POKOK PISANG
-Buat Bunda Anie (Rohani Din – Singapura)-
Kupeluk pokok pisang di laman rumahmu.
Lingkar tanganku kalah besar dari batangnya.
Kurasakan engkau menjulang di sampingnya.
Bibit kau tanam berharap berbuah berkali-kali.
Kelopak pohonnya kau usap tiap pamit pergi.
Ada angin mengelus helai pelepah pisang.
Dedaunannya melambaiku meminta disentuh.
Terkenangmu bila pisang menerbitkan bunganya.
Ulat keluntum daun menetaskan buah kupu-kupu.
Girangmu menerangkan suka dan cinta tak terkira.
Kupeluk pokok pisang di laman rumahmu.
Ia tumbuh menandai cerita kita bertambah usia.
Aku menjengukmu mengenang masa-masa suka.
Pokok pisanglah tempatku merapatkan kisah lalu.
Aku yakin kau berada bersama tunas-tunasnya.
Peneleh, Surabaya: 09/11/2024
SUATU HARI DI BANYUWANGI
Pernah suatu hari cerah pada akhir Desember.
Aku naik kereta malam gerbong eksekutif.
Tiba di Stasiun Ketapang pukul lima subuh.
Matahari masih sembunyi di balik Pulau Bali.
Hawa dingin campur embun merangkul perasaanku.
Seseorang yang kutunggu menjemputku.
Kami meluncur ke Taman Nasional Baluran.
Berkejaran dengan terik waktu tengah hari.
Aku seolah berladang di sabana milik sendiri.
Memotret panorama hewan-hewan menuai pangan.
Merekam sebatang pungguk digantungi rumah manyar.
Tiba-tiba ada rusa tutul di mukaku.
Tanduknya bagai tiang perahu pinisi sedang berlayar.
Ujung tanduknya ibarat trisula siaga waspada.
1
“Hei, Bro!” sapaku girang pada rusa.
“Tahun lalu kita pernah berjumpa, kan?” lanjutku.
Aku mengambil gambar videonya sambil bergurau.
“Tolong hentikan videomu! Niatmu ke sini cuma membuat konten.
Kau tak sungguh mencintai alam dan lingkungan,”
tanggap rusa bernada marah.
Aku terperanjat setengah ketakutan.
Mungkin rusa ini makhluk jadi-jadian.
“Tidak usah sok kenal!” ungkap rusa ketus sambil
berbalik badan meninggalkanku.
Aku memotret bokongnya yang meliuk-liuk seperti penari balet.
(Maaf, ini konten dewasa. Kategori perbuatan tidak menyenangkan).
Seketika rusa membalik badannya kembali menghadapku.
“Kurang ajar! Hapus foto-fotomu itu bila tak hendak kualat,”
bentak rusa dengan raut geram.
Aku terperanjat dan sempoyongan bagai preman mabuk tuak.
Matahari sengit tepat lurus di atas kepala.
Bayanganku hilang ditilap tubuh.
“Baik, rusa! Saya lakukan perintahmu!” jawabku pada rusa.
“Gen tak tahu malu, tak pula punya adab! Dasar bangsa Fufufafa!”
ejek rusa sembari pergi tergesa-gesa.
Sejak hari itu, kuhapus semua akunku.
Dan aku tak pernah lagi membikin konten.
Peneleh, Surabaya: 20/10/2024
PULAU DEWATA
Aku tak habis terpukau menatapmu.
Tubuh anggunmu terapung landai lautan.
Saat itu kabut embun tipis membalut kita.
Dari Pantai Solong emosiku dililit rindu.
Suatu hari aku bercumbu jejak kepadamu.
Bersaing cinta dengan beragam turis asing.
Bercengkerama dari tribun teater tebing Uluwatu.
Menonton Tari Kecak saat matahari turun redup.
Sedekat jarak apa hubungan kita?
Kurasa aku harus mengukurnya kembali.
Kita akan memulainya dari meja kopi Kintamani.
Sampai tiap inci tiada celah menyelingi.
2
Peneleh, Surabaya: 09/10/2024
RUMAH CINTA KALI CODE
Hatiku mengaliri dasar Kali Code.
Gemuruh biru. Berenang.
Kuselami sampai endapan lahar pijar merah.
Segenangan rindu. Melayang.
Pada jeram sungai kudapatkan perahu kayu.
Rumah rakyatku. Cintaku.
Peneleh, Surabaya: 16/01/2024
BIODATA
Mulyadi J. Amalik, lahir di Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 10 Oktober 1969. Anggota komunitas Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal HIPREJS, Jawa Timur, dan Satupena Sumatera Selatan/Jawa Timur. Kontributor Forum Drawing Indonesia (FDI), Yogyakarta, dan Teater Potlot, Palembang. Menginisiasi antologi Syair-syair Pembelaan Pemuda-Petani Karawang (2008). Pameran puisi-drawing di galeri Rumah Seni Muara, Yogyakarta (2004). Pameran puisi Perjuangan Tanah Surat Ijo di Rumah Peneleh, Surabaya (2024). Menulis dan membacakan puisi-puisi tafsir dari lukisan Arik S. Wartono dalam pameran “Lukisan Yang Berdzikir Arik S. Wartono”, Surabaya (2024). Antologi puisi: Kuburan Bagi Penyair (2004/tunggal); Komposisi Masyarakat Pasar dan Surat Perintah 21 Mei (2000/berdua); dan antologi bersama: Jauhari (2024), Ijen Purba: Tanah, Air, dan Batu (2024), Like (2024), Jakarta, Kota Literasi Kita (2024), Progo 9 (2024), Democrazy (2024), Warna-warni Indonesiaku (2024), Aku Presiden (2024), Duka Tanah Pusaka (2024), Bela Rempang (2024), Rempang Tanah Luka (2024), Jelajah Sungai Menyapa Alam Barito (2024), Tanah Tenggara (2023), Perang Pecah Lagi di Gaza (2023), dan lain-lain.