Ilustrasi: Gede Gunada
Aroma Mimpi
Segumpal bara menyala dalam tidurku
Dia menjilati seluruh tubuh
Dan menjadikan abu bagi sesiapa yang kulaknati
Bunga tidur berbau raflesia
Dia lebih wangi dari kamboja kuburan
Lebih mematikan daripada kematian
Suara malaikat berbisik:
“Bangun, Nak. Telah kusiapkan sepiring kitab
dengan segala jenis mantra-mantra. Telanlah.”
Pagiku akan lebih melelahkan rupanya
Kuhisap aroma mimpi agar ia melekat
Bersama darah menyatu dalam tubuh
Sepanjang langkah kaki
Aku hanya melihat dua nama jalan
Apa harus kubuka tiap halaman berisi mantra-mantra?
Atau berlalu saja menuju jalan yang hingar-bingar.
Di situ aku tak perlu membeli senyum seseorang
Cukup kunyalakan bara tubuhku
Dia akan menyalakan birahi.
Kecombrang
-menuju rumah nenek-
Kecombrang ranum
Merekah di sudut halaman
Mengajakku kembali
Dalam lembar ingatan kanak
Senyum menyambangi wajah nenek
Candu dari semerbak aroma khas tubuhmu
Binar rindu membuncah di ujung lidah
Kecombrang
Senyum nenek tertinggal di sana
Aku mengambil ingatan dari tubuhmu
Menjamah sisa cerita yang terburai
Di antara rona wajahmu
Ah, kaulihai mencipta belenggu
Kau tak lencir, kecombrang!
Tangan nenek lihai menari bersamamu
Meninggalkan jejak untuk kusambangi
Di altar mimpi ketika rindu mengetuk
Bukan untuk kunikmati sendiri
Hanya melihat senyum dari keriput
Di tubuh renta yang mencipta rasa
Perjalanan masa kanak
Satu Dasawarsa
Aku merapalkan syair
Menyusuri belantara hatimu
Mengguncang pilar-pilar jiwa
Geliat membuncah menuju altar sakral
Bertaut memenuhi segala ingin hati
Di antara lentera yang menyibak jelaga
Juga luka yang terlanjur menganga
Tangis menganak sungai
Di ujung keriput bibirmu
Kauhidangkan sejuta rindu memabukkan
Lirik perih hanya jejak yang tertinggal
Di halaman usang berdebu
Memintal satu dasawarsa cerita
Menangguk jejak tertinggal
Di sela-sela jemari tanganmu
Rindu masih tersimpan di sana
Mengunci katup-katup hatiku
Langkah kau dan aku
Telah tiba pada satu dasawarsa
Dalam restu semesta kau menjelma sajak
Puisi yang tak pernah usai
Menyulam kisah dari air mata dan tawa berdua
Menjamu Rindu
Bibirmu menjamu rindu
Deras telaga birahi
Kauhanyutkan sisa percakapan
Malam membawa pulang
Sisa puisi yang menempel di putingmu
Keringat kita berkelindan
Hingga kaulupa bau tubuhmu
Kaupetik denyar di bola mataku
Melumatnya memenuhi dahaga
Rinduku rebah di ujung lidah
Memeram derai keringat tubuhmu
Menyesap tiap luka yang kauhadiahkan
O, mimpi yang terjaga di sudut kelam
Bawakan aku secangkir rindu
Yang telah kaucicipi hingga tandas
Di meja aksara menjadi bisu
Aku menyusuri benih kepalamu
Yang ditumbuhi rimbun puisi
Sepasang matamu menujum arah langkahku
Mereguk mimpi yang telah kutatah
Di atas paras wajahmu
Secepat bayang kau menutup pintu muasal
Meninggalkan sisa puisi
Yang tumbuh di belantara jiwaku
Paradoks Gagak
Kepak sayap sepekat jelaga
Tajam matanya menghunjam dada
Lengking suara membawa berita
Bukan denting kematian atau pilu cerita
Barangkali ia sedang mencari cinta
Terbang di atas gubuk renta
Tabuh lesung dari tangan ibu tua
Meninabobokan rasa jumawa
Ketika tiba Sang Pemberi Tanda
Menyanyikan lagu kematian dengan iba
Bukan! Aku bukan Sang Pencabut Nyawa
Aku hendak menjenguk semerbak aroma
Yang tertinggal di rimbun fatamorgana
Kupersembahkan kepada tuan penghuni surga
Untuk menghujani ruh yang dahaga
Tubuhku ditahbiskan jelaga
Bukan lonceng menuju surga atau neraka
Ruh siapa yang hendak kusajikan pada mereka
Para iblis dan malaikat mengintip di balik tawa
Mereka saling menatap seakan aku tubuh tanpa nyawa
Lalu siapa yang menjemputku dari dunia fana?
BIODATA
April Artison lahir di Tuban, Badung, Bali, 12 April 1991. Sejak SD dia telah aktif mengikuti lomba baca puisi. Ketika SMP hingga SMA aktif di dunia teater dan mengikuti lomba baca puisi dan pidato. Tahun 2007-2008 pernah mengikuti beberapa pementasan teater dan lomba monolog. Sempat vakum beberapa tahun, kemudian sejak 2015 mulai aktif kembali bersastra dan berteater. Pada awal 2016 dia membaca puisi di Singapura dalam acara “Temu Penyair 5 Negara Asean”. Puisi-puisinya dimuat dalam buku “Klungkung; Tanah Tua Tanah Tanah Cinta” (2016), “Saron” (2018), “Di Altar Catus Pata” (2022). Buku puisi tunggalnya berjudul “Renjana” (Pustaka Ekspresi, 2023). Dia juga aktif dalam beberapa pementasan teater, antara lain pentas dalam Parade Monolog serangkaian Festival Seni Bali Jani IV (2022).
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.