Ilustrasi sembahyang – Tumpek Landep, Sabtu 22 Februari 2025, adalah pemujaan kepada Hyang Pasupati yang tiada lain ujungnya adalah pemujaan bagi Dewa Siwa dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
BALI, Balipolitika.com – Banyak warga Hindu, khususnya di Bali berpikir bahwa Tumpek Landep adalah odalan senjata tajam dan besi.
Namun filosofi Tumpek Landep jauh dari itu, dan tentunya berujung pada makna pemujaan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Bahwa pula, Tumpek Landep adalah pemujaan kepada leluhur umat Hindu di Bali, bhatara-bhatari putra dari Sang Hyang Pasupati.
Lalu siapa Sang Hyang Pasupati?
Sang Hyang Pasupati adalah salah satu manifestasi Dewa Siwa dalam Agama Hindu. Nama “Pasupati” berasal dari Bahasa Sanskerta, yang terdiri dari dua kata: “Pasu” yang berarti “hewan” atau “makhluk”, dan “Patii” yang berarti “tuan” atau “penguasa”.
Dalam Agama Hindu, Sang Hyang Pasupati sebagai perwujudan dewa, yang memiliki kekuatan untuk melindungi dan menyelamatkan semua makhluk hidup.
Ia juga sebagai dewa yang memiliki kekuatan, untuk menghancurkan kejahatan dan memelihara keseimbangan alam semesta.
Dalam tradisi Hindu di Bali, Sang Hyang Pasupati sebagai dewa yang sangat penting. Ia sebagai pelindung dan penjaga keamanan, serta sebagai dewa yang memiliki kekuatan untuk memberikan kebijaksanaan dan kesadaran.
Kemudian Sang Hyang Pasupati pemujaannya saat Tumpek Landep, setiap enam bulan sekali. Dalam Lontar Sundarigama, makna upacara Tumpek Landep, adalah memohon ke hadapan Sang Hyang Pasupati agar berkenan menganugerahkan ketajaman pikiran.
Serta ketangguhan dalam menghadapi perjuangan hidup. Tumpek dalam Hindu, khususnya di Bali adalah sebagai hari untuk mengingatkan agar umat manusia tidak melupakan dan tidak menjauh dari Hyang Maha Wisesa atau Tuhan. Sebab segala yang ada di dunia ini, adalah ciptaan Tuhan.
Kemudian dalam banyak literatur, Sang Hyang Pasupati adalah seorang maha suci yang dahulu menurunkan sapta dewata-dewati. Ini berkaitan dengan silsilah bhagawanta, sebagai penuntun umat untuk dapat kembali meyakini Dharma. Atau leluhur bagi orang Hindu, khususnya di Bali.
Dalam Purana Dewa Tattwa, bahwa setelah Hyang Pasupati melakukan yoga di Gunung Semeru. Kemudian dalam Babad Dalem dan babad lainnya, Ida Bhatara Hyang Pasupati di Semeru mengadakan putra dari yoganya. Kemudian beliau menitahkan putra putri itu ke Bali.
Beberapa putra beliau adalah Ida Bhatara Putra Jaya di Pura Besakih. Ida Bhatara Gnijaya di Pura Lempuyang Luhur.
Ida Bhatari Danu di Pura Ulun Danu Batur. Ida Bhatara Hyang Tugu di Pura Gunung Andakasa, Karangasem. Ida Bhatara Hyang Manik Gumawang, di Gunung Beratan. Ida Bhatara Hyang Manik Gelang di Pejeng. Serta Ida Bhatara Hyang Tumuwuh di Gunung Batukaru.
Sehingga bahwa Sang Hyang Pasupati, adalah sumber dari semua leluhur khususnya di Bali. Untuk itu pula dalam Tumpek Landep ini, agar umat manusia tidak melupakan leluhurnya.
Hari suci pada wuku Landep, adalah Tumpek Landep setiap hari Sabtu Kliwon Landep, atau besok tanggal 22 Februari 2024.
Dalam lontar Sundarigama, bahwa pada hari suci ini sebagai hari suci bagi Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati. Sebab beliau melakukan yoga semadi.
Untuk itu, umat Hindu membuat sesajen persembahan di merajan kepada Bhatara Siwa. Sesajen tersebut, adalah tumpeng putih kuning adanan dengan lauk ayam putih, ikan teri, terasi merah, dan sedah woh.
Untuk sesajen kepada Sang Hyang Pasupati adalah sasayut pasupati, sasayut jayeng perang, sasayut kusuma yudha, suci, daksina, pras, ajuman, canang wangi, tadah pawitra, reresik.
Biasanya dalam prosesi upacara umat Hindu, pada Tumpek Landep ini akan ada upacara untuk semua benda tajam khususnya senjata.
Filosofinya memohonkan ketajaman kepada Sang Hyang Pasupati, dengan merapalkan mantra Dhanurdhara atau ajian ilmu panah.
Tujuannya, untuk mengasah ketajaman batin dan pikiran umat manusia. Layaknya setajam senjata perang pada zaman dahulu seperti keris dan pedang.
Perayaan Tumpek Landep, berkaitan dengan berbagai hari suci sebelumnya. Seperti pada wuku Sinta, adanya perayaan hari suci Soma Ribek, Sabuh Mas, Pagerwesi. Bahkan sebelumnya lagi, pada wuku Watugunung adalah perayaan Saraswati.
Dalam Alih Aksara Alih Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama, bahwa kemungkinan segala hasil yang telah tercapai pada perayaan Soma Ribek, Sabuh Mas, dan Pagerwesi sebelumnya yang kembali bersih. Kemudian suci dan terasah lagi agar tetap tajam, serta kuat seperti gunung atau wukir.
Bahwa pada Tumpek Landep ini manusia harus menyadari adanya hakekat kematian. Sebagai teman dekat dari semua makhluk hidup. Untuk itulah, seharusnya semua berbuat baik sebelum ajal menjemput.
Hal ini tersirat dalam kutipan ‘rumaketa sanak tuhu ring sanjata tkeng pati‘. Atau mendekatkan sanak saudara pada hakekat senjata dan kematian yang sejati. (BP/OKA)