Ilustrasi: Gede Gunada
asap dari hutan
yang terbakar adalah pohon di hutan
pada tumpukan rimba
asap-asap terbang ke langit yang tinggi
siapa yang melihat akan kegamangan
cahaya matahari liar
segala yang tumbuh hangus
suasana menyerupai kayangan.
keluar dari mulut
membunyikan kebakaran
menyerupai asap rokok
semua terlihat sepi
setelah bersembunyi di sebalik cahaya pagi.
pembakar kayu-kayu
beserta tembakau
semua ucapannya selaras
tak ada yang sanggup menghujat
walau telah terjerat.
yang berterbangan di pucuk daun
api-api yang telah ditiup angin
membawa kabut-kabut yang liar
hinggap di hidung
memenuhi sekolah-sekolah.
sebelum upacara pembakaran dimulai
angin mulai berkeliaran
setiap atap rumah tersingkap
terlihat telanjang
pohon-pohon dalam ingatan pun condong.
berkeluh-kesah hati
di sekujur tubuh yang hangus
mencari seribu titik api yang tersembunyi
membawa ember dan air
menyiram segala yang berasap.
rimbo panjang, 2024
kain penutup matahari
terlalu lama tersimpan
dalam lipatan-lipatan kenangan
bekas sentuhan xi ling-shi
saat ia menemukan ulat sutra
bermain dalam mata
bekas pegangnya terlihat utuh
siapa yang memandang akan terkenang.
kain yang ditenunnya sejak abad ke-27
membalut tubuh yang utuh
sebagai tanda perantau yang melewati laut
segala perantau mengenal sutra
sebelum dijajah lapuk
dimakan waktu dan kenangan.
warna yang dipilih Huang Di
mengeluarkan cahaya
pada setiap sulam berwarna perak
apakah itu kain songket?
atau hanya kain penutup luka?
sebelum pedih datang.
terlalu panas setrika pada kain pemberian
melebihi panas peperangan
di bawah matahari
kain sutra itu menutup dengan lembut
berulang-ulang mengingatnya
sebagai penutup segala manusia.
pekanbaru, 2024
seseorang yang melempar pancing di tepi sungai
setiap kali senja itu tenggelam
air sungai terlihat suram
membasahi matanya yang memandang
terasa kalah dari kota
yang mempunyai tonggak tinggi
membiarkan hutan-hutan mimpi tak bertepi
luka dan mati.
seseorang yang melempar pancing kaku di tepi:
melempar umpan
melempar harapan
melempar peradaban
hanya menangis
mengais sampah
semua melekat pada mata pancing.
angin meniup daun telinganya
yang terasa hanya perasaan
rasa ingin hilang
terus hanyut ke dalam mimpi, lalu lemas.
pekanbaru, 2024
seorang lelaki yang ditinggal kematian
seorang lelaki ketinggalan travel
jam dua belas siang
seorang pemulung menemukannya
saat dikejar hantu
dalam suasana pilu.
yang berlari ke arah lampion
akan ditikam cahaya matanya
membuat segalanya luka
tak sempat membawa obat
sebab mengejar angka waktu.
“apakah ia seorang yang malang?”
hampir tak bisa menaklukkan makna
dari nasib yang tertinggal
sebab travel mendatangkan bencana
saat lelaki itu sedang terburu-buru
roda-roda itu seperti mati
tak berputar
tak menjalar aspal.
lelaki itu terus mengejar
darah gemuruh dalam tubuh bergoncang
matahari pun sudah mengintai dari celah paha
ia tetap tak bernaung
membiarkan tubuhnya terpanggang
sebelum sampai pada liang.
di sekeliling bunyi tangis bayi-bayi
ia teringat anak yang ditinggalkan
sebagai alasan jarang pulang
namun lelaki itu tak sempat menjauhi malang
dari kutukan nasib
tak juga berdamai bersama dunia
yang hampir tumbang.
lelaki itu terus mengejar travel
juga mengejar kata-kata yang terlanjur.
akhirnya lelaki itu dikejar usia
menghimpun pada jalan yang ditargetkan
sebab kehidupan menyimpan taring
ketajaman hidup yang nyaring
yang bersarang di kepala.
rimbo panjang, 2024
rotasi kehidupan setiap tahun
kita mengubur mimpi
di tepian ladang padi
sampai ia tumbuh, pada tahun berikutnya.
roda-roda kendaraan
terus menggilas lahan yang ditargetkan
sambil menimbun rumah yang terbengkalai
juga menebas rerumputan yang menyerupai hutan.
sebagai ucapan salam sebelum pembangunan
menulis pada kertas putih
lambang perjanjian
yang membuat dada kita melepuh
tak ada yang menghempas diri
atau mengeluarkan suara
saat segalanya telah jadi.
tempat tinggal akan jadi perbandingan.
di setiap rintisan waktu
selalu ada bisikan
bukan sekedar bisik mimpi
melainkan pembalut hati yang pilu.
seolah-olah mereka ingin sama seperti rotasi sebelumnya
yang terbakar, mengikuti setiap musim
hanya ada kebohongan
menjelang tahun berputar dalam kepala.
setiap kebahagiaan yang lahir
dihimpit rimbun waktu
kita terus menunggu perubahan
lalu jadi murka.
mengisahkan hal yang sama
dari sebaris catatan api yang menyala dalam diri
seluruh tatapan mata
menghancurkan keraguan yang bermukim.
segala yang ditemui adalah kecemasan
memutar hati serasa digergaji.
padahal di celah peta masih ada
terlihat tanda pemiliknya
wajah pun bimbang
jiwa hangus dibakar keraguan.
lebih menyeramkan pada rotasi tahun sebelumnya.
rimbo panjang, 2023
jeritan budak pulau penyalai
di ujung teluk itu,
hutan-hutan dibantai
tanah-tanah para petani
digerogoti seperti roti
tak ada sesal mereka
perasaannya terus melahirkan keganasan:
“pukimak! orang-orang itu bagai hantu paku.
sembunyi-sembunyi menutupi diri.
saat mak dan bapak kami sedang menanam padi.”
bertahun-tahun tanah kami menuai mimpi
membuat janji
kepada anak-anak yang baru tumbuh gigi
kami tumpahkan doa
sebagai ampunan
sebelum segalanya cacat
mengungkai hal yang belum tamat:
“kami harus memusnahkan dengan nanah, perih, beserta tangisan nyawa.
sebab, kami bukan pemuja yang agung setelah dirampas.”
pekanbaru, 2023
BIODATA
Joni Hendri kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Karya-karya berupa naskah drama, esai, cerpen, dan puisi. Sudah dimuat di beberapa antologi dan media seperti: Jawa Pos, Riau pos, kompas.id, mediaindonesia.com, dll. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.