MALAM ITU aku dan kekasihku pulang ke indekos dalam keadaan yang sangat lelah. Kami lempar barang-barang kami ke berbagai sudut yang masih kosong. Kamar yang berukuran 3×3 ini nampak mual, semuanya serba menumpuk dan tak teratur. Namun secara tidak langsung kami bersepakat meluangkan waktu untuk merapikan kamar hanya pada Sabtu atau Minggu sehingga acara bersih-bersih ini dapat maksimal dengan tenaga penuh.
Aku bekerja sebagai copywriter di sebuah agensi iklan, sedang kekasihku sebagai guru musik di sekolah dasar. Tempat kerja kami kebetulan tidak begitu berjauhan sehingga kami selalu berangkat dan pulang bersama. Kami selalu menyempatkan berburu kuliner malam sepulang kerja sambil saling berbagi cerita tentang pekerjaan atau apa pun.
Sesampainya di indekos, kami juga selalu menyempatkan untuk mandi dan menonton film atau series yang daftarnya sudah kami tulis setiap awal bulan dengan judul ‘Daftar Tontonan Bulan Ini’. Kami berdua memang sangat gila menonton, setidaknya itulah satu dari sedikit kesamaan yang membuat kami tidak bertikai dan memperdebatkan selera masing-masing.
Selesai menonton, kami akan saling melemparkan kata-kata romantis, bercumbu, lalu bercinta. Namun tidak dengan malam itu. Kami makan malam di warteg yang sembarang kami temui. Kami makan dalam hening. Tidak ada mandi, menonton, maupun bercinta. Suatu kebetulan karena secara bersamaan pekerjaan kami padat. Kami begitu lelah. Setelah melempar barang, kami melempar tubuh kami ke kasur lalu jatuh terlelap.
Di tengah tidur, aku sempat terbangun, terganggu oleh kekasihku yang entah mengapa terus membolak-balikan badan. Aku bertanya ‘kenapa?’ dan ia mengatakan sesuatu sambil menggulir layar gawainya. Aku tak begitu mendengar apa yang ia katakan. Ucapannya begitu samar tertutup kantukku yang tak tertahankan. Aku merebut gawai darinya, menidurkannya di pelukanku lalu mengelus-elus kepalanya hingga ia menjadi sedikit tenang. Aku jatuh terlelap lagi sebelum memastikan kekasihku kembali tidur.
Aku kembali terbangun dan melihat kekasihku duduk di tepi kasur. Aku menggosok mataku memastikan tak sedang bermimpi. Aku bangun, memeluk dan mengecup leher belakangnya. “Ada apa?” tanyaku saat melihat gelisah menggelantungi wajahnya.
“Aku harus pulang sekarang,” katanya sambil beranjak. Aku menyingkap gorden, langit di luar masih gelap. Kubuka gawaiku, jam masih menunjukkan pukul 4 pagi.
“Ada apa kok mendadak? Gak nunggu setidaknya sampai matahari turun? Memangnya kamu hari ini tidak kerja?” tanyaku.
“Ibu dan bapak sakit.” Jawabnya singkat lalu ia pergi mandi.
Aku membuka gawainya dan melihat pesan dari adik perempuannya:
“Mas, pulang. Ibu sama bapak sakit sejak tadi sore. Sekarang badan mereka panas banget. Mereka dari tadi terus mengingau. Aku takut.”
Adiknya mengirim pesan sejak pukul 2 pagi. Ternyata pesan ini yang membuat tidurnya gelisah. Aku yakin kekasihku berencana untuk pulang setelah matahari muncul mengingat jalan ke rumahnya jauh, meliuk-liuk, dan berlubang. Namun tampaknya ia sangat cemas, dipaksakan tidur pun tak bisa, sehingga ia memutuskan beranjak pukul 4.
Mandinya begitu singkat, ia memasukkan beberapa baju dan laptop dengan tergesa-gesa ke dalam tasnya. Ia tak sedikit pun melihatku. Aku membantunya menyiapkan sepatu dan air minum untuk bekal di jalan.
