Ilustrasi: Ni Putu Sunindrani
Daun Kering Terselip Pada Lipatan Buku
Daun kering terselip pada lipatan buku
Aku menjalani hari-hari yang penuh dengan kemuraman
rasa terasing, lelah, dan tulisan yang tak selesai
Di luar ada percakapan seorang nenek, calon pencuri yang mondar-mandir
sebuah prasangka buruk dan tulisan jelek yang tak mengandung makna apapun
Tapi biar kutitipkan di sini kegelisahan
Biar mengalir seperti sungai yang tak pernah kering sepanjang usia
Daun kering masih terselip pada lipatan buku
Dan aku akan mati bersama pulpen dan kertas di sisiku
Cara Kesepian Bekerja
Seperti itulah cara kesepian bekerja
Perlahan menggerogoti hati demi hati
Jangan harap kita bisa mudah terlepas
Udara Jakarta, langkah orang-orang yang kalah
Tangisan bayi di pemukiman kumuh panjang menggema
Membetot imajinasiku sendiri
Di bawah matahari kita adalah kemungkinan yang merdeka
Kepak sayap burung, balon udara, kesegaran embun
dan percakapan dua hati di persimpangan jalan
Aku memilih kesedihan sebagai kawan
Kau memilih kesepian sebagai teman
Kita adalah riak air dengan gelombang yang lemah dan tenang
Kita tak tahu dengan perasaan kita sendiri
Perasaan burung-burung
Perasaan kata-kata yang hampir habis
Dan tulisan yang tak pernah selesai
Untuk dipahami, dimengerti, dan ditafsiri seorang diri
Burung-Burung Sore Itu
Burung-burung sore itu berkelompok terbang rendah
Bertengger di puncak pohon jambu yang tabah
Udara menjadi dingin
Angin perlahan meniupkan ingin
Di jiwaku pula percakapan burung terdengar samar
Adakah cinta yang menyamar?
Kenangan tentang ibu, sore hari yang murung
Dan anak kecil yang dituntun waktu, dituntun oleh kehilangan dan rasa rindu
Burung-burung sore itu berkelompok terbang rendah
Sedangkan kenanganku tersesat hilang arah
Kau Adalah…
Kau adalah siluet jendela yang jatuh di kamar tidurku
Kau adalah debu-debu tipis yang melayang dari kenangan yang dikeringkan
Kau adalah lembaran daun pisang yang dibentangkan untuk acara makan bersama
Kau adalah sisa tinta dari jari-jariku yang dingin
Kau adalah keriangan anak kecil saat bermain
Kau adalah kecemasan seorang ibu yang menunggu anaknya pulang
Kau adalah kesedihan dan kebahagiaan seorang ayah yang ditinggal anaknya menikah
Kau adalah doa-doa yang dipanjatkan para sufi sebelum mereka mabuk puisi
Kau adalah yang tak terkatakan dengan sempurna
Di Pelataran Masjid Amir Hamzah
Di pelataran Masjid Amir Hamzah
Pohon angasana melambai di teduh kesejukan yang jatuh
Kolam ikan yang indah, lantai kayu yang basah
dan orang-orang yang menghadap Tuhan dengan pasrah
Tujuh pohon angsana berzikir, adakah cinta akan berakhir
Seorang penyair terasing dari dirinya sendiri
Dan di Masjid Amir Hamzah ia merindukan uzlah
Menyatukan saktah pada diri yang Lelah
Di Samping Patung Ismail Marzuki
Marzuki melihat senja dan kota yang belum selesai
Ia memegang biola lalu mati dan hidup dari sana selamanya
Senja dan Ismail Marzuki adalah tanda yang telah selesai
Pohon-pohon jauh, bunga kamboja berwarna kuning, planetarium, tangga,
dan orang-orang yang sibuk dengan dirinya sendiri
sebagaimana penyair yang sendiri dengan kata-kata dan kotanya
dengan kata-kata dan kesedihannya
Kemudian ia tersadar sedang berada di tempat asing
Sambil menikmati kemungkinan-kemungkinan hidup yang belum selesai
BIODATA
Juli Prasetya, penulis asal Banyumas, sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung Juli Prasetya. FB : Juli Prasetya Alkamzy.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri.