Preambule
Bird Man (1959), Jitka Kolínská
aku menangkap diriku dalam
kejatuhanku di tengah diamku
yang jatuh dalam kestatisan
emosional sebelum alarm
berdering dan menyatakan
keterlambatanku untuk
mengatur ulang peristiwa
yang terjadi di luar jendela
katakan! dan tutup mulut!
sama nonsensnya dalam
kurun waktu yang interogatif
tetapi anti terhadap kesaksian-
kesaksian tegas akan setiap
hal yang berpotensi menjadi
bukti atas insting-insting
pengendali kebendaan serta
selera untuk terus memasang
dan memperindah langkan
suara dialihkan oleh subfakta
dan keremehtemehan paling
krusial menebalkan hurufnya
pada setiap referensi dengan
cara yang sama yang dilakukan
hujan pada tegalan kering
testimoni batu terhadap air
di luar ketenggelamannya
atau daging kepada tulang
di samping kemelekatannya
menuntut pisau analisis
yang lebih halus dan tajam
sehingga setiap serat dan
sistem dari intensi plus
pengaruh external dapat
diklasifikasi dan diklarifikasi
sebelum aplikasi pada setiap
komponen lain layak untuk
dijalankan dengan semestinya
aku akan melakukan buka
pada apa yang masih belum
kuketahui wujudnya secara
pasti kecuali sekedar petunjuk
temporer dari metafora
semisal nodul amonit atau
sangkar Pandora, tetapi anomali
dari penggunaan adjektiva
telah membawa buka pada
derajat yang berbeda ketika
galur-galur marun bercabang
dengan cembungan hijau kaca
lembab yang menjadi caraku
dalam mendeskripsikan detail
stimulus yang berkelebat
secara simultan ternyata
menjadi caramu pula
waktu mengilustrasikan
cerlangnya daun begonia
Menara Babel Shiro Tsujimura
bagi Ahmad Yulden Erwin
cetusan merah saga memanggang hijau lumut dan coklat pasir,
memorakporandakan kuning belerang menjadi hitam karbon
tetapi siapa membayangkan kehancuran begini rupa? saat
berpasang mata merunduk pada bumi, memang, hanya pecahan
batu yang terhambur dari lereng yang terguncang. sepasang
tangan menjerit waktu terimpit dinding batu, tetapi kehendak
agung, monumen yang bakal tegak menyangga setiap bintang,
masih membayang pada setiap urat nadi itu. kilatan putih
berdenyar membelah kelabu tua dan sambaran perak membakar
biru laut menjadi hitam kesumba, tak lama setelah struktur
silindris ini tuntas diputar sepasang tangan, gairah akan
kesempurnaan wujud terlecut sebagai juluran lidah api, jilatan
melingkar pada dinding lempung basah ini mungkin akar parasit
membelit tubuh inang, atau tangan pencekik mengunci leher
korban—rotasi utopis di sekitar ruang kosong semakin larut dari
sumbu, semakin jauh dari apa yang diimpi sebagai penopang
takluknya kohesi oleh bobot yang terpencar lewat keruntuhan
di tengah kepulan abu yang menyekap kilau emas, pendaratan
tak mulus bagi pecahan dinding dalam warna malam—tanpa
juru selamat; tetapi gemerlap tetap hadir pada reruntuhan ini,
kerlap bintang masih memancar dari nadir, dan konstelasi
tercipta ketika setiap pengelana dari berbagai bangsa
mengucapkan “selamat tidur” pada belanga ini: artefak kesadaran
—meringkuk tenang di balik dengkur panjang peradaban.
