di antara senang dan sedih sekaligus. Senang karena majikan mereka sudah mau berbicara, sedih karena menyebut nama Satria.
Kang Maman dan Teh Siti ingat betul seminggu sebelum suami Ibu Titi meninggal, dia juga berkata hal yang sama, “Maman, Siti, Minggu lalu Satria mengunjungi Bapak, kalian harus siap-siap adakan kenduri dan selamatan ya?” Tidak berselang lama setelah mengatakan itu, Bapak meninggal dan menyusul Satria.
“Kalian harus siap-siap adakan kenduri dan selamatan ya?” tegas Ibu Titi. “Satria akan datang mengunjungi Ibu mungkin dengan ditemani Bapak.” lanjut Ibu Titi. Mendengar hal tersebut, Kang Maman dan Teh Siti merasa sedih. Mereka khawatir majikannya akan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Kebingungan kini melanda para pembantu di rumah Ibu Titi. Tapi bagaimana pun perintah majikan mereka harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Persiapan kenduri dan selamatan segera dilaksanakan.
Tiga hari lagi acara kenduri dan selamatan akbar keluarga Ibu Titi akan dilaksanakan. Semua sibuk melakukan tugasnya masing-masing. Tujuh ekor sapi Chianina siap disembelih untuk acara. Sapi-sapi tersebut sengaja didatangkan dari Italia. Selain itu, buah-buahan mahal didatangkan juga, yubari king melon, anggur ruby roman, semangka densuke, mangga taiyo no tamago, dan nanas heligan sudah disiapkan juga. Semua sangat mewah dan sangat megah.
Pada kenduri dan selamatan kali ini terlihat berbeda, Ibu Titi terlihat sangat bahagia, terlihat dari wajahnya yang berseri-seri yang merepresentasikan kegembiraan yang hakiki. Tenda-tenda, kursi, meja, umbul-umbul, lampu hias, jalanan, semua sudah disiapkan dengan sangat rapi. Undangan para pejabat, orang penting, keluarga, dan segalanya sudah disebar. Tinggal menunggu hari H acara, yakni Senin wage. Tepat esok hari.
Di dalam kamar, Ibu Titi memandangi foto Satria, anak semata wayangnya yang konon besok akan mengunjunginya. Dia amati dengan sangat saksama, sangat dalam, dan sangat hayat. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara Kang Maman berteriak, “Ibu… Ibu… cepat keluar api… api…” ternyata sebagian rumah sudah terlalap api dengan cepat. Api bermula dari gas elpiji yang meledak dan menyambar sebagian dapur. Kini, merembet ke rumah. Semua panik menyelamatkan diri dan sebagian yang lain mencoba membawa apa pun yang dianggap berharga dari rumah itu. Mereka kalang kabut. “Ibu… Ibu… api… api…” teriak Kang Maman lagi. Di dalam kamar itu, Ibu Titi tetap memandangi foto Satria “Ternyata, kau tidak jadi mengunjungi Ibu, Nak,” lirihnya.
Bandung, 4 April 2025
BIODATA
HERI ISNAINI lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia. Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Kegiatan sehari-harinya adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Cimahi.