DUNIA TERASA cepat berputar, tak bisa dipungkiri, anak-anak sekarang lompatannya jauh melebihi kita. Seperti itulah kisah yang pernah terjadi. Hari ini pagi buta kami mengantarkan keberangkatan si bungsu ke bandara untuk selanjutnya ia akan terbang ke negeri orang. Baru sekarang aku benar-benar rasakan dunia itu berputar, bahkan melesat jauh lebih cepat dari perkiraan. Mau bagaimana, kalau tidak kita yang mengatakan diri sudah terlampau cepat menjadi tua. Warna rambut pun sudah memutih di sana-sini, gigi tinggal pangkal, pandangan mulai memudar. Belum lagi langkah terkadang sedikit sempoyongan. yang lebih parah lagi adalah sang pikun perlahan-lahan mulai mejangkiti pikiran.
Contoh penuaan itu bermacam-macam, salah satunya ketika kacamata yang ada di kepala, kita cari ke sekeliling rumah. Membongkar almari, meja, bahkan sampai ke sudut kamar mandi pun kita cari. Saya benar-benar lupa pula kalau kacamata itu sejak subuh menempel dengan sepasang gagangnya yang manis sudah menjantol di kedua sisi atas daun telinga.
“Eh, ayah, disalamin tuh anak kita, sudah waktunya berangkat,” ujar Mira sembari menyenggol lenganku. Si bungsu memeluk bahuku, tak kuasa menahan getaran dada. Terasa betapa lebih kekar cengkeraman tangannya. Si bungsu yang dulu berada dalam gendongan mamanya, yang masa kecil dulu pergi ke mana pun selalu ngekor. Tidak bisa dan tidak biasa pergi sendiri tanpa ditemani ayah dan ibunya. Kini keadaan sudah berbeda. Aku tak menyadari atau barangkali waktu yang telah berputar demikian cepat. Si bungsu bagiku seolah masih seperti anak kecil, serasa tak percaya terkadang, anak yang dulu masih berada dalam gendongan kini bepergian sendiri. Begitu cepatnya menjadi dewasa. Pada Mira dia meminta untuk ditepuk sedikit pupuk bagian batok kepalanya, sudah menjadi kebiasaan untuk mohon doa restu. dan setelahnya kami sama-sama menangis. bukan menangis kehilangan. Ini tangis paling bahagia yang kami rasakan setiap menangisi sebuah kepergian akan seseorang menuju gerbang cita-cita. Tangis bahagia yang mengantarkan pada satu masa yang belum bisa diukur sampai kapan airmata mampu menghantarkan doa hingga benar-benar terwujud.
“Hush, sudah! hapus itu airmata cengeng. Banyak yang melihat,” ujarku pada Mira sambil menyodorkan saputangan. Istriku menerima dan menyeka sudut matanya yang berlinang air bahagia. Sejenak sudah lepas penglihatan dari bagian punggung hingga ujung matakaki si bungsu yang melangkah menuju gerbang keberangkatan, hingga punggungnya benar-benar menghilang bersama para penumpang lainnya. Kami memilih tempat duduk yang berbeda dari biasanya. Daun-daun sekitar yang melambai tentang kasih sayang dan secangkir kopi menemani hangatnya teh Mira yang membuat kebisuan cair sesaat. Larut dalam percakapan. Tentu saja harus ada yang memulai untuk mengisi kekosongan ini.
“Jalannya waktu seperti tak terukur oleh usia kita,” aku memancing.
“Hmmmm…” Mira antara mendengar dan tidak. Sembari menyerudut teh hangat, matanya menatap dengan pandangan kosong ke depan. Suara deru pesawat sesekali memecah udara yang sesaat sepi. Langit angkasapura tak pernah senyap oleh deru mesin burung terbang. Hingar beberapa pengantar berseliweran lalu-lalang di depan kami, tidak membuat Mira terpengaruh untuk melemparkan pandangan. Selain tidak ada orang-orang yang kami kenal, untuk ukuran jam begini terkadang selimut lebih akrab di tempat tidur.
