DENPASAR, Balipolitika.com– Sidang perkara pidana dengan terdakwa dr. Shillea Olimpia Melyta memasuki babak akhir dengan agenda putusan, Selasa, 25 Maret 2025.
Sidang yang dipimpin oleh I Putu Agus Adi Antara, S.H., M.H. itu dihadiri oleh I Wayan “Gendo” Suardana, S.H., M.H, I Wayan Adi Sumiarta, S.H., M.Kn., dan I Komang Ariawan, S.H., M.H dari Gendo Law Office.
Perkara ini bermula pada Rabu, 14 Februari 2024 saat terdakwa bersama perawat membawa ambulans lengkap dengan peralatannya datang ke rumah korban Jamie Irena Rayer-Keet untuk melakukan pemeriksaan on call.
Terdakwa sudah menawarkan agar korban dirujuk ke rumah sakit dan melakukan lab tes, namun permintaan tersebut ditolak oleh korban.
Karena korban mengerang kesakitan, terdakwa memberikan injeksi obat antrain dan injeksi tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pihak korban.
Usai diinjeksi obat muncul alergi akibat dari pemberian obat tersebut dan langsung ditangani oleh terdakwa dengan memberikan injeksi obat anti alergi ke korban.
Setelah menginjeksikan obat alergi, terdakwa memastikan keadaan korban sehat dan baik-baik saja, baru setelah itu terdakwa meninggalkan rumah korban.
Dalam putusannya, majelis hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 440 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan.
Terdakwa divonis dengan denda sebesar Rp40.000.000 atau empat puluh juta rupiah.
Yang paling mengejutkan dari Putusan Majelis Hakim PN Denpasar tersebut adalah majelis hakim mengesampingkan Pasal 308 ayat (5) mengenai perlindungan hukum bagi dokter yang ada dalam Undang-Undang kesehatan.
Majelis Hakim PN Denpasar dinilai mengesampingkan pasal tersebut dengan pertimbangan bahwa dalam proses peradilan pidana, hukum acara secara umum dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika proses penangkapan, penahanan terdakwa tidak sah, maka perilindungan hukum bagi terdakwa adalah melakukan praperadilan sehingga pada poin tersebut.
Merespons vonis denda Rp40.000.000 atau empat puluh juta rupiah terhadap dr. Shillea Olimpia Melyta, Penasihat Hukum terdakwa menilai sudah terjadi manipulasi hukum dalam putusan.
Lebih jauh, pertimbangan hakim mengenai unsur kelalaian pada pokoknya Majelis Hakim PN Denpasar menimbang bahwa korban saat diperiksa terdakwa menyatakan alergi ibuprofen dan aspirin yang merupakan golongan obat Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID).
Saat itu korban sudah menolak diinjeksi dengan obat antrain, tetapi terdakwa tetap menginjeksikan obat antrain sehingga menyebabkan korban alergi dan sembab di wajah.
Terkait hal itu, Gendo menanggapi pernyataan majelis hakim.
“Korban sudah menolak diinjeksi dengan obat antrain, tetapi terdakwa tetap menginjeksikan obat antrain adalah pertimbangan yang manipulatif karena dalam pemeriksaan terhadap saksi korban tidak pernah sekalipun korban menyatakan bahwa dia menolak diinjeksi antrain. Selanjutnya, fakta ini bertentangan dengan bukti surat persetujuan (informed consent) untuk menginjeksikan obat kepada korban. Yang telah ditunjukan dan diperiksa di depan persidangan,” tegas Gendo.
Fakta yang terungkap di persidangan korban menyatakan pada intinya dia baru tahu bahwa terdakwa menginjeksi antrain setelah memfoto orat-oret rekam medis dan meminta pendapat dari dokter korban di Singapura.
Di sana baru dia tahu bahwa dia diinjeksi antrain dan dikatakan menyebabkan alergi.
“Di depan persidangan korban tidak pernah menyatakan kalau dirinya dari awal menolak diinjeksi antrain. Lalu dari mana hakim mendapatkan keterangan itu? Itulah manipulasinya majelis hakim,” tegas Gendo
”Kami berani adu cek rekaman persidangan dengan majelis hakim. Ayo tunjukkan di menit ke berapa saksi korban menyatakan menolak diinjeksi antrain dan terdakwa tetap menginjeksi korban?” tantangnya.
Lebih jauh, mengenai unsur terbuktinya luka berat, Majelis Hakim PN Denpasar berpendapat bahwa unsur ini terpenuhi karena dinyatakan bahwa berdasarkan keterangan ahli dr. Yudi Sp.F.M (ahli forensik Penuntut Umum) akibat dari injeksi antrain terjadi syok anafilatik dengan sebab di wajah, sesak nafas, dan tensi 50.
Keadaan itu dapat berpotensi menyebabkan kematian, walaupun korban sudah dirawat dan berangsur pulih.
Atas pertimbangan tersebut, Gendo menanggapi bahwa pertimbangan hukum majelis hakim juga sangat tidak berdasar ilmu hukum mengingat dalam hukum pidana terdapat larangan analogi.
“Jika Hakim menyatakan bahwa “berpotensi menyebabkan kematian” padahal senyatanya sudah juga dinyatakan korban dirawat oleh terdakwa dan berangsur pulih, maka pertimbangan “berpotensi” bentuk analogi dan itu bertentangan dalam hukum pidana. Apalagi korban sudah dalam keadaan pulih atau stabil karena dirawat dokter,” sentil Gendo.
Selenjutnya, pertimbangan majelis hakim bahwa korban mengalami sesak nafas juga adalah pertimbangan yang tidak berdasar.
Hal itu dinyatakan oleh keterangan saksi Alain David Dick-Keet (suami korban) dan korban sendiri tanpa ada alat bukti lain yang mendukung dan berkesesuaian.
Keadaan sesak nafas juga dibantah oleh saksi Putra yang merawat korban dan senyatanya kondisi korban sudah stabill.
Buktinya, setelah dirawat oleh terdakwa, korban juga tidak ada perawatan lain karena kondisinya stabil tanpa sesak.
“Pada visum et repertum tidak ditemukan kondisi sesak nafas yang mengancam jiwa. Keadaan itu sangat jauh dari unsur luka berat sebagaimana yang dimaksud pasal 90 KUHP,” ungkap Gendo.
Berdasarkan hal-hal yang diterangkan Gendo tersebut, GLO menilai putusan Majelis Hakim PN Denpasar tersebut adalah putusan yang manipulatif.
“Kesimpulannya putusan ini tidak masuk akal, tidak berdasarkan hukum dan ilmu hukum, dan memaksakan kehendak dengan cara manipulatif,” tutup Gendo. (bp/ken)