“Sekira jam 7 nanti aku akan menghubungi sekolah untuk memohon izin tidak masuk. Kamu hari ini berangkat sendiri, ya. Nanti aku akan berusaha menghubungimu kalau memungkinkan. Aku sayang kamu.” Ia lalu memberi kecupan pada bibirku dan pergi tanpa memberi kesempatan untukku mengucapkan satu dua patah kata, atau setidaknya menjawab ‘aku juga sayang kamu’.
Aku kembali melihat gawai, pukul 4.25 pagi. Perjalanan pulang biasa ia tempuh sekitar lima jam menggunakan Honda Revo CW FI miliknya. Kali ini bisa lebih cepat mengingat jalanan masih sepi. Aku menjadi cemas. Pikiranku penuh dengan jalanan gelap yang meliuk dan berlubang, kekasihku yang ngebut, serta kondisi orangtuanya.
Semua kantuk hilang dari mataku. Aku membuat kopi lalu menggulir laman Instagram, menonton beberapa video lucu sebagai upaya menghilangkan cemas. Namun hingga sore hari, alih-alih hilang, rasa cemas justru semakin menumpuk, terlebih kekasihku belum mengirimiku satu pun pesan. Telponku pun tak kunjung dijawabnya. Aku mengirim pesan pada adik perempuannya, juga tak berbalas. Sangat sulit bagiku untuk membuat rasa cemas tidak mengganggu pekerjaanku.
Sesampainya di indekos setelah sebelumnya membatalkan janji menonton bioskop dengan rekan kerja, aku bolak-balik memeriksa notifikasi gawai hingga akhirnya satu pesan yang meluruhkan cemas di sekujur tubuh muncul:
“Bapak dan ibu sudah membaik. Kondisi sudah terkendali di sini. Aku pulang besok sore dan jemput kamu, ya. Aku ceritakan detailnya besok. Love u!”
Aku memberi reaksi dengan emoji senyum pada pesannya, lalu jatuh terlelap.
Keesokannya, kekasihku sudah menunggu di depan kantor. Ia sedang asyik berbincang dengan satpam saat aku menghampirinya. Aku langsung memburunya dengan pertanyaan, tapi ia mengajakku untuk mencari tempat makan terlebih dahulu. Aku lapar sekali, katanya.
Kami makan mi ayam bakso malam itu. “Aku yakin kamu tak akan percaya dengan cerita ini,” bukanya.
“Jadi, ibu dan bapak sakit karena melihat siluman tikus di sawah,” lanjutnya dengan penuh semangat. Matanya membelalak tampak hampir keluar dari sarangnya. Mendengar itu, aku berhenti mengunyah dan mengangkat satu alis. Ia tersenyum seolah puas dengan dugaannya terhadapku.
“Di kampung memang sedang ramai soal siluman tikus ini. Sawah-sawah rusak bukan main. Awalnya warga mengira itu hama tikus biasa. Namun beberapa petani bertemu dengan tikus yang besarnya seukuran kepala manusia, matanya merah menyala, dan bulunya hitam legam. Tikus tersebut akan menjebak kita dalam matanya saat kita menatapnya. Lalu siluman itu akan membesar dan terus membesar. Ibu dan bapak menyaksikan tikus itu membesar hingga seukuran manusia. Itu terjadi sore hari saat mereka hendak pulang dari sawah. Setelah itu mereka langsung terkena demam hebat. Warga lain yang melihat tikus tersebut juga mengalami demam, bahkan ada yang sampai meninggal,” tuturnya sambil mengusap-usap lengannya, “Untung ibu dan bapak tidak separah itu, mereka tak lepas berzikir,” aku mengangguk-angguk kecil sambil meminum minuman kesukaanku, es jeruk tanpa gula.
Kekasihku menatap mataku lekat, ia menungguku memberi respon atas ceritanya. Aku bergeming. Ia kembali melanjutkan, “Akhirnya kemarin warga bersepakat untuk memburu siluman tikus tersebut. Aku turut serta dalam perburuan itu. Kami mulai pada petang hari, waktu di mana tikus tersebut sering memunculkan diri. Ini bagian serunya,” katanya dengan suara tinggi, hampir berteriak. Pada titik ini aku mengerti mengapa kekasihku memang cocok menjadi guru.