“Hei, dengar apa yang aku ucapkan?” aku memancing lagi.
“Tentulah, dan pasti ayah akan bercerita tentang jam kantor yang rapat sekali alurnya dibandingkan dengan jam kerja di rumah. Waktu bergurau yang semakin sempit atau…..” Mira mulai terlihat memicingkan mata, suatu kebiasaan yang mudah untuk ditebak. Semudah ia menemukan jawaban selama ini, kenapa dan apa yang akan membuat dialog ini menjadi berkepanjangan. Memulai cerita tentang tanah rantau yang membuatnya terdampar di kota ini. Kota yang sesungguhnya lugu dan impian-impian yang terbentuk diantaranya mampu menguasai dan mencengkeram kota ini. Ambisi yang semata-mata lebih mematangkan emosi terpendam.
“Atau cucian yang terendam lama hingga berubah warna karena suntuk dengan perbincangan, teman-teman yang silih berganti datang bertamu hanya untuk melepas kepenatan” tangkisku cepat.
Mira mulai bisa tersenyum.
“Namun bagaimanapun juga, aku sedikit merasa terbebas dari kesibukan bumbu-bumbu dapur, seperti satu kebiasaan setiap pagi harus menyiapkan anak-anak sarapan, bekal jajan ke sekolah dan memberi nasihat-nasihat usang yang bagi anak-anak terkesan menggelitik telinga,” Mira berkata pelan sambil merentangkan ke dua tangannya ke atas.
“Itu masa-masa ketika mereka masih kanak-kanak. Saat merasakan nafas-nafas kehidupan masa kecil, dan kita menjadi bagian yang tak terpisahkan. Betapa kita seperti merasa dibutuhkan sekali,” jawabku.
“Ah, tidak seperti itu, yah. Kinipun mereka masih merupakan bagian dari kehidupan kita,” Mira menyela. Tidak setuju dengan apa yang aku ucapkan.
“Iya, hanya saling berjauhan,” jawabku
“Tapi kerinduan seperti itu lebih berarti,” jawabnya cepat.
“Kamu tidak rindu kampung halaman?” aku mengalihkan pertanyaan.
“Rindulah. Sekian lama kita meninggalkan kampung halaman. Sejak menikah sampai sekarang anak-anak sudah tidak menjadi bagian dari kehidupan kita di rantau, bahkan mungkin malah anak- anak yang akan memperkenalkan kembali kampung halaman kita yang telah hilang,” jawab Mira.
“Aku tidak terlalu rindu”
“Lho?”
“Atau karena aku terlalu melankolis dan terlalu mudah punya rasa dendam, sehingga keinginan untuk pulang itu telah sirna.”
“tidak merindukan masa kecil ketika di kampung dulu?”
“Hmmmmm….”
“Tidak pula rindu Ibu?” Mira memancing.
“Entahlah….”
“Atau karena kata-kata adikmu yang membuatmu berubah pikiran?” Mira lebih menyudutkan lagi arah pertanyaannya. Ya, sejak ada sedikit perselisihan mengenai cara berpikir saudara-saudara serta anggapan pulang hanya karena untuk harta warisan, pikiranku jadi tidak tenang. Apakah hanya karena warisan yang tak seberapa membuat anggapan bahwa kepulangan saudaranya yang terlalu lama di tanah rantau akan menjadi semacam ancaman? Bahasa pulang adalah sesuatu yang menyenangkan. Akan bertemu ibu, bertemu saudara-saudara yang bagiku dalam sekian jam perjalanan untuk dapat menuntaskan rindu. Bahkan mungkin enggan untuk kembali ke tanah rantau ketika merasakan senda gurau semua saudara yang jarang sekali punya waktu untuk dapat berkumpul.
