JAKARTA, Balipolitika.com- Aspirasi agar Pemerintah tidak menaikkan PPN 12 persen terus mengemuka seiring dengan aksi penolakan masyarakat.
Diketahui PPN 12 persen akan mulai diberlakukan 1 Januari 2025 yang artinya tinggal menunggu hitungan hari.
Salah satu lembaga yang menyuarakan agar Pemerintah mencari alternatif menambah pendapatan negara adalah Gerakan Nurani Bangsa (GNB).
GNB meminta Pemerintah mencari alternatif untuk menambah pendapatan negara selain menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Erry Riyana Hardjapamekas, salah satu tokoh yang tergabung GNB, mengusulkan, seharusnya pemerintah menaikkan pajak orang kaya, dibandingkan menaikan PPN menjadi 12 persen.
“Mengapa tidak dicari sumber-sumber lain, misalnya memajaki orang-orang kaya dengan lebih besar, dan bocoran-bocoran soal ini kan sudah banyak dan sebetulnya pemerintah bisa melakukan ini.
Kemudian, apakah tidak mustahil untuk memajaki kekayaan, terutama orang-orang kaya,” ujar Erry dalam konferensi pers virtual, Sabtu 28 Desember 2024.
Meski demikian, pimpinan KPK Tahun 2003-2007 itu juga menghargai bahwa kenaikan PPN merupakan amanat undang-undang.
Namun, ia mengusulkan, agar pekerja di sektor pendidikan seperti guru swasta, juga menerima insentif yang diberikan pemerintah.
“Jangan hanya kepada pekerja-pekerja kasar, tapi juga pekerja-pekerja yang tidak kasar seperti guru swasta, dosen, tenaga kependidikan dan sebagainya,” katanya.
Tokoh GNB lainnya, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Jacklevyn Fritz Manuputty sangat berharap pemerintah mempertimbangkan pemberian jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat kecil.
Menurutnya, pengamanan sosial perlu dilakukan khususnya kepada lapisan masyarakat yang terdampak kenaikan PPN menjadi 12 persen.
“Karena bagaimanapun juga kenaikan PPN akan menghantam daya beli masyarakat kecil yang berpenghasilan rendah,” katanya.
Pria yang akrab dipanggil Jacky ini sangat mendukung pemerintah yang berjuang keras untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Namun, ia secara kritis tetap mengingatkan jangan sampai aspek keadilan sosial justru tertinggal.
“Dalam kaitan ini kami mendukung apa yang disampaikan tadi, dan mendorong semua upaya pemerintah untuk meningkatkan kapasitas fiskal negara terutama melalui sumber-sumber lain selain pajak pertambahan nilai,” kata Jacky.
Di sisi lain, Jacky berharap pemerintah dapat tegas dan transparan dalam penegakan hukum terhadap maraknya berbagai kasus korupsi, termasuk penggalakan pajak yang berdampak pada penerimaan negara.
Dia meyakini jika pengelolaan pajak dilakukan transparan dan akuntabel akan berbanding lurus dengan kepatuhan masyarakat bayar pajak.
“Kami percaya bahwa kepercayaan masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap pajak akan meningkat seiring pengelolaan pajak dan dana-dana publik lainnya yang dilakukan secara transparan dan akuntabel,” tuturnya.
Diketahui, kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Memperburuk kesenjangan ekonomi
Kritik terkait rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN menjari 12 persen juga menuai kritik dari lembaga kajian Next Policy.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai kebijakan tersebut berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia, terutama karena PPN dianggap lebih regresif dibandingkan Pajak Penghasilan (PPh), yang membebani orang miskin lebih berat daripada orang kaya.
“PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Senin 23 Desember 2024.
Berdasarkan data estimasi pengeluaran rumah tangga tahun 2023, meski tarif PPN masih 11 persen, beban pajak yang ditanggung oleh konsumen miskin mencapai 5,56 persen dari pengeluaran mereka, sementara konsumen kelas atas hanya menanggung 6,54 persen.
Oleh karena itu, beban PPN yang hampir merata ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12persen akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah.
Simulasi Next Policy juga menunjukkan bahwa beban PPN terbesar justru ditanggung oleh kelas menengah.
Dari total beban PPN sekitar Rp 294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8 persen atau Rp 120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8 persen dari total jumlah penduduk.
“Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini,” tegasnya.
Yusuf juga mengungkapkan, kenaikan tarif PPN berpotensi melemahkan ketahanan ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah yang sebelumnya tergolong lebih tahan terhadap guncangan ekonomi.
Ia mencatat, pasca-kenaikan tarif PPN dari 10persen menjadi 11 persen pada 2022, jumlah penduduk kelas menengah menurun dari 56,2 juta orang (20,68 persen) pada Maret 2021 menjadi 52,1 juta orang (18,83 persen) pada Maret 2023.
“Penduduk kelas menengah ini jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah dengan ketahanan ekonomi yang semakin lemah,” kata Yusuf.
Sementara itu, penduduk calon kelas menengah melonjak dari 139,2 juta orang (51,27 persen) pada Maret 2021 menjadi 147,8 juta orang (53,41 persen) pada Maret 2023.
Dampak negatif Kenaikan tarif PPN menjadi 12persen pada 2025 dipastikan akan semakin menekan daya beli masyarakat yang terlihat semakin melemah, terutama kelas menengah dan kelas bawah.
Kejatuhan daya beli masyarakat telah melemahkan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir, terutama pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022.
Ia mencatat, setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,31 persen pada 2022, angka tersebut menurun menjadi 5,05 persen pada 2023. Bahkan, dengan adanya dorongan pemilu pada 2024, diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan stagnan di kisaran 5 persen.
Selain itu, Yusuf memperingatkan, kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi yang tidak akan ringan.
“PPN berlaku secara masif pada mayoritas barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini akan memberikan tekanan psikologis pada harga barang secara umum,” katanya.
Bahkan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan listrik pelanggan rumah tangga, yang selama ini dibebaskan PPN, kini akan terkena PPN 12 persen ketika dipandang pemerintah “tergolong mewah”.
“Tekanan kenaikan tarif PPN pada tergerusnya daya beli masyarakat karena banyaknya barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan terkena kenaikan tarif PPN ini seperti pakaian, sabun, pulsa internet, hingga layanan transaksi dengan uang elektronik,” kata Yusuf.
Meski pemerintah berencana meluncurkan paket stimulus untuk kesejahteraan seperti bantuan beras untuk 16 juta keluarga dan diskon tarif listrik,
Yusuf menilai kompensasi tersebut tidak cukup untuk menutupi dampak kenaikan PPN yang bersifat permanen.
Ia juga menyoroti pemberian insentif kepada kelas atas, seperti insentif PPN senilai Rp 15,7 triliun untuk pembelian kendaraan listrik dan pembelian rumah hingga Rp 5 miliar, yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan pajak.
“Kompensasi yang diberikan pemerintah tidak cukup untuk menutupi tekanan ekonomi yang akan dirasakan masyarakat akibat kenaikan tarif PPN ini. Bahkan, kebijakan insentif untuk kelas atas justru menunjukkan ketimpangan dalam prioritas kebijakan pemerintah,” kata Yusuf. (bp/dp/ken)