“Siaaaaaappppppp graaaaakkkkkkk………….!!!”
Perkenalkan. Nama: Johan. Panggilan sehari-hari: Han..han. Usia: 20 tahun. Nama orang tua, bapakku: Johmali. Nama Ibuku: Johariah. Pekerjaan bapak: Mancing. Pekerjaan ibu; Masak. Alamat tinggal sekarang……..dst……..dst
Dinaikkan sedikit posisi seragamnya, kemudian mulutnya meniup peluit keras-keras. Dan tangannya sepasang rambu-rambu lalu lintas yang mengembang. Kendati Traffic-Light tetap menyala memberi sinyal. Hiruk di perempatan jalan yang panas terpanggang matahari tidak membuatnya kelelahan. Tidak membuatnya panas. Tubuhnya yang hampir tidak pernah mandi membuat bersahabat dengan air keringat yang meleleh sepanjang badannya. Baju basah keringat dia tidak ambil peduli. Beberapa pengendara yang melihat menggurat tanda-tanya di mata, sebagian pengendara ada yang meneriaki sembari menyalakan klakson keras-keras. Dia sepertinya tidak terpengaruh. Hanya cengar-cengir terlihat lucu.
Sebagian pengendara yang mengerti hanya tersenyum simpul sembari geleng-geleng kepala. Johan berdiri di tengah-tengah perempatan jalan. Tidak peduli beberapa kendaraan hampir menabraknya. Johan seolah tak mengerti bencana, beberapa luka di tubuh akibat pernah ditabrak, masih ada sisa jahitan di bagian lengan dan pahanya, seolah dia tidak merasa sakit. Tubuhnya banyak bekas luka semakin membuatnya kebal dan ada pula yang belum sembuh betul dari luka yang dialami, dia sudah terlihat kembali menyatu dalam hiruk pikuk kendaraan di persimpangan jalan utama. Namun pengendara yang mengerti akan minggir dengan teratur menghindari lelaki berpakaian seragam polisi itu. Bahkan ada yang melemparkan recehan. Johan memungut sambil memberi jempol lewat isyarat tangannya.
Johan mencuri baju seragam polisi di gudang rumah pamannya. Seragam itu sudah tidak terpakai namun baginya itu merupakan seragam yang cukup bagus. Setiap jam 12 siang hari, Johan berjalan menuju perempatan jalan dengan mengenakan seragam lengkap. Di sisi pinggang kanan terselip pistol yang sekali waktu di acung-acungkan pada setiap orang yang dijumpai di jalanan.
“Dor” teriaknya sembari mengarahkan pistol ke arah tetangganya.
“Oww, mati!” Braham, tetangganya yang sudah mengerti keadaan Johan ikut berteriak dan menempelkan badan di tembok sembari memejamkan mata. Johan tertawa senang dan berlalu. Seperti sebuah lagu yang mengalun di telinga. Serupa bisikan angin yang menjadikan semangat tak pernah padam. Beginilah kisah tentang walinya Johan…….
Demikianlah yang dapat aku ceritakan tentang Johan anakku, buah hatiku. Anakku yang terbesar saat ini sudah bekerja di sebuah perusahaan retail yang cukup besar. Perusahaan yang tidak menjaga jarak terlalu jauh untuk mendirikan lokasi frenchise di bilangan kota yang cukup kecil ini. Kerja memang demikian karena selaku pengamat dalam aktifitas untuk menjaga segala transaksi dalam perusahaan itu terhambat karena kegagalan kerja sistemnya. Maka Johan tidak bisa lepas tanggung jawab dari hal itu karena memang itu yang menjadi tugasnya. Beberapa waktu yang lalu tercetus angan-angan untuk mencari pekerjaan lain. Terkadang berdebat dengan ibunya soal penghasilan di sebuah perusahaan retail sekarang dengan membanding-bandingkan kerja IT pada sebuah instansi, pada sebuah bisnis perbankan. Maka ibunya pernah berkata:
“Nak, sebagai anak laki-laki yang kelak dikemudian hari bertanggung jawab terhadap keluarga kecilmu adalah tiba masanya nanti sebagai tulang punggung keluarga. Maka pekerjaan dengan penghasilan tetap merupakan suatu harapan. Sasaran yang paling tepat justru sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kerja tidak terlalu berat. Absen maupun tidak, gaji jalan terus dan ada tunjangan-tunjangan dari pemerintah untuk keluarga.Jikalau nasib baik berpihak pada dirimu dan dapat jabatan basah, pastilah uang mengalir lancar.”