Terkadang kalau pulang, hal pertama yang aku bayangkan adalah sosok wajah tua berkeriput membukakan pintu dan bertanya, : “apa kabar,nak? Sehatkah kau di rantau?”
Dan terkadang aku berusaha untuk dapat memeluk tubuh ibu, kendati tidak harus mencium wajahnya, paling tidak dengan menyentuh tangannya yang sudah mulai berkeriput, sudah mewakili rindu yang terpendam selama ini. Setiap malam aku selalu mendoakan agar ibu tetap sehat, walau sesungguhnya jarang jari tangan ini menyentuh angka dalam handphone genggam untuk berlama-lama berbicara. Jari tangan yang terkesan malas untuk menyentuh angka kerinduan yang menghubungkan pada telpon seluler milik ibu. Aku lebih suka memilih untuk duduk berlama-lama bertatapan langsung dan mendengarkan suara ibu. Bagaimana ketika ibu bercerita tentang hari tuanya yang butuh teman. Dan telinga ini selalu akan setia mendengarkan sampai satu-dua cerita yang sama berulangkali akan beliau ucapkan. Ah, kerinduan ini demikian berjarak saat aku membayangkan wajah ibu yang kuyu. Entah lagi apa ibu sekarang.
“Barangkali dengan pulang dan suntuk di rumah akan dapat menjadi ancaman buat mereka. Itu terlihat dari perubahan sikapnya,” jawabku sambil menerawang. Ingat perkataan tersebut darah ini seakan berhenti mengalir, lupa aliran mana menuju jantung, arah mana menuju syaraf atas jalannya ingatan. Atau akan terhenti sama sekali. Buntu. Dan Mati.
“Ayah tidak rindu kampung halaman?” sekarang Mira membalikkan apa yang sudah aku tanyakan barusan padanya. Tepatnya menegaskan. Aku menatap dengan tatapan tajam. Kampung halaman seperti sebuah sorga ketika bisa pulang dengan membawa berbagai perbekalan. Membawa oleh-oleh cerita bahagia tentang tanah rantau. Terlebih kesuksesan di rantau ditularkan di tanah asal.
“Sedikit rindu dan sewaktu-waktu, ketika teringat wajah ibu. Akan lebih berarti kerinduan itu, manakala aku sudah mampu membawakan sesuatu yang penting bagi tanah tercinta kampung halaman tempat kelahiranku.” Jawabku pelan.
“Sesuatu yang penting buat ibu,” Mira menegaskan.
Aku mengangguk setuju. Namun tercenung juga dibuatnya. Sesuatu itu apa? Apa yang selama ini telah aku berikan pada ibu? Selain kesakitan-kesakitan dan mimpi buruk tentang perselisihan paham. Selebihnya hanya semacam api dendam yang menjadi sekam dalam diri untuk selanjutnya berbentuk pemberontakan-pemberontakan jiwa. Apakah dengan demikian seorang ibu masih menyayangi anaknya seperti kenakalan masa kecil anak-anak kami yang belajar tumbuh dewasa dan terkadang pula telah belajar memberikan suatu hipotesa dari pernyataan yang pernah kami ungkapkan. Selalu kami dengar dari mulut mereka untuk membuat satu dua alasan dalam hidup yang bagiku selalu memaksakan tentang arti masa depan. Menyayangkan masa depan terlihat menggelinding berlalu begitu saja ketika ada satu kesempatan baik dari diri sendiri untuk tetap meraupnya.
Aku mengangkat gelas yang terbuat dari batang bambu dan menempelkan ke bibir. Meminum dengan sepenuh kehangatan. Rasa kopi yang sudah sedikit mendingin tersentuh tenggorokan.
“Sesuatu yang tidak berarti. Sekalipun itu diterima sebagai pemberian, mungkin nilainya tidak sepadan dengan apa yang telah diberikan anak-anaknya yang lain, mereka semua lebih memiliki nilai hidup terhormat dibandingkan aku,” jawabku pelan sambil meletakkan kembali gelas yang bersisa setengah.
