Ilustrasi: Ignatius Darmawan
MARTELLO DAN PULAU BIDADARI
(Mungkin) bidadari-bidadari dari langit turun via pelangi,
lalu mereka mandi di pantai dekat benteng pertahanan Martello.
(Mungkin) Martello dulu menjadi tempat para bidadari
menempa diri untuk menari-nari bersama elang
dan letusan meriam.
(Mungkin) setiap hari, benteng itu sering menebal,
hingga musuh tak mampu menembusnya,
apalagi hingga menyusup atau mengambil alih tempat.
Kini Martello telah menjadi milik kami,
milik segenap bangsa dan negara kami.
Maka nikmatilah kemerdekaan ini,
meski dahulu kala musti ada darah yang melimpah tumpah
berserakan di seribu pulau Indonesia raya
Jakarta, 2024
DI PULAU PUTRI
Putri yang sedang mematung di tepi laut
Hanya membentangkan selendangnya
Ia tak mampu turun ke pantai
Tak bisa juga terbang ke langit berawan
Putri yang sedang berusaha tersenyum lebar
Seperti ingin menyelam ke laut yang dalam
Ingin melepas senyum dengan terumbu karang
Atau main petak umpet dengan ikan-ikan
Putri yang memakai baju berwarna putih emas
hanya termenung di bawah pohon ketapang
Masih berdiri dan berteduh menunggu siang hilang
Ia tak ingin kulitnya melepuh dan legam
Putri yang tak mau makan ikan bakar
Lebih memilih diam dan terjaga di dermaga
Mengawal hilir-mudik camar tengah berlagak
Sambil menikmati angin dan letusan ombak
Putri yang mirip penari kecak
Sulit berbicara namun sering nampak bergerak
Tangannya terangkat kuat
Tak pernah turun lengah, apalagi menyerah
Jakarta, 2024
TAPI BUKAN DOSAKU
Badanku kelebihan beratnya
Tepat sejak tahun kemarin
Tapi bukan dosaku
Kini aku termakan kerongkonganku
Yang ringan ialah tangan
Mudah bagimu melemparnya
Ke bagian wajah-wajah penuh dosa itu
Tapi bukan amalanku
Mulut kita terus menyulutkan api
Lidah yang tak bertulang
Di geliginya ada tajam pedang
Siap merobek bajumu yang sempit itu
Cianjur, 2024
MAKAN NASI DAN KERUPUK LAYU
Yang tak punya apa-apa
Hanya nasi dan kerupuk yang sudah layu
Bagaimana kau bisa memakan itu?
Dan tanpa garam
Kau coba mengunyahnya
Sebentar saja
Sebab jika terlalu lama dikunyah
Lidah tak mampu bertahan bersilat
Tanpa rasa asin, manis, dan masam
Yang kau makan tidak punya rasa
Selain kehambaran
Seperti hidupmu yang setiap kali
Mencoba berubah
Namun tak kunjung sampai pada
Puncak harapan
Yang kau makan ternyata
Masih bisa disyukuri
Tak peduli tentang vitamin
Atau nilai gizi
Cianjur, 2024
TAK LAGI KENCAN DI SUNGAI
yang sering dibuang ke sungai
biasanya sampah plastik dan
sisa makanan yang tak habis
karena kenyang
atau tulang belulang hewani
yang tak dimakan
karena sulit dicerna lambung
di jembatan lain
seorang pedagang kaki lima
tak menyadari sungai di dekatnya
telah berubah jadi ular raksasa
sungai diracuni
hingga tak ada sesiapa lagi
yang mengencani
Cianjur, 2024
BIODATA
Ihsan Subhan, lahir di Cianjur, Jawa Barat, 2 Desember 1987. Menulis puisi, esai, karya jurnalistik. Karya-karya puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak lokal maupun nasional dan daring. Puisi-puisinya termaktub di puluhan buku antologi puisi bersama penyair Nasional dan Asia Tenggara. Buku antologi puisi tunggal pertamanya bertajuk “Festival Cahaya” (2017). Pernah aktif di Dewan Kesenian Cianjur (2006-2019). Kini masih bekerja sebagai Jurnalis di salah satu media Nasional di Jakarta, dan mengasuh komunitas sastra di Ruang Sastra Cianjur (RSC).
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.