KABAR DUKA: Kafe Pustaka (Kapus) di kampus Universitas Negeri Malang ditutup. David Ardyanta, pengelola kafe tersebut berpamitan kepada teman-temannya di facebook dengan ungkapan: “kita buka dengan suka cita, kami pamit dengan bangga”.
Habent Sua Fata libelli
(buku punya nasib sendiri)
RAINER MARIA RILKE (1875-1926) memberi tanggapan tentang Kafe Slavia di Praha, “Kafe Slavia, tempat berkumpulnya para penyair dan pelukis, bintang film dan mahasiswa. Sehabis nonton teater, tampak muka-muka murung, dan bila mereka saling menyapa, tersenyum dengan kejengkelan. Mereka berpakaian sangat mencolok atau seadanya, tak banyak menghiraukan. Pada penampilan pertama, sulit diketahui kumpulan apa itu? Pertama minum-minum teh, atau bir Budweiser sebagai tanda pembuka, bahwa kesamaan dalam pikiran telah dicampakkan, makin banyak peminat dan makin maju pembicaraannya, makin lama makin seru, bahwa kemauan puncak bukanlah sebagai kegentingan belaka dan bahwa mereka tidak duduk berdampingan sebagai khayalan.”
Milena Jesenska (1896-1944), bekas pacar Kafka yang namanya diabadikan menjadi Kafe Milena di Praha, memberi pendapat tentang sebuah kafe, “Di kafe itu, karya sastra dibuat, dikoreksi, dibicarakan atau berlagak bermain sandiwara keluarga, menangisi sebuah kehidupan, menyindir kehidupan. Di kafe itu, orang-orang makan dengan mengutang, hidup dan bermalas-malasan untuk mengusir waktu.”
Karl Kraus (1874-1936), sastrawan Austria ini memberikan testimoni tentang Kafe Arco di Praha, “Di situ teman-teman berkumpul menghabiskan malam yang hangat dan memikat.”
Kafe Arco adalah untuk kumpulan orang-orang Jerman. Kafe Union untuk mangkal sastrawan Ceko. Sedang Kafe Slavia, tempat yang netral, berkumpulnya berbagai kelompok. Khusus Kafe Slavia ini tempatnya romantis, dekat kantor penerbitan atau kantor redaksi koran.
Jaroslav Seifert (1901-1986) peraih nobel sastra asal Ceko tahun 1984 memberikan kesan pada sebuah kafe berbasis literasi, “Di kedai kopi ini, orang bisa berdiskusi, berencana, berdebat dengan penuh gairah dan membaca koran erotis `La vie parisieenne,`berpindah dari tangan satu ke tangan yang lain. Dan hari berikutnya lenyap, mirip sebuah bendera rezim dari Batalion.”
Kafe merupakan tempat untuk bersantai, tapi juga sekaligus sebagai tempat saling membagi berita, mencari lowongan kerja. Di tempat seperti inilah tumbuh kelompok seniman, membuat program, membaca dan mengedit tulisan, bahkan untuk menerjemahkan sajak-sajak.
Dari kafe-kafe di atas, saya dan istri berkesempatan masuk Kafe Slavia yang menghadap ke Sungai Moldau. Satu tujuan saya untuk melihat dari dekat bagaimana suasana kafe ini sering dipakai pertemuan Franz Kafka, Max Brod, Franz Werfel dan circle pengarang Praha. Saya melihat beberapa orang Italia sedang minum-minum di meja makan, saya bayangkan mereka para pengarang circlenya Kafka. Peristiwa itu saya alami saat mengunjungi Praha antara 11-14 Agustus 2001, tepat 23 tahun silam.
Minggu ini saya ikut sedih membaca kabar, Kafe Pustaka (Kapus) di kampus Universitas Negeri Malang telah ditutup. David Ardyanta, pengelola kafe tersebut berpamitan kepada teman-temannya di facebook dengan ungkapan: “kita buka dengan suka cita, kami pamit dengan bangga”.
