Pada pesisir kau temukan perbatasan.
Menunduk dan lihatlah jejakmu di bawah.
Pasir? Itu butiran dari buanamu,
mampukah kau memilikinya?
Demi buih laut biru yang memunculkan awan menggiring dan mengayunkan kapal pada anjungan hingga buritan. Demi angin garam yang menyemai pipi semua hawa bermata sayu beku disepuh deru. Demi camar yang terbang dengan simbol kebebasan. Siang itu Zulaikha menunggu jemputan untuk tinggalkan kampung halamannya.
Sumpah! Cukup untuknya menahan. Di usia Zulaikha yang kini beranjak 20, rasa pahit macam apa yang belum ia cecap. Usia 6 tahun, bapaknya yang jadi nelayan hilang digulung gelombang. Apa yang berkesan darinya? Nihil! Hanya sekelebat wajah legam keras dengan tanda 3 jahitan di atas pelipis kanan sang ayah yang Zulaikha ingat. Untuk emak sendiri, depresi tentu menyeruak dan menyesak. Akibat ini sang emak harus berjuang bertahan untuk membesarkan putrinya dengan melacur hingga usia Zulaikha remaja 15 tahun. Sudah itu karena penyakit hina, sang emak pun akhirnya meninggal dengan risiko dosa yang harus ia pikul di dalam kubur.
Pendidikan? Jangan tanya. Zulaikha, perempuan dengan hidung mancung dan dagu menjuntai itu merupakan insan yang tumbuh dari atap hukum rimba. Zulaikha bukan barisan anak berkemeja putih yang senang dengan santapan buku. Sejak kecil, terlebih masa di mana emaknya telah tiada, menu sarapan Zulaikha adalah paket komplit makian.
Duduk menyandar dinding pada sebuah ruang di kapal Tagbut dalam ombang ambing gelombang, Zulaikha tersenyum mengingat bakat turunan emak yang melekat dalam dirinya sekarang.
Mulanya tentu tak hendak untuk Zulaikha mewarisi profesi laknat ini. Kendati kena cerca dengan sebutan anak haram, Zulaikha berusaha bekerja pada lahan halal. Jualan sayur sampai jaga ruko pernah ia lakoni. Kisaran 3 tahun Zulaikha betah, sebelum pemilik ruko yang seorang Cina berhasil membekap dan mengangkanginya. Sialnya, dua hari usai peristiwa itu dengan wajah menyala merah, Tachi pirang sebagai istri sah pemilik ruko berontak bersama hentakkan sumpah serapahnya.
“Pelakor sundal!!”
Seolah membenarkan sebuah prediksi, tentu saja tepuk tangan ramai penuh kecongkakan dari tetangga Zulaikha segera bergemuruh. Jika sudah begini, nuansa di kampung pesisir pinggiran kota itu bagi Zulaikha tak ubahnya neraka.
Zulaikha menyaput dua sisi matanya yang lembap dan panas. Berbuat baik dengan latar belakang keliru tetap akan menghasilkan sebuah kesalahan. Adakah masih nyeri dan luka untuknya?
Zulaikha memegang perutnya. Sadar setelah tragedi itu bahwa di dalam perutnya telah disusupi daging di luar rahim. Hamil anggur istilahnya. Tetangga? Jangan tanya lagi. Kesekian kali cemeti lidah mereka memecut hati. Cambukan itu bertambah pilu tak bertata krama manakala Zulaikha harus memutuskan untuk pengguguran janin.
“Kamu nggak perlu larut lebih jauh. Udah bener keputusanmu. Kamu berhak bahagia. Larung sesak dan kenangan. Tiba di Macau nanti, nikmati surga yang disediakan Tuhan untukmu,” kata Bunda Sofia, mucikari yang jadi induk semang Zulaikha. Tubuhnya gemuk, riasan tebal dengan mata sayup teduh. Bunda Sofia merupakan sosok dingin yang disegani di kingdom prostitusi bentukannya.
Belum usai. Zulaikha menggigit bibir bawahnya dengan gigi.
“Om Handarbeni?”
“Oh tidak lagi” geleng Bunda Sofia malas melanjutkan “bedebah tua itu mati karena over, Zulaikha? Bukan salahmu.”
“Tapi…”
“Untuk itulah kita di sini” potong Bunda. “Bunda nggak mau kamu balik ringkih lagi.”
“Bang! Bener nggak ini titik koordinatnya. Sudah sejam lebih” gerutu Anggi, seorang dari 6 penumpang termasuk Zulaikha. Semuanya berprofesi sama.
“Udah nggak usah ngeluh, oke” komando Bunda Sofia “lepas ini, bunda nggak bisa lagi dampingi kalian. Nah itu…!!!” tunjuk Bunda ke sebuah kapal kargo yang pelan mendekat.