“Namun paling tidak latar belakangnya harus minimal pendidikan diploma, Mam,” jawab Johan. “Lagian aku harus melanjutnya pada tingkat Strata satu. Tingkatan akademik yang lebih tinggi dari sekarang ini. Apa yang bisa kuharapkan hanya dengan mengandalkan ijazah D1?”
Ngomong-ngomong soal PNS, prinsip ataupun cara pandang bagi anakku sangatlah berbeda. Rupanya secara diam-diam tanpa sepengetahuan kami dia sudah ikut dalam barisan pelamar lainnya, mengikuti test kepolisian. Sepintas terdengar kabar angin kalau yang dibutuhkan untuk wilayah propinsi ini sekitar 500 orang sementara jumlah calon pelamar sudah lebih dari 1500 orang.
“Bapak dan ibu mendukung,” kataku suatu hari. “tapi untuk menjadi calon bintara di kepolisian butuh uang yang tidak sedikit untuk menyogok. Itu sudah merupakan rahasia umum. Pasaran untuk lulus sebagai polisi sudah jadi rumours berkembang saat ini berkisar 150 juta-an . Bapak dan ibu tentu tidak mampu mengusahakan uang sebanyak itu.”
Apa jawab Johan?
“Aku juga ikut test kepolisian ini juga tidak terlalu berharap banyak, hanya coba-coba, kalau lulus dengan nilai murni tanpa ditopang uang – yaaa.. aku lanjutkan terus hingga berhasil. Dan aku merasa tidak ada harapan makanya aku sedini mungkin sudah mempersiapkan kekecewaan atas kegagalan itu nanti. Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba kan?”
Test kesehatan pertama, psikotest dan test akademik. Kemudian dilanjutkan dengan test kesehatan ke dua dan yang inipun sudah lulus dengan mudah yang dilanjutkan dengan test jasmani hingga berujung pada pemantauan akhir yang biasanya sebagian peserta berada pada stress tingkat tinggi ketika mengetahui pada tahap ini sampai tidak berhasil.
Sementara untuk menutup rasa galau, Johan memotong rambutnya sependek mungkin atas usulan dari ibunya. Melihat penampilannya sedemikian rupa, melihat gaya rambutnya yang sedikit cepak hehehe gini-gini, penampilan sudah jadi polisi lho. Semoga nanti tidak stress ketika gagal.
Syukur semoga saja berhasil.Tadi pagi mendahului jadwal bangun tidurku yang telah terlewat oleh anakku, ketika mendengar dia sudah mengikuti parade. Walau sempat tertunda satu hari, konon yang dikaitkan dengan acara 20 mei kebangkitan nasional. Tidak menjadi masalah. Itu berarti informasi untuk parade bisa dilangsungkan keesokan harinya. Sementara paman dan adik-adiknya serta ibunya mempraktekkan bagaimana vokal yang tegas dalam parade itu nanti, sesuai dengan apa yang pernah di alami pamannya misalnya penekanan pada kata sepatah-patah: Siaaaaaaaaaaap graaaak! Nama Johan umur 20 tahun nama orang tua dst dst sembari ngobrol-ngobrol lepas bersama teman-temannya di halaman depan rumah kami. Rumah kami adalah sorga bagi kebahagiaan mereka untuk berkengkerama. Rumah yang menceritakan segala perhelatan dengan beragam kegiatan mereka ketika berada di luar rumah.
Alhasil: sebuah sms masuk menyatakan kalau dirinya telah LOLOS
“Yang tidak FAIR dalam test jasmani penerimaan calon POLRI kali ini adalah yang tidak lolos seleksi renang kemarin Minggu dilakukan test ulang secara tertutup, tidak disaksikan peserta lainnya, hahahahahaha jangan-jangan tahun kemarin terjadi hal serupa bahkan malah LOLOS. Anggota polri memang tidak wajib mesti pintar renang. Demikian olok-olok di sebuah media jejaring sosial. “ Bengkung tertawa ngakak.