“Ah, kamu terlalu melankolis dan terlampau egois dengan perasaan-perasaanmu sendiri, yah,” Mira menangkis ucapanku.
Tapi memang itulah kenyataannya. Hidup di rantau dengan biaya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Seandainya ada kebutuhan lainnya yang tidak terlalu mendesak, itu pun harus dibuatkan daftar pemenuhan kebutuhan. Dari rata-rata perbulan yang mampu di catat, hampir setiap halaman bertambah 5 items permintaan dengan penurunan jumlah yang mampu terpenuhi satu hingga dua jenis barang. Itupun betul-betul harus memperhitungkan angka pengeluaran bulan berikutnya, atau memperhitungkan kebutuhan mendadak ketika harus pulang ke tanah kelahiran, oleh suatu acara tak terkira. Halaman yang dimaksud itu ada dalam buku yang kami menyebutnya ringkasan cuaca di kantong rejeki. Itu judul bukunya untuk menyebut dengan kata lain neraca keseimbangan rumah tangga atau dalam bahasa manajemen keuangan disebut dengan neraca rugi laba. Itu pun mesti tertib dan benar-benar tercatat rapi. Segala pemasukan dan pengeluaran rumah tangga menjadi jelas.
Kalau kubayangkan diriku sebagai seorang pejabat yang berkedudukan tinggi dengan menempati posisi yang “basah” bergelimang uang, barangkali yang akan aku lakukan adalah memanipulasi data untuk pencapaian kebutuhan yang lebih besar pasak daripada tiang. Lebih besar angka pengeluaran dibandingkan angka pemasukan. Tak heran kalau terjadi korupsi di tubuh pemerintahan, utamanya pada posisi yang sangat menggiurkan. Tentu saja kalau terseret arus konsumtif. Berusaha untuk jujur namun setan-setan terlalu banyak juga melingkari kehidupan kita dan senantiasa kuat menggoda.
“Hei…heiiiii..!!! diajak ngomong kok malah melamun,” cuwilan dan suara teriakan halus Mira mengagetkan pikiran yang berjalan-jalan semau arah. Kutatap wajah istriku sambil setengah senyum. Tentu dia tidak bisa membaca pikiranku walau akan keluar kata-kata: “ ayah pasti ingat si bungsu ya?” atau kata-kata yang sering akrab terdengar di telinga,” ingat ibu pasti ya?” entahlah lamunan tentang masa lalu begitu kuat bermain-main dalam ingatan. Seperti tidak bisa dilupakan sama sekali.
“Sebenarnya aku masih merasakan suatu dendam pada saudaraku. Bagaimana harus menutupi perasaan ini. Kita pulang ke tanah asal. Untuk melampiaskan kerinduan ternyata butuh rencana. Kita berhitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk sampai di rumah. Berapa waktu yang harus kita luangkan untuk sekadar dapat bercakap-cakap dengan sanak keluarga, satu hari butuh pasang telinga untuk mendengarkan keluhan ibu. Sehari untuk bersenda gurau dengan sanak saudara. Dalam pikiranku, rindu ternyata butuh waktu dan biaya. Namun ketika mereka memberikan satu pilihan akan sebuah tabiat, rindu ternyata bertentangan dengan kemauanku untuk meringankan langkah bertemu tanah asal. Seandainya mereka menyadari betapa kata-kata yang dikeluarkan itu sangat menyakitkan, sepertinya tidak sebanding dengan penebus rasa rindu untuk sampai di sana. Karena mereka tidak menyadari arti sebuah perjalanan. Yang mereka tahu adalah, kakaknya banyak menyimpan khilaf. Pulang hanya untuk bersenang-senang. Untuk menikmati liburan dan bahkan ketika kalimat “warisan” itu keluar dari bibirnya dengan mengatakan bahwa “kalau sudah giliran menerima warisan, baru cepat pulang” Ah, Kenapa kata-kata yang tidak menyenangkan itu keluar dari mulut adik sendiri. Adik yang sangat aku cintai, seandainya kata-kata itu…”
“Ah, sudahlah Yah. Jangan bahas soal itu lagi,” Mira menahan suaraku.