***
Dalam kabin kapal kargo semua perempuan muda nan cantik itu berkumpul. Induk semang mereka sedang rapat dengan babon baru yang akan menjadi germo pengganti selama tinggal di Macau.
“Moga aja di sana aku dapet suami oppa-oppa” kata Dila mencoba mencairkan suasana.
“Hahaaaa!!!” sebagian tertawa.
“Di Cina nggak disebut oppa-oppa Dila? Di sana Koko. Kamu kira kita libur ke Korea?” timpal Mirna ledek.
Semua luruh dalam canda. Entahlah, perasaan damai justru muncul dari sini, pikir Zulaikha. Menyatu dalam profesi yang rendah ini malah memerdekakan dirinya. Benarkah begitu? Ya untuk saat ini, batin Zulaikha mantap.
“Anak-anak cantik bunda, ngumpul sebentar yuk” pinta Bunda Sofia yang barusan keluar dari ruang pusat di lantai atas. Semua menurut teratur, duduk rapi sambil tampak yang lain mempertebal solekan.
“Bunda udah ngomong. Kalian produk ekspor. Tetap jaga diri dan jangan keluar kandang selama di sana ya.”
“Siapa yang jamin kita di sana, Bun?” tanya Dila antusias. Perempuan muda ini setengah buat Zulaikha iri. Selalu muncul pikiran positif meski dalam situasi dan status mereka sekarang.
“Seorang bos tambang batu bara. Beliau punya sampingan.”
“Penjualan manusia?” serobot Mirna.
Bunda Sofia tersenyum datar. Tapi senyuman itu bagi semua yang ada di situ diakui sebagai sebuah kemakluman.
“Ah sudahlah. Penting sekarang kalian harus menemui Bunda Ajeng. Beliau mau mengecek kesehatan. Jangan marah jika ada yang pulang.”
“Kalo ada yang pulang, itu pasti Anggi, Bun. Keteknya nggak pernah mempan dengan deodoran. Sepuh air raksa baru ilang tuh bau” canda Zulaikha.
“Wooess??..Pulih dari depresi kamu sekarang” jawil Anggi tertawa.
***
Bunda Ajeng berperawakan tinggi, putih, dan terawat. Dalam sebuah ruangan dengan telaten dia cek semua produk inci demi inci. Tak ada hal yang bisa lepas dari komentarnya meski hanya sebercak komedo. Bukannya tanpa persiapan, sebenarnya saat masih dalam genggaman Bunda Sofia pun kesemua dara ayu itu telah melewati seleksi kesehatan, tapi sudah bagian tradisi di sini. Semua produk ekspor wajib selalu dicek kembali. Pantang bagi bos tambang yang menjadi investor untuk mengecewakan koleganya. Begitu kalimat yang keluar dari Bunda Ajeng pada satu kesempatan.
“Oke, semua bersih. Sedikit polesan dan latihan beradaptasi serta gerak kemayu ala asia selanjutnya akan menyempurnakan kalian. Di Macau nanti, meski mata uang di sana adalah Yen, kalian tetap akan terima dollar.”
“Wih mantap” sekali lagi suara semangat nan manja keluar dari mulut Dila yang mungil.
Bunda Ajeng menyilakan tangan dan duduk dengan satu kaki menopang dengkulnya. Elegan serta bernilai, begitu kiranya raut para dara itu bersemu.
“Malam nanti pun kalian sudah memiliki gaji. Kapal kargo ini diisi oleh puluhan ABK. Bos bilang beberapa ingin ditemani bercerita saat istirahat. Persiapkan dengan baik. Jangan buat kecewa pada malam pertama.”
Semua dara bertatap-tatapan lalu kompak mengangguk. Tanpa tanya penting lainnya, kaki jenjang mereka kemudian menuju kamar yang telah disediakan.
***
Satu kesempatan dengan dilanda penasaran, Dila memberanikan diri membuka jendela kamar.
Brusss!!!! wajahnya yang putih bulat itu segera dihantam air biru tua bercampur hujan. Kilatan petir memadu dengan gemuruh ombak. Kengerian dalam gulita malam. Tak ada ujung, mungkin sekarang kapal ini sedang melewati badai di tengah samudera. Dengan bergidik kuyu ia tutup pintu kembali.
“Aku takut, Zulaikha? Di luar mencekam sekali.”
Zulaikha yang sedang persiapan dandan di depan cermin dan membumbui badannya dengan parfum menjawab dalam alunan menenangkan.
“Kapal ini sudah puluhan kali berhadapan dengan cuaca begini Dila. Tak perlu cemas dan segeralah berias.”