Tiga karya terjemahan dan satu karya sendiri pernah diperbincangkan di Kafe Pustaka. Pertama, pada tahun 2016 novel Proses (Der Prozess) dan Surat untuk Ayah karya Franz Kafka dan buku culture-shock Kesetrum Cinta. Kedua, tahun 2018 berjudul Metamorfosis (Die Verwandlung) karya Franz Kafka.
Waktu saya ke Kapus juga tak sendirian, namun dengan dua penyair Bali: Wayan Jengki Sunarta dan Muda Wijaya. Mereka mengisi acara dengan membaca puisi.
Saya hanyalah salah satu dari puluhan mungkin ratusan penulis yang ikut meramaikan kegiatan di Kafe Pustaka. Sembilan tahun kafe itu membuka pintu bagi para penulis dan pengunjung dari berbagai daerah.
Pengalaman dari dua acara di atas, saya terkesan mendalam. Suasananya sungguh hidup dan penataan ruangan sangat memikat.
Bagi saya Kafe Pustaka bukan hanya sekadar tempat membicarakan sastra, namun seperti ungkapan para sastrawan Ceko di atas, dari Rilke, Milena, Jaroslav, dan Kraus, menganggap tempat bertemu dan berkelakar.
Pada kesempatan membicarakan buku saya di Kapus itu, tentu saja saya manfaatkan untuk bertemu teman-teman lama. Ada empat teman yang saya bisa temui di Kafe Pustaka. Pertama, Rony Roesdiyanto, teman SMAN Kendal yang sudah lebih dari 30 tahun tak pernah bertemu. Mengingat ia bekerja di Malang, maka kesempatan itu kami bisa bertemu. Kedua, Rini Nur Hasanah, alumni dari Switzerland yang sekarang sebagai dosen di Universitas Brawijaya, bisa bertemu di sini. Ketiga, Sekar, teman asal Malang yang tinggal di Switzerland, tempat saya tinggal, mengetahui saya akan ke Malang, ia mengontak kedua orang tuanya untuk menemui saya di acara di Kapu. Keempat, Puthut EA, teman yang sudah lama tak pernah bertemu, kebetulan ia sedang berada di Malang, maka ia saya minta bisa bertemu di Kapus dan ia datang.
Sastra dan pertemanan merupakan labirin murni yang saling berkelindan tak bisa dipisahkan. Jika kita menengok kota-kota besar di Eropa, selalu ada kafe untuk mangkal para penulis. Nama kafe ini akan dicatat oleh para penulis, pembaca juga pengunjung, karena mereka merasa berhutang budi pernah berproses dan memperkenalkan karyanya. Setidaknya diingat. Di Berlin ada Kafe Grössenwahn, di Wina ada Kafe Central, di Zürich ada Kafe Odeon, di Paris ada Kafe Montmartre, di Praha ada Kafe Slavia. Di Malang?
Bagi saya, Malang merupakan jembatan menuju Bali. Bila saya pulang kampung ke Kendal, Jawa Tengah dan kebetulan punya buku baru, baik buku terjemahan maupun buku sendiri, saya mencoba mengadakan perbincangan dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar. Untuk itu keberadaan Kapus sangat membantu bagi saya yang suka jalan-jalan sambil membicarakan buku.
Terima kasih banyak kepada David Ardyanta, Djoko Saryono, Yusri Fajar, Wawan Eko Yulianto, Denny Mizhar, dan semua teman di Kapus. Saya yakin, kelak akan menemukan tempat baru yang lebih nyaman dan kita bisa bertemu kembali.
Zug, 7 Agustus 2024
BIODATA
Sigit Susanto lahir di Kendal, 21 Juni 1963. Karya-karyanya antara lain Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian (novel; 2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), Kesetrum Cinta (2016), Jejak-Jejak yang Tertinggal (puisi, 2023), Si Bolang dari Baon (novel, 2024). Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, seperti: Proses karya Franz Kafka (2016), Surat untuk Ayah karya Franz Kafka (2016), Metamorfosis karya Franz Kafka (2018), Percakapan dengan Kafka karya Gustav Janouch (2018), Novelet Catur karya Stefan Zweig dalam proses penerbitan). Sejak 1996, ia menetap dengan istrinya Claudia Beck, warga Swiss di kota Zug, Switzerland.