“Ah, kata siapa?” Johan bertanya tak yakin
“Nih baca” Bengkung menyodorkan androidnya yang menunjukkan berita itu pada sahabatnya.
Johan terkesima. Bukannya dia tak pintar renang. Tapi…
***
Malam ini usai test penentuan dari mabes sprint pusat oleh tim supervisi dari jatim kurang lebih 10 orang. Kumpul semua di rumah sembari membahas hasil test tadi sore. Berangkat dari rumah jam setengah enam hingga jam setengah delapan giliran test, kecemasan akan test mata dan ternyata jari kakinya yang ditunjuk. Tentu masgyul rasa hati. Berkecamuk di jiwa. Gambaran kegagalan bukan sebuah mimpi buruk yang baru. Sebab mimpi-mimpi berikutnya bagi Johan tentunya mengharap pencerahan. Harapan untuk keberhasilan. Malam ini Johan berdoa untuk yang kesekian kalinya sesudahnya ia menatap wajah ibunya memohon kekuatan.
Rabu Sore di Anu Convention Hall
Gedung besar di bilangan jalan Anuwijaya yang berkapasitas 1500 hingga 2000 orang itu, dipenuhi kurang lebih sekitar 650 orang undangan ditambah dengan sejumlah peserta yang diwakilkan orang tua maupun kerabat. Undangan yang hanya diberlakukan untuk satu orang ataupun wali calon peserta masih terlihat di deretan belakang pada berdiri semua. Tempat duduk tidak mencukupi dengan jumlah undangan yang sudah ditetapkan. Saking antusias menanti pengumuman kelulusan hasil test brigpol tersebut, para undangan yang terlambat datang pun rela harus berdiri. Dan seperti biasa, acara molor satu jam lebih dari jadwal. Pembukaan acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya memenuhi seantero ruangan. Gema suara calon brigpol yang mengumandang dengan semangat jiwa muda, sebagian besar dari enam ratus lebih calon masih rata-rata baru tamat dari sekolah menengah tingkat atas. Semangat gema lagu yang membangkitkan sebuah harapan baru. Harapan-harapan akan suatu berita yang menggembirakan dari anakku yang bisa dibanggakan nanti untuk cerita buat keluarganya, cerita membanggakan untuk ayah,ibu serta adik-adiknya. Tentu saja harapan dan cita-cita mulia johan untuk gambaran kelanjutan masa depan adik-adiknya. Seandai lulus nanti dan berhasil di kedinasan. Paling tidak sukses untuk ukuran kepangkatan, tentu dia bisa menopang ekonomi orang tuanya yang sempat morat-marit. Hmmm…tentu saja pula dia akan bisa membantu adik-adiknya. Paling tidak memuluskan kelulusan karena bantuan orang dalam. Begitu lamunan Johan.
Dari awal acara secara kronologis dibacakan hasil-hasil penilaian dari masing-masing bidang test seperti test awal kesehatan, test akademik, test jasmani hingga pemantauan akhir. Semua siswa calon brigpol dibacakan yang dapat dilihat dan dibaca pada layar yang ditampilkan. Meski aku agak kabur membaca yang duduk di deretan undangan bangku paling belakang.
Akhirnya sejumlah nama tidak lebih dari 10 orang dinyatakan tidak berhasil. Salah satunya adalah Johan.
***
Dan Johan sekarang berdiri di tengah-tengah perempatan jalan meniup pluit keras-keras. Mengatur lalu-lintas semaunya sendiri. Pakaiannya masih yang itu-itu juga. Pakaian dinas yang dicuri dari gudang pamannya. Beberapa anak iseng meneriaki. Serta merta Johan mengambil batu yang memang sengaja dipersiapkan di kantong celananya dan melempar ke arah anak-anak nakal itu.
Airmataku menitik melihat tingkah laku Johan di kejauhan.
Amboi!!!
Mataram, 2024
BIODATA
Kumarsana lahir di Denpasar, 13 April 1965. Menulis puisi, prosa liris, esai, cerpen, dan novel. Buku tunggalnya yang telah terbit: Komedi Birokrat (2010), Senggeger (2010), Kabinet Ngejengit (2012), Mata Dadu (2014), Penari ular (2019), Nyoman dan Senggeger (2020), Pengkoak (2020), Bejigar (2021). Peraih penghargaan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2020.