Dila meloncat dari kasurnya dan segera memeluk Zulaikha dari belakang.
“Kamu ini sudah kuanggap kakak, Zulaikha. Terima kasih selalu memberikan ketenangan untukku.”
Zulaikha mengayunkan pundaknya ke kiri dan ke kanan. Rasa kasih tercipta hangat antar keduanya.
“Tok!!Tok!!Tok!! Misi…” suara pria dari luar.
Keduanya kaget. Berjingkat lalu mulai berpusing dengan apa yang hendak dilakukan.
“Aduh kacau Dila, mereka datang. Harus bagaimana ini??”
“Katanya jam 10. Ini baru jam 9 malam. Duh lelaki sialan!!” geram Dila bercampur sewot.
Tanpa memikirkan ganti baju dan sekalian saja lebih terbuka, Dila menyongsong pintu atas persetujuan Zulaikha.
Pintu kamar berderit. Dua orang pria masuk. Cukup tua, satu pria menyongsong dengan senyum birahi dan mata menjilat.
Dila kerap tak menyukai ekspresi itu. Tapi keprofesionalannya menyemai ketidaksetujuan. Kesegaran atas semua kesenangan yang akan diraih itu telah membentuk candu nominal. Dila pun membalas senyum dan segera memegang lembut lengan seorang.
“Masuk, Om?”
Di atas kasur Zulaikha membalik badan agar tampak lebih anggun lalu menatap mesra dengan bibir merah delima terbuka. Mengamati sekilas. Satu pria setengah tua sudah jadi milik Dila. Pria di belakang yang mengenakan topi itu enggan masuk. Malu mungkin melandanya.
Paham dengan hal itu Zulaikha berdiri lalu melenggang seperti angsa. Mendekati pria bertopi dengan ekspresi merayu.
Dila cuek saja dengan itu. Toh para dara punya taktiknya masing-masing. Dila segera membawa satu pria dalam gandengannya ke pinggir kasur dekat dinding dan meja rias.
Zulaikha merapat ke pria satunya. Dia ulurkan tangan. Sang pria enggan menciumnya.
“Saya cuma mengantar kawan, Neng?”
Percuma. Zulaikha juga dituntut profesional. Dia raih tangan pria itu dan menghimpitnya.
“Jangan, Neng?”
Tak peduli. Satu tangan lain dengan gerak agresif kemayu secara cepat membuka topi dan melemparkannya.
“Om lebih muda tanpa top…”
Mata Zulaikha terperanjat. Matanya yang penuh muslihat tiba-tiba berkaca. Seulas senyum berubah muram dan bergetar. Tiga jahitan luka di pelipis kanan! Tubuh Zulaikha menyentak dahsyat memandangi sosok pria setengah tua di hadapannya. Seolah tak kalah takjub, si pria pun juga tersadar atas reaksi di hadapannya. Tak tahan, Zulaikha segera menangis dengan menabrak bahu si pria tua. Tak pelak, hal itu membuat kekagetan penghuni kamar. Dila bangkit dan berteriak menyebut namanya.
“Zulaikha?” Si pria tua mengulang dengan mata nanar tak percaya.
Zulaikha berlari ke lantai atas. Ia buka pintu tanpa sebuah kepedulian. Tak dinyana angin hebat dari badai bercampur guntur segera menghantamnya. Deru hujan berdesing seumpama peluru terjun tajam menyakitkan wajah. Tubuh Zulaikha hampir terbang karena itu. Masih dalam tangis dan kalut, tangannya mengunci pada satu lengkungan besi pembatas. Dalam ketersentakan wujud, nuraninya berkecamuk dan mungkin melebihi topan yang menerjangnya malam ini.
“Zulaikha, putriku. Tunggu!!!!” teriak pria tua yang ikut memburu.
“Berhenti di sana, Pak. Berhenti!!! Atau Zulaikha terjun!”
Si pria tua yang tak lain adalah ayah kandung Zulaikha mengikuti dengan kekhawatiran mendalam.
“Baik, Zulaikha. Baik. Bapak turuti kamu, jangan nekad Nak.”
“Mengapa harus Zulaikha, Pak. Mengapa sengsara ini tak berujung” teriaknya yang lebih terdengar seperti erangan.
Dila dan sahabat yang lain bahkan Bunda Ajeng juga muncul. Semua membujuk agar Zulaikha tenang dan mau bicara baik-baik.
Badai masih mengamuk hebat. Dila dan Mirna kian cemas menatap bongkahan kargo yang bergeser ke kiri dan ke kanan dipermainkan angin dan gelombang.
“Bapak macam apa yang menghilang dan meninggalkan putrinya tanpa keingintahuan apakah ia mati atau tidak. Zulaikha ringkih Pak!!!”