Rainyray, Reliq
antara “menghitung” dan
“rintik hujan”, ada ruang
bagi ruas jemari untuk menari
bersama kemungkinan, antara
“asing” dan “mengenal”
ada sentuhan yang ringan
bagi subjek lain di hadapan
menunggu untuk dilepas, meski
intensi untuk mengalami
kelimpahan persepsi dari
hujan yang mengosongkan
lanskap dari rutinitas, hujan
yang menjadikan air dan
bukan-air sama basahnya,
mungkin setipis aroma manis
dari kayu-kayu lembab, namun
diam di bawah atap gubuk,
memandang lima bocah lari
menendang bola dalam kuyup,
pun termasuk perayaan, suara
kecipak dari kolam kecil, pun
suatu perayaan, barisan rumah
dengan dentang ritmis atapnya,
seekor ikan kecil mengintip
ke arah langit, sejumlah lukisan
impresionis mendadak hadir
pada penampang jendela yang
basah, semua adalah sentuhan
dengan ujung yang lunak atau
tajam, sentuhan yang mengajak
dan mencengkeram, sebuah knop
pada dirimu bergetar perlahan,
interior dalam tengkorakmu
tak lain bioskop di mana segala
kilasan melintas—sebilah gergaji
menerkam persik, ulat blingsatan di
antara kail, melankoli garpu waktu
merenungi gunung, alun yang pecah
bersama sorotan mercu—cahaya
silau perspektif satu arah kini
menerpa layar yang adalah
tempatmu mengada: sebuah gubuk
dan jalan setapak, kelampauan asing
yang menjelma pusat perhatian, hijau
masa depan pada setiap spora, jeda
bagi jarum jam untuk bersandar,
cadar antara keheninganmu dan keriaan
hujan, semua: adalah perayaan!
Paradise Regained, Jack Body & Wayan Yudane
kami mengharap wilayah paling lapang
tetapi kawah menggelegak ini
bukanlah apa yang kami angankan
kami impikan tempat paling rahasia
namun blokade dari longsoran tebing
bukan ihwal yang kami damba
kami dengar ujung benang dari bisik lirih keputusasaan
merindu lubang jarum keyakinan
—yang belum ditemukan
kami tatap udara malam begitu kosong
tanpa ujung jari menunjuk ke arah gemintang
gelap—
o betapa gelap
lubang yang menganga di dada kami
di pinggirannya: akar-akar kering terjuntai
tubuh kami pepohonan kejang diterpa badai
atau layar yang lepas dari tiang perahu
melambai dan melambai
di tengah keluasan malam
mungkin—bukan di tengah
tak pernah kami menjelma pusat, tak pernah
menjadi inti
kami maujud
di tepian sepi—melambai
dan melambai
tarian kaku ini
perlahan kami urai:
keterkejutan syaraf, letusan listrik
pada dendrit
kami gubah sebagai derit pintu lapuk
yang didobrak
dari dalam
semacam debam!—dentang gong
penanda babak teranyar
kami selami kedalaman malam
dengan nyali buncah gelombang
samudra pecah pada ketinggian langit
: di balik tubuh karang yang diam
anemon, pyrosom
lihatlah—
di luar batasan genom
semua adalah gema
dari lafal Om
kami selami malam
menuju Inti
sehingga
mungkin kelak tiada lagi
dikotomi—tak ada
beda antara kawah dan
lubang jarum, yakni
setelah setiap gerak dari hasrat
tinggal tempias yang terasing
dari hujan dan badai
setelah tubuh lunglai para pemimpi
bertukar pendar sinar rembulan
di lepas pantai
Kepada Tan
densitas—atau
ruang hampa?
duduk di sudut ini
lantai sedingin subuh
dan dinding di hadapan
menatap menatap
bahwa sesuatu sedang dibangun
untuk kemudian diruntuhkan
gedung-gedung
gudang-gudang
juga menara
membayang menjadi
malam yang berkepanjangan
di wilayah pemukiman kumuh
kita ada di mana?
alangkah klise pertanyaan itu
alangkah percuma
meski tak dapat dipungkiri
itu pun satu bagian dari gema
doyong!
doyong!
kecadelan lain terdengar pula
setiap tangan mencoba menyangga struktur
yang
makin
miring
menahan tatanan
menahan menahan
sebelum semua
ambruk
dan
berdebam
sebelum debu melapisi debu
dan penglihatan lenyap
kecuali suara!
