KETERANGAN SAKSI: PTUN Denpasar menggelar agenda sidang keterangan saksi terkait kasus Sengketa Batu Ampar, Jumat, 19 Juli 2024. (Sumber: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Sengketa tanah antara sejumlah Warga Dusun Batu Ampar, Gerogak, Buleleng dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng selalu Tergugat II dalam perkara nomor 16/G/2024/PTUN.DPS kembali memasuki babak baru, Jumat, 19 Juli 2024.
Dua orang warga Batu Ampar dihadirkan Kuasa Hukum Penggugat untuk memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, pada sidang yang digelar hari ini sekira Pukul 10.00 Wita.
Dalam keterangannya sebagai Saksi I, Bambang memberikan kesaksiannya dalam sidang yang turut dihadiri oleh Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) Buleleng selaku Tergugat I, mengaku dirinya menggagas adanya serikat petani, yang tujuannya untuk meneruskan usaha tambak garam keluarganya.
Saat disinggung terkait apakah dirinya mengetahui bahwa penggugat memiliki sertifikat? Bambang mengatakan hanya mengetahui bahwa ada empat orang yang memiliki, namun tidak tahu persis apakah itu termasuk penggugat, ia mengaku mengelola tanah tersebut secara turun temurun sebagaimana SK Mendagri 171.
Bambang juga menceritakan, sejumlah pihak petugas keamanan kerap menghalang-halangi saat dirinya menggarap tanah tersebut, diketahui pihak tersebut merupakan warga kampungnya sendiri.
“Petani sudah mengelola tanah turun termurun, tapi sama pihak hotel keberatan digarap,” ujarnya kepada Majelis Hakim.
Ia juga mengaku bahwa para penggugat yakni, Nawawi, Matramo, Marsito, Samsul Hadi, Jumrati dan Rahnawi rutin membayar pajak, tetapi seketika berhenti ketika pihak Kepolisian meminta untuk kedua belah pihak tidak lagi melakukan aktivitas, pasca alat berat masuk ke lokasi tanah.
“Akhirnya tidak ada pembayaran pajak lagi. 2019 yang terakhir (dirinya membayar pajak, red). Kalau yang mereka (penggugat, red) tidak tahu,” ungkapnya.
Selain itu, disebutkannya bahwa masyarakat pernah mengajukan permohonan ke BPN Buleleng, dimana juga sempat digelar audensi dengan Kakanwil yang mengharuskan semua warga wajib mengumpulkan KTP, saat dilakukan pemeriksaan fisik BPN dan warga menunjukan batas-batas kepemilikan tanah.
Bambang menegaskan bahwa tidak pernah ada larangan baginya untuk menggarap lahan itu sebagaimana SK Mendagri 171, berdasarkan kuasa yang telah diberikan oleh Nyoman Tirtawan kepadanya untuk pengurusan sertifikat atau untuk pengurusan mendapat sertifikat.
Abdul Kodir selaku Saksi II kepada Majelis Hakim mengaku tidak pernah mempunyai surat atau sertiifkat, namun selalu taat membayar pajak lahan yang dikelolanya, dimanfaatkan untuk pertanian yang rutin dilakukannya sampai tahun 2022.
“Lalu saya tidak diberi untuk menggarap. Dari PT Dinasti, tidak diperbolehkan. Tapi tidak ada larangan dari pemerintah daerah, hanya PT tersebut,” katanya di hadapan Hakim.
Dalam fakta persidangan juga terungkap, bahwa tanah yang digarap Abdul merupakan warisan dari orangtuanya, sudah merabas hutan sejak 1955, dirinya juga mengetahui bahwa BPN pernah mengecek dan mengetahui batas-batas lahan masing-masing.
Dikonfirmasi terpisah, Kuasa Hukum para Penggugat, Libriantika Oktaviani Gunawan dan I Wayan Sudiarta menegaskan tidak ada niat pihaknya untuk melawan Pemkab Buleleng, pihaknya memilki dasar kuat dalam mengajukan gugatan mewakili enam petani.
Putusan 59/PDT/2010 dalam putusannya mengatakan tanah negara dikuasai enam orang dalam kelompok 10 ini, dibuktikan saksi bahwa petani itu tanah diperoleh dari tahun 1952, dikuasai oleh enam orang yang berperkara dengan PT Coral dan mengetahui dengan jelas dengan menunjukan batas-batasnya.
“Dari sisi administrasi adalah hak pengelolaan sesuai SK dan secara yuridis di atas HPL ada sertifikat hak milik, dan BPN tetap mengeluarkan,” jelasnya.
Pihaknya menegaskan, bahwa apa yang dilakukan dengan mengaitkan dengan Tirtawan adalah hal berbeda, Tirtawan bertujuan membantu masyarakat.
Sedangkan dirinya adalah legal yang menerima kuasa mengajukan gugatan adalah jelas menguji keputusan yang dikeluarkan BPN.
“Karena ada dua orang yang dikeluarkan sertifikat ini. Dari terbitnya itu kemudian dijual lagi sehingga terjadi tumpang tindih dalam gugatan saat ini,” bebernya. (bp/gk)