“Awalnya kami melihat gerak mencurigakan di tengah sawah. Dan benar saja, tikus tersebut muncul setelahnya. Lagi-lagi kamu tak akan percaya. Tapi tikus itu benar-benar besar, hitam legam bukan main,” tangannya bergerak ke sana ke mari di udara.
“Aku dan warga lain yang sudah mempersenjatai diri langsung mengejarnya. Tikus itu lari sangat kencang. Benar-benar siluman!” sambungnya sambil terengah-engah.
“Lalu dari mana kamu tahu itu siluman? Kamu melihatnya berubah ukuran? Dan apa kamu dan warga lain berhasil menangkapnya?” tanyaku akhirnya mulai tak tahan.
“Demi keselamatan bersama, kami menghindari menatap matanya. Namun kami tak berhasil menangkapnya hari itu. Warga berencana untuk memburunya hari ini dan seterusnya hingga siluman itu tertangkap. Aku ingin sekali bergabung, tapi kamu tahu sendiri, kalau tak bekerja, bagaimana aku menghidupi hidup yang begini-gini saja ini.”
Aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya dan mengangguk-angguk setuju. Aku tak menanggapi apa pun lagi soal cerita siluman tikus tersebut. Bagiku cerita semacam ini hanya dongeng belaka. Aku memercayai hal semacam ini sebagai fenomena ilusi sosial yang dipengaruhi stres kolektif. Sama halnya seperti teror pocong keliling yang pernah terjadi di kampungku belasan tahun silam. Warga berbondong-bondong menembaki sesuatu yang mereka kira pocong yang setelah dihampiri ternyata hanyalah daun pisang tersorot lampu.
Namun percuma saja menjelaskan ini pada kekasihku, ia akan marah sambil berkata, “kamu harus terbuka pada kemungkinan lain, kemungkinan adanya dunia lain yang tidak kita mengerti.”
Rasanya lucu mendengar itu darinya yang justru menolak terbuka pada kemungkinan lain yang lebih dapat dijelaskan. Di sisi lain aku mengerti bahwa membiarkan sesuatu sebagai misteri lebih menarik dari pada mengerti sebab di baliknya. Jadi aku memakluminya. Lagi pula, perdebatan semacam ini bagiku sangat tidak produktif dan membuat hubungan kami renggang. Kami berakhir setuju pada keyakinan kami masing-masing.
Kami pulang ke indekos dengan perasaan lega. Malam itu kami sempat membersihkan diri lalu menonton film Lake Mungo karya Joel Anderson. Setelahnya kami bercumbu tapi tidak bercinta. Aku dan kekasihku tidur lelap hingga suara tikus membangunkanku. Aku membuka gawai dan jam menunjukkan pukul 3 pagi. Aku beranjak, mencari sumber suara tikus. Tidak biasanya ada tikus di indekos ini, benakku.
Setelah kutelusuri, ternyata sumbernya di luar kamar, di dalam tempat sampah yang kami simpan di samping pintu. Aku menendang tempat sampah tersebut agar tikusnya keluar. Aku melompat saat tikus tersebut melompat. Dan yang lebih mengejutkan, ukuran tikus itu sangat besar, ia memiliki mata merah menyala dengan bulu hitam legam. Tenggorokanku kering seketika.
Ada kebengisan pada mata merahnya, dan tanpa kusadari semakin jauh aku larut dalam matanya, tikus tersebut semakin membesar. Mata itu mengunciku, membuatku tak berdaya menggerakkan tubuh seinci pun. Udara menjadi tak lancar masuk keluar paru-paru, aku kesulitan bernapas. Tikus tersebut tak berhenti membesar hingga aku perlu mendongak untuk mengikuti matanya.
Aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Aku baru tersadar saat kekasihku menampari pipiku. “Kamu mengigau parah dan sulit dibangunkan. Kenapa?” tanya kekasihku panik. Aku tak tahu mengapa, tapi tubuhku demam tinggi.
BIODATA
Amina Gaylene, penulis asal Cianjur. Cerpennya pernah dimuat di media online Bali Politika. Amina bisa ditemui melalui: Instagram: @amina_gy