Suara:
sebuah pelafalan
vokal yang selalu
menyokong konsonan
lemparan kail
memancing telinga untuk
mendengarkan mendengar
dari tengah hingar
sebaris nama bertahan
T – A – N L – I – O – E I – E
A – N L – I – O – E I – E
N L – I – O – E I – E
L – I – O – E I – E
I – O – E I – E
O – E I – E
E I – E
I – E
– E
?
dalam keawamanku
mengeja nama Mandarin
kudengar sirine ambulance
dalam gaguku
kudengar bayi menangis
menggila hilir mudik suara di keramaian!
bahkan di sudut ini,
debam dinding besar
yang jauh di hadapan
menggoncang lantai tempatmu meditasi
riuh-rendah sorak dan erang
bergentayangan
di antara enjambemen
yang terus mencekik sajak
*
paru-paru mengeras dan
udara menjelma logam?
tidak, kau hanya terseret
oleh gaya magnet ke arah
reruntuhan yang ganjil itu
atau bangunan setengah jadi
yang tampak terbengkalai,
terserap bersama hal-ihwal
lain lalu memadat dan semakin
mampat—menjelma segumpal
batu yang memecah telur penyu
atau sayap kupu-kupu, atau
ledakan bom yang mengarsir
kota-kota dengan hitam dan
toksin sementara tubuh-tubuh
tanpa mantel terjebak dalam
musim dingin tanpa akhir,
di luar pemberitaan televisi
pun jangkauan smartphone,
sebentuk dunia perlahan
ditinggalkan bagai cangkang
kelomang yang kosong, “ini
tentu sekedar siklus”, bisik
seseorang sebelum diringkus
lantas dibantai, di sana, tak
ada tangan yang membelai!
jangan pejam!—buka matamu
dan sadari betapa pejal kepal
tanganmu kini saat mengarus
bersama hal-ihwal yang mekar
dan luruh dalam setiap detik
seiring kembang-kempisnya
napasmu, dengus itu, betapa
pun beratnya tak akan pernah
menyamai bobot sebutir biji
yang terlempar dari kunyahan
gigi, mengheningkan hening
dalam intinya yang kelak
menjadi satu bagian dari hutan
tempat burung-burung
bernyanyi—sebelum deru
gergaji mesin menumpas
batangnya, tegak lurus 90º
yang rebah menjadi 0º =
tak ada hubungan vertikal,
horizontal sejauh pandang
semata lanskap duniawi
tempat angin setelah angin
terus menyebarkan serbuk
kayu + karat + karbon +
mesiu ke lubang hidungmu,
bau yang mendorong pikirmu
pada paru-paru yang mengeras
udara yang mengkristal, juga
kau yang terbekap dan terisap
gravitasi lubang hitam, setiap
omong-kosong dari peradaban
yang dibanggakan dan setiap
ruang bagi penderitaan akan
mampat menjadi satu tanda titik:
stakato bagi sajak-sajak Tan.
*
pada diamnya diam
kudengar segala suara
(lengkung fermata—lalu Tan Dun
meliukkan tongkatnya)
di tengah ketiadaan gerak
gagalkah aku
dalam Vipassana?
kudengar bayi menangis
dan doa yang baik
sirine ambulance
pun sekedar bisik
keramaian komoditas
merambah sunyi wilayah terjauh
dan sesuatu yang asing
kini perlahan disambut
sebagai kepolosan
sebagai panggung jam session
di mana kemerdekaan mekar
dari letusan setiap vokal
A – I
O – E
menyusun nama Tan Lioe Ie
juga Vincent Tholomé
serta percakapan purba
yang mencakar dinding batu
pada dada tiap manusia
desis itu jerit itu
insting buat bertahan
sekeras artefak megalitik
luka yang mendesak pergantian kulit
taring yang menolak tanggal
tetapi tak ada tombak
tak ada ketajaman musti diacungkan
kecuali lengking nyanyian!