“Maafkan, Bapak Zulaikha” getar pria itu bersimpuh memohon ampun.
“Cukup, Zulaikha. Semua bisa kita musyawarahkan. Segera ke sini, jangan nekat begitu!!!” teriak Bunda Ajeng. Di tengah mediasi yang alot tersebut tiba-tiba..
Doooaarrr!!
Sebuah ledakan besar terjadi pada ruang palka. Getar hebat segera menjalar seperti gempa. Semua terdorong dan hampir terlempar ke laut. Sirine berbunyi tanda keadaan genting dan waspada.
Malam itu perkasa samudera aromakan kematian yang selimuti seluruh penghuni kapal. Angin berkecamuk menguarkan murka ke langit yang berkabut. Debur gelombang terjang dan hantami seluruh badan kapal. Kargo kian abnormal yang berujung luruh dan satu persatu jatuh tenggelam ke dasar laut. Para ABK semua keluar dengan roman kecemasan.
Ayah Zulaikha segera berlari ke putrinya yang terduduk dan shok.
“Bapak ada untukmu, Nak. Tenanglah. Bencilah engkau setelah ini. Tapi sekarang kau harus selamat. Ku antar kau dan sahabatmu ke sekoci.”
Zulaikha yang bingung dengan suasana jiwanya antara marah, takut, dan senang karena puluhan tahun ia tak merasakan pelukan seorang ayah lantas hanya bisa terus menangis. Sang ayah mengerti itu.
Dengan dipapah dalam sapuan hujan dan guntur, Zulaikha dan rombongan langsung diarahkan mendekati sekoci.
Dari ujung dinding kapal, Nahkoda melalui pengeras suara segera mengumumkan untuk dilaksanakan evakuasi.
“Minta bos untuk jemput pake heli saja!” sergah Bunda Ajeng.
“Tak mungkin. Topan hebat begini tak akan ada heli yang berani datang!” timpal ayah Zulaikha.
“Bapak, Zulaikha mau pulang. Zulaikha takut. Ayo kita pulang.”
Ayah Zulaikha erat peluk sang putri. Enggan baginya membiarkan Zulaikha berlarut menggigil karena dingin malam dan ketakutan.
“Semua baik-baik saja, Nak. Bapak pun ingin pulang bersamamu.”
Sebaris senyum mengembang dari bibir sang ayah. Lalu mata itu. Entah mengapa tatapan itu yang sungguh Zulaikha rindukan. Tatapan sosok pelindung yang menenangkan.
Dooarrr!!
Satu ledakan kembali ciutkan nurani. Api berkobar dengan asap ungu kehitaman membumbung dan menyebar. Mendadak buritan merendah. Kargo kian tumpah bahkan kini malah menggelinding menerjang ruangan depan lantai satu.
“Mansyur!!!! Mansyurr!!!!” panggil satu ABK. Ayah Zulaikha tanggap.
“Ada apa!!!”
“Ledakan ini berasal dari turbin kapal. Mungkin baling-balik tersangkut jaring nelayan yang bercampur rumbai rumput dan pecahan karang. Ledakan merembet sampai ruang mesin. Kita harus hentikan air agar tidak naik ke dek 3.
“Tinggalkan kapal, Burhan! Persetan dengan ini semua!”
Pria bawahan Pak Mansyur itu tersenyum pucat. Pak Mansyur mengerti bahwa uraian itu adalah pertalian. Dengan siluet gelap di antara sela rambutnya yang kuyu, Pak Mansyur menebak.
“Benarkah sekoci tak akan sempat menjarak dan akan segera terperangkap pusaran karam kapal?”
Zulaikha merasakan keheningan di antara keriuhan. Dua pria itu yang berbicara itu kini bisu ditampari angin dan air hujan.
“Tidak malam ini! Bapak tak perlu ke sana. Orang lain saja. Zulaikha mohon satu kali ini saja Bapak nurut!”
“Di sini bapak adalah seorang mekanik. Sudah kewajiban bapak lakukan hal itu” terang sang ayah sambil mencium kening Zulaikha.
“Turunkan sekoci!” perintah Pak Masyur.
Rekan ABK segera menuruti.
Zulaikha menggelinjang berontak kesetanan hendak memburu naik tapi Anggi dan Dila menahannya. Soar di atas kepala Pak Mansyur menyinari dan ejakan luka. Dari bawah, Zulaikha berteriak hancur berserak-serak. Kapal makin tak seimbang. Semua makin keruh. Manakala sekoci hanyut menjauh dipermainkan ombak, Zulaikha memandang butiran pasir itu luruh dalam sela genggamannya.
BIODATA
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat diberbagai media cetak dan online.