Tapi aku butuh bicara. Aku butuh kejelasan. Aku tidak mau jadi pendengar dari setiap cerita yang disampaikan. Hanya ingin tahu saja darimana sumber kata-kata itu. Jelas dan sangat paham aku, bagaimana sifat adik-adik kandungku semua, tak seperti begitu punya pikiran jelek akan kakaknya. Cerita buruk apa lagi yang dibicarakan mengenai kakaknya yang jarang pulang? Cerita menyudutkan apa lagi yang dilontarkan untuk menenangkan kecemasan mereka akan harta di rumah yang akan dikikis habis sepulang kakaknya dari rantau”
“Atau barangkali beras yang kita bawa pulang, nilainya tidak sebanding dengan beras pemberian adik-adik kepada ibu,” aku meraba-raba awal mula perselisihan itu terjadi. Berusaha menerka seadanya.
“Mungkin akar permasalahan ada pada ibu. Oh, maaf, aku sangat berdosa dengan prasangka ini, kalau ternyata tidak benar.” Mira memotong ucapanku, sembari menutup mulut dengan tangannya merasa ada kata-kata yang salah keluar dari prasangka nuraninya.
Aku membenarkan kata-kata Mira. Karena kehidupan ibu yang hanya mengandalkan pensiunan tidak seberapa banyak mampu membiayai kehidupan penuh konsumtif di kota besar. Kota ini sudah menjadi monster buat ibu. Menerkam segala keinginan ibu yang masih sangat besar oleh rasa silau harta benda. Karena ibu masih saja sama sifatnya seperti dulu. Ingin merenovasi rumah. Ingin membentuk kenyamanan dalam suasana rumah yang harus serba mewah. Semewah para tetangga sebelah. Atau mungkin juga pikiranku yang salah menduga. Karena selama ini, setiap bercerita tentang rumah, ibu akan selalu memberi kesempatan pada kami untuk sumbang saran. Karena itu serupa ranjau yang akan merajut adik-adik untuk melakukan segala keinginan ibu. Lucunya akan bisa berdalih ketika membias pada rasa tidak nyaman, saat rencana itu berhasil diwujudkan. Ah, entahlah…………….
Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Karena aku tidak punya rumah di sini. Akan terdengar lucu kalau mengatakan dengan bahasa “pulang”.
Lereng Pengsong 2020-2024
BIODATA
DG Kumarsana lahir di Denpasar, menulis puisi dan cerita pendek. Karyanya terangkum dalam: Akulah Musi (2011). Antologi Puisi dan Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan Mojokerto (2010). Karena aku tak lahir dari batu (2011). Antologi duelikur penyair NTB (2012). Dendang Denpasar Nyiur Sanur (2012). Negeri Abal-Abal (2013). Negeri Sembilan Matahari (2013). Semangkuk Nasi dan Sang Presiden (2013). Antologi PMK 2A (2013). Denpasar Lan Don pasar (2013). Negeri Tanpa Nama (2013). Habis Gelap Terbitlah Sajak (2013). Negeri Langit (2014). Gemuruh Ingatan (2014) Di Tangkai Mawar Mana (2014). Penjara (2014). Proklamasi Lingkungan (2014). Denpasar Kota Persimpangan Sanur tetap Ramai (2014). Kembang Mata (2015). Negeri Laut (2015). Antologi PMK-4 (2015). Palagan (2016), Antologi Puisi Anti Terorisme (2016). Bukunya yang telah terbit berupa kumpulan puisi berbahasa Bali ”Komedi Birokrat” (2010), ”Kabinet Ngejengit” (2012). Antologi tunggal cerita pendek ”Senggeger” (2010). ”Mata Dadu” (2014).
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.