PEMBELAJARAN DEMOKRASI: Isu paslon tunggal memunculkan fenomena Kotak Kosong jelang Pilkada Bali 2024, dianggap telah menciderai proses demokrasi. (Ilustrasi: Gung Kris)
TABANAN, Balipolitika.com- Isu kemunculan fenomena kotak kosong di Pilgub Bali 2024 semakin santer terdengar pasca pertemuan santai antara, Ketua DPD PDI Perjuangan, Wayan Koster dengan Ketua DPD Gerindra Bali, Made Muliawan Arya alias De Gadjah, kembali memunculkan pertanyaan publik bagaiamana situasi saat kotak kosong memenangkan Pilkada Bali 2024?
Berdasarkan data hasil poling warganet digagas akun Instagram @jurnalisrakyat pada Kamis, 4 Juli 2024, menunjukan sebesar 77% warganet (rata-rata pengikut akun tersebut) condong memilih kotak kosong, sedangkan 23% warganet memilih duet Koster-Mulia pada poling di akun dengan 22 ribu pengikut itu.
Hal tersebut lantas menimbulkan spekulasi masyarakat, memperkirakan situasi saat kotak kosong memenangkan kontestasi sebagai indikasi bahwa pemilih di Bali mulai mampu melakukan konsolidasi diri untuk melawan oligarki elit partai politik yang memaksa mengusung calon tunggal pada Pilkada Bali 2024.
Wacana kemenangan kotak kosong menjadi buah bibir masyarakat Bali, tak terkecuali Senator RI Dapil Bali terpilih 2024, Dr. Shri IGN Arya Wedakarna, S.E.(M.Tru). M.Si., alias AWK sempat diberitakan sebelumnya, ia meyakini kotak kosong akan memenangkan kontestasi, pada 27 November 2024 mendatang.
Hal tersebut diungkapkan AWK secara langsung saat wawancara eksklusif bersama Balipolitika.com, memungkinkan fenomena kemenangan kotak kosong di Pilgub Bali 2024 bisa saja terjadi melihat adanya dinamika politik di lapangan, terkait dorongan sebagian besar masyarakat yang menginginkan adanya perubahan struktur di pemerintahan Bali kedepan.
“Ketika memang benar kotak kosong itu terjadi di Bali, saya bisa pastikan yang akan menang adalah kotak kosong. Sepertinya akan kearah situ, karena titiang (saya, red) banyak ngobrol dengan relawan dan tokoh politik, apalagi ada muncul gerakan asal jangan si anu. Itu mungkin (kemenangan kotak kosong, red) saja terjadi dan banyak daerah yang justru kotak kosong menang seperti di Sulawesi,” sentil AWK, dikutip pada Rabu, 12 Juni 2024.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika memang fenomena kemenangan kotak kosong itu terjadi di Pilkada Bali 2024 memungkinkan untuk Pj. Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya kembai menjabat sebagai periode 2024-2029, bukan tanpa alasan karena jika kemenangan kotak kosong di suatu daerah itu terjadi, mengharuskan pemerintah di bawah komando Presiden RI terpilih 2024, Prabowo Sunianto melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menunjuk langsung pejabatnya.
“Oh bukan, bukan pilkada ulang kalau kotak kosong yang menang. Seperti kejadian di Sulawesi, di sana ada kotak kosong menang pemerintah langsung menunjuk 5 tahun Pj (Penjabat, red) untuk memimpin dan saya berharap itu terjadi, kalau memang dosa-dosa politik ini terus dipaksakan di Bali,” tegasnya.
Fenomena kotak kosong jelang pilkada berkaitan dengan konfigurasi kekuatan partai politik, membawa pengerucutan pada dukungan atau pemberian rekomendasi untuk calon kepala daerah yang akan diusung.
Masalahnya, ketika konfigurasi partai politik di suatu daerah hanya memunculkan satu calon kepala daerah yang mendapat semua dukungan partai politik sehingga memunculkan calon tunggal.
Munculnya calon tunggal tentu tidak baik bagi demokrasi tingkat daerah, sebab rakyat hanya dihadapkan pada pilihan untuk memilih atau tidak memilih calon.
Pemilihan Ulang jika Kotak Kosong Menang?
Mengutip dari laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk memenangkan pilkada, pasangan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50% dari suara sah.
Apabila perolehan suara tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Perlu diketahui, sarana yang digunakan untuk memberikan suara pada pemilihan 1 pasangan calon menggunakan surat suara yang memuat 2 kolom yang terdiri atas 1 kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 kolom kosong yang tidak bergambar.
Dalam hal perolehan pada kolom kosong atau yang lebih dikenal dengan sebutan kotak kosong lebih banyak, berlaku Pasal 25 ayat (1) dan (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon (PKPU 13/2018) yang mengatur:
- (1) Apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto Pasangan Calon, KPU Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan penyelenggaraan Pemilihan kembali pada Pemilihan serentak periode berikutnya.
- (2) Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terdapat judicial review melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XVII/2019 terkait frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) dan (3) UU 10/2016 yang berbunyi:
- (2) Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.
- (3) Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 menunjukkan adanya 2 pilihan bagi KPU dalam menentukan waktu pemilihan kembali kepala daerah dalam hal pemilihan yang diikuti satu pasangan calon belum menghasilkan pasangan calon terpilih, yaitu:
- Pemilihan berikutnya dilaksanakan pada tahun berikutnya, yang artinya dilaksanakan satu tahun kemudian setelah pemilihan yang diikuti satu pasangan calon tidak berhasil memperoleh pasangan calon terpilih; atau
- Pemilihan berikutnya dilaksanakan dengan mengikuti jadwal yang telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan in casu Pasal 201 UU 10/2016.
Mahkamah Konstitusi menegaskan pemilihan ulang dapat dilakukan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan yang diserahkan ke KPU sebagai penyelenggara pilkada.
Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Terkait belum ada paslon tunggal yang terpilih dan pilkada dimenangkan kotak kosong, KPU berkoordinasi dengan kementerian dalam negeri menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota untuk menjalankan pemerintahan.
Dalam hal KPU memilih untuk menyelenggarakan pilkada serentak berikutnya sesuai jadwal yang telah ditentukan, berlaku Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016.
Jadi sesuai masa jabatan kepala daerah dalam satu periode kepemimpinan selama 5 tahun, maka daerah dengan calon tunggal yang gagal akan dipimpin penjabat yang ditunjuk selama 5 tahun.
Perlu dicatat, penjabat yang ditunjuk memiliki kewenangan terbatas dan tidak dapat memutuskan kewenangan strategis. (bp/gk)