gerak bayang-bayang mereka
gerak bayang-bayang pikiran
terekam pada sisi gua
menjauh, mendekat
merapat dan
berjarak
bak gemertak bilah-bilah bambu beradu
guncangan keras pada gelas Ciam Si
apa pun yang terdengar setelah itu
haruslah tawa dan tawa!
kunang-kunang laut dan
kunang-kunang sawah
: saling berbagi cahaya
Terretektorh, Iannis Xenakis
sebaris nama
menghablur
dalam udara—hilang
sebelum dikenal
ingatan berkisar di atmosfer kosong;
peluit kapal—keberangkatan!—
bukan … barangkali: kilasan Firman
dalam film yang diputar ulang
kerumunan bayang hitam
berjejal dalam selembar kaca,
bergerak bagai dedaunan pada
sebatang pohon dihembus
angin kencang—ketika kaca
pecah, mereka menghilang;
kedalaman langit
terpantul pada serpihan
insting anjing liar
membekas pada remah tulang
—penguburan
tak pernah mengakhiri lapar
teruslah mengendap-endap di tempat terlarang ini
penduduk setempat tahu siapa yang tengah berjinjit
tanpa suara, waspada waktu menyelinap masuk
mereka tahu tetapi diam, dan, memang
beginilah cara terbaik untuk “memberi kejutan”
dokumen negara
mesiu—serbuk bunga
musnahkan!
impuls ini mengalir dan
terus mengalir, menggerakkan
sepasang tangan untuk
menulis aku masih hidup!
dan membuat mulut berteriak
hey! siapa di sana?
tetapi ini dimungkinkan
jika dan hanya jika sumbat
di ujung botol itu benar
telah dicabut
SOS—morse yang samar
dari kepulan asap, lalu angin
—keberadaan: tulisan kapur
diincar gelombang
rekah dari kawah gunung
melepas kicau kosmik itu
dari lokusnya yang tenang—
gema mungkin memekakkan, tetapi
inilah cara agar telinga
dapat melihat tubrukan batu
di balik rerumputan
pergi menjauhi pusat
berkisar melawan sumbu
tak terlihat, tetapi
sungguh: di sini
itu masih ada
ia bermimpi ada yang menjanjikan Matahari apabila dirinya bersedia
menetaskan kepompongnya lantas memekarkan sayap multiwarna—
dan kini, setelah kupu-kupu itu lahir dengan kebulatan tekadnya,
dunia padam—bahtera Nuh di kejauhan
bangkit dari tidur panjangnya
demi derik terlirih jangkrik—
angin menghalau mendung
yang berguruh dari kening malam,
detik luruh ke lapis kesadaran
terdalam
gelisah batolit tatkala berlangsung
desakan vulkanik tak dimengerti
pecahan granit yang menyaru kerlap bintang—
waktu menoleh ke bawah tak pernah paham
gelembung halus dari dasar berlumpur
naik sekedar sampai permukaan kolam
uap, rintik—
pada halusnya
suara jeram
sehening siput yang mengatup pintu rumahnya—
bergerak dalam langkah panjang yang ringan
mengatasi bayang-bayang kepala yang bergetar
menahan cemas, kemudian tergelincir dan euforia
tersangkut pada duri euphorbia—setitik embun
tak mengapa terlarut sebentar
dalam adukan begini, meski rasa-rasanya
ada yang musti dibayar untuk setiap
helai daun yang jatuh—dekatkan
keningmu kepadaku sebelum alarm dan sirine dan peluit kapal itu
serentak menggelegar dari kejauhan—lalu langit
turun untuk menguapkan kita, yang dengan
riang berhamburan kembali ke Balik Layar.
BIODATA
Karst Mawardi, lahir di Banjarmasin, 28 Juni 1999. Bekerja sebagai guru pada salah satu sekolah dasar di kota Banjarmasin. Di samping kesibukannya mengajar, juga tengah melakukan studi untuk mempersiapkan naskah puisinya, Tendensi.