Ilustrasi: Handy Saputra
ANAK MANUSIA
kita lama menangis
air mata tenggelamkan bulan
dengan dusta mulut ular
kita sedu sedan tuhan.
LANGKAH MATAHARI
seperti langkahmu langkah matahari yang meniti
jembatan tua di balik kabut beku bimbang menuju
ambang remang, dunia dengan jangkar-jangkar
muram melepas langkah lelahnya yang ngantuk
dan putus asa. seperti langkahmu dalam kendali
sabda dusta di balik jubah hijau api ujung pulau,
seperti langkah kita seperti langkah yang kita
dengar di alam tidur, langkah matahari langkah
yang menuju laut darah, darah kita darah yang
bersumber dari gunung-gunung masa lalu
yang tertimbun reruntuhan tahun-tahun ngungun.
SUKMAKU YANG LAPAR
dalam pusar angin kasar
sukmaku yang hijau menunggang
kucing hitam dan selusin
lembu jantan pergi ke padang mayat
mencari akar sejarah, mencari
sumber mata air mata kucing
mata tengkorak yang memancar
sungai samar.
sukma yang digembala angin
sukmaku yang hijau haus dan lapar
metafora basah, sukma yang lama
menggelepar di selasar altar gelap
di ranting kering pohon abadi.
beri aku lidah mayat
beri aku 100 mata malaikat
beri aku air murni dari kelopak api
biar tunduk haus laparku
dalam pusar angin dalam hidup
1000 tahun menunggang
kucing hitam dari liang kuburan.
REFLEKSI ILUSI
tidurmu tak datang, hanya malaikat mainkan
bayang dua kelelawar di atas perapian,
dan sebutir pil jatuh, mengukur kedalaman sumur.
tidurmu tak datang, hanya matahari lewat
belakang matamu, yang tertidur sebuah kamar,
menganga menanti biji peluru meluncur dari
penjuru yang tak disangka, dan kau tahu
topeng yang kau pasang masih melekat di
muka, dengan motif mawar dan naga api,
darinya satu tembang mengambang
mengalun ke liang kubur
menggantikan tidur yang tak datang.
TEMBANG SUMBANG
aku kembali ke pecahan suara siang hari
ke kota yang meledakkan tembang politik
ketika aforisma sepasang cahaya pudar
sebelum nujum murung meledak pada dadu
dan rayap api menggilas jejak tanganku
seperti peziarah menghapus langkah di
dasar sungai, seperti kaki bimbang tiang
rumah tua memudarkan sejarah keluarga,
aku tidur di puncak tertinggi menara api
mabuk ceracau kapal besar ujung pulau
khusuk dalam demam bintang-bintang
tubuhku membentuk makna, salib bagi
kekosongan, lorong lengang bagi luka
masa silam sebuah bar dan distro muram
kini siasat yang melekat di pangkal kuku
tuntas dalam ledakan sebelas peti besi
untuk kera yang mati demi jukstaposisi.
BISIK KELUHMU
subuh, lagu yang patah nyenyak di gigir
tidurmu, azan diam dalam mata ikan
menunggu suara masa lalu dari dasar sumur.
kita telah lama meninggalkan warna rumah,
mencatat pucat wajah usiran, menghitung
luka kota yang terpahat di jembatan tua.
siapa bernyanyi? bukan suara dari kukumu,
nada kita retak dalam bayang tower kesepian
lagu kita menjelma rama-rama
menyusuri titian batu hitam sepanjang usia duka.
kau dengar mawar tidur mendengkur.
kudengar bisik keluhmu yang hitam memanjang
seperti sungai yang diam-diam pergi,
seperti selat meninggalkan gigil pulau
hanya sisa lenguh samar di balik nanar fajar
dan nafas yang membekas
di lereng insomnia
meledak menghamburkan aroma waktu
yang begitu menyengat.
LAGU PESTA II
roh burung menangis
di tikar hitam menjelang pagi
kita dan hantu adu ngigau
di tatal api altar bata.
roh kita dan roh burung
ketemu di pintu mimpi
ruang ditinggalkan tuhan
hanya sabda tergoda ganja.
diam dendam!
dengar kelepak gaib
di ujung malam muka gang
kita sedang pesta
roh yang papa lagi dansa.
chachacha… chachacha…
sungai dan laut kita minum
k’rena di surga tak ada alkohol.
malam beringsut
lumut di tubuh bulan
rontok ke meja buddha.
JAMUR DI KEPALA
jamur di kepalaku dan dua butir peluru
.45 cal geletak, seseorang bunuh diri sejam lalu
di bawah jendela, usai neraka dilontarkan
ke gerbang purba, usai kucing mandul
merangkak ke tebing tidur.
kita akan mati bercinta, setelah ekstase api dan
ritus laba-laba memutari pinggul kita.
kita akan bangkit lagi setelah musik psikedelik
dimainkan, bom atom meledak di nisan kera jantan.
oho! dewa maut yang keras kepala.
kita tak butuh tangan pengertianmu
saat gelap hinggap, saat burung pergi ke
sarang nujum, saat berahi putus asa kesekian kali
kita akan selalu bertemu:
di bening gelas kaca, di jarum surgawi alirkan
kenikmatan dusta, di serbuk bunga yang musnahkan
banalitas identitas, di sesak asap tanur yang kita
bakar dari tulang-belakang moyang barbar.
dan darahku, ini seorang lelaki yang tak lagi
kanak, dengan jamur di kepala berjalan menuju
tiang gantungan.
BIODATA
Kim Al Ghozali AM, lahir di Probolinggo 12 Desember 1991. Telah menerbitkan beberapa buku. Salah satu bukunya, Rock Alternatif di Telinga Kirimu (2020).