DI KOTA YANG TAK SUKA BEGADANG
Barangkali lebih dari sewindu lalu
Aku meletakkan asa sebanyak butir pasir pantai Kuta
Agar kita bisa bercerita pada anak cucu kita kelak
tentang pertemuan yang sudah Tuhan rencanakan
Lalu buum!
Bagaimana rasanya menjadi tiada
Tak lagi tersisa
Yang melekat hanyalah dekap
Dan hangat hanyalah kecup
Aku tulis puisi puluhan kali
Tak tahu alamatmu
Bahkan sudah ditolak redaksi berkali-kali
Semoga aku mujur kali ini
Sebab tak ada lagi radio yang menyampaikan salamku
Ataupun angin ribut mengantarkan sekedar ucapan selamat tinggal
Tapi perlu kau tahu
Cinta masa muda memang pelik
Seperti jeruk nipis yang terpercik pada luka
pada jari kananmu yang tergores pisau lipat
Aku padamu
Pun
Dia padamu
Dan
Kau pada sebuah foto bayi
Teduh di layar androidmu
2025
ASA
Beribu hal yang kita ingini
Acap kali menguap di udara
Sehari kita berharap
Bertahan satu hari lagi
Menyembunyikan risau yang mengendap di relung jiwa
Mengeruk dalam-dalam mengais kebahagiaan
Dan terdampar pada ruang konsultasi psikiatri
Dunia semu kata mereka
Tapi memang kita hidup dalam cermin maya
Hanya berpagut dalam gawai
Pun mencumbui layar kaca
Datang berita gempar
Menyesakkan dada
Tenggelam dalam luapan sumpah serapah
Mengutuk sana sini
Kita tak lagi berharap pada diri
Alih-alih pada negeri
2025
SEBATAS JANJI
Kita berjanji di hari kerja
Satu hari lagi tanpa makian
Bertahan dengan layar-layar kebijakan tak berkesudahan
Atau menemui banyak wajah yang menatap penuh harapan
kelak jadi seperti kita atau melalang buana menembus angkasa
Aku lupa aku punya cuti
Yang tak mau diganggu dengan dering telepon berulang kali
Atau merespon dengan cepat
‘Baik, Bu, noted. Siap laksanakan. Menunggu arahan selanjutnya.’
Kita berjanji sampai 2048
Setelah itu selesai
Tak ada lagi yang perlu kujilat atau bahkan kuludahi
Aku hanya ingin berbaring sejenak di matamu
yang redup selalu ingin kupeluk, bolehkah?
2025
MENUNGGU IBU PULANG KERJA
Ibu selalu bergegas pagi-pagi buta
Kami pun acapkali terburu-buru
Tersedak air pun tak sempat mengunyah
Lalu kami berangkat pagi-pagi
Di sekolah hanya ada tukang kebun
Kami pulang ke rumah
Dan kami tunggu ibu sampai senja
Bertahun-tahun
Kami lupa bau keringat ibu
Yang kuingat hanyalah teriakan yang memekakkan telinga
‘sana pergi, ibu capek sekali’
Lalu kalau ibu capek
Kenapa tidak berhenti saja
Lantas
Kami lihat bapak termangu di depan jendela
Terkadang terkantuk-kantuk
Tak jarang membenturkan wajahnya
yang dulu gagah merebut ibu
dari yang lebih mapan darinya
Ibu lama sekali
Seragam kami tak cukup lagi
2025
BIODATA
Ayunin Qryn adalah seorang penulis yang memiliki ketertarikan mendalam pada dunia sastra, terutama puisi yang sarat dengan nuansa emosional dan reflektif. Selain puisi, ia juga gemar mengeksplorasi berbagai bentuk karya sastra lainnya, seperti cerpen dan esai. Beberapa puisinya telah diterbitkan dalam berbagai media, baik cetak maupun digital.