PAGI-PAGI, aku mendengar suara anak-anak muda di luar rumah. Kuintip dari korden jendela ruang tamu. Mereka sedang asyik bersenda gurau dengan Mulyono tetanggaku yang dua hari lalu terpilih jadi Ketua RW yang baru, di teras rumahnya.
Kuperhatikan mereka tertawa ketika memdengar lelucon yang dilontarkan Mulyono padahal menurutku itu sama sekali tidak lucu. Mereka saling menertawai kalau ada yang benar dari lelucon Mulyono.
Aku berusaha tidak menghiraukan gaya bicara Mulyono yang selalu membuat hati ini benci. Segera menutup korden jendela. Lalu bergegas mempersiapkan diri berangkat ke rumah teman. Sementara suara Mulyono masih terdengar asyik mengobrol dengan mereka. Kupilih jalan memutar agar tidak melihat, bertemu dan mendengar suaranya. Aku coba bersabar, mungkin sore nanti rumahnya sepi.
Tapi dugaanku salah. Saat aku melewati area rumah seorang warga agak jauh dari rumahku sepulang bertemu teman, suara Mulyono kudengar lamat-lamat sedang membuka arisan RW. Tidak jauh dari situ, kudengar ada yang iseng menirukan suara dan gerak tubuh Mulyono saat berikan kata sambutan.. Membuatku jijik melihatnya, dan langsung lari.
Sampai di rumah, rasa benci muncul lagi. Suara Mulyono yang tadi kembali kudengar membuatku teringat pemilihan Ketua RT dan RW, dua hari lalu. Ketika itu aku mencalonkan diri sebagai ketua RT tiba-tiba harus terima kenyataan pahit dicoret. Karena ketahuan pernah maling jemuran pakaian dalam milik tetangga, setahun sebelumnya. Hatiku kecewa, sedih dan marah bercampur satu apalagi saat tahu sebagian warga dan Mulyono yang bikin aturan pencoretan mendadak itu. Padahal aku sudah taubat, sering beribadah, gemar bersedekah tapi tidak ada yang peduli. Mungkin bagi mereka, maling tetaplah maling.
Aku tersadar dari ingatan buruk itu ketika suara Mulyono kembali terdengar dari speaker memaparkan visi misinya sebagai Ketua RW lima tahun mendatang. Bukan hanya sekali. Hati ini jadi makin benci. Lalu mendadak aku mencium bau tidak enak.
Aku berjalan keluar rumah. Bermaksud mencari asal baunya. Kulihat kotoran ayam ada di sekitaran depan rumah. Seorang pembantu rumah tangga Mulyono datang tergesa-gesa membawa peralatan menyapu.
“Maaf, Mas atas keteledoran saya.” katanya. Aku tidak menjawab. Kupasang wajah kesal. Ia segera membersihkan kotoran ayamnya sembari mengucapkan berkali-kali kata maaf yang tidak aku gubris. Kuputuskan masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu. Masuk ke kamar lalu memasang headset di telinga.
***
Esok pagi, aku pergi jalan-jalan. Kupakai kaus bola favoritku. Kuberjalan pelan memastikan tidak bertemu Mulyono atau mendengar suaranya.
Sudah separuh jalan, aku mengelilingi kampung. Dari kejauhan, kulihat anak-anak sedang asyik memperhatikan Mulyono yang sedang menghibur mereka dengan bermain sulap di teras satu rumah warga. Kuperhatikan jam di tangan kiri.
“Sudah hampir setengah tujuh.” Kupercepat jalanku agar cepat sampai rumah untuk berangkat kerja. Tiba-tiba terdengar suara Mulyono memintaku untuk mampir. Tapi malah membuatku kaget hingga terjatuh.
Anak-anak itu tertawa melihat ekspresi kagetku yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka seolah mendapatkan “mainan” baru.
“Wan… Sini mampir dulu.” Mereka menirukan suara memanggil orang khas Mulyono ketika aku berusaha berdiri. Ditambah sekilas kulihat Mulyono menasehati mereka. Kudengar suaranya lagi. Bikin aku kaget dan terjengkang ke belakang. Tawa mereka semakin riuh terdengar.
Aku yang kesal lalu menghardik mereka.
“Sadar Wan sadar, mereka masih anak-anak.” kata Mulyono dengan suara lantang. Kubalas meludah. Kuemparkan beberapa kerikil ke arah mereka. Mulyono sempat melindungi mereka. Tapi beberapa lemparanku mengenai kaki beberapa anak. Membuat mereka menangis. Kulihat Mulyono memandangku dengan tatapan tidak percaya aku bisa setega itu. Kubalas dengan tatapan melotot. Mulyono mengelus dadanya sendiri.
Beberapa orang tua anak datang karena mendengar tangisan. Tapi aku tidak peduli. Lalu segera berdiri dari terjatuh, tanpa ekspresi. Membersihkan bagian belakang celana pendek yang kupakai dengan mengibaskan tangan. Sepintas kulihat Mulyono sedang menenangkan mereka. Aku kembali meludah kemudian berjalan menuju ke rumah.
“Hei… Kamu berhenti!” Suara marah seseorang di belakangku menyuruh berhenti. Tapi aku tidak mau mengubrisnya. Aku ingin cepat sampai ke rumah, hendak persiapan berangkat kuliah.
“Kamu kan yang buat anakku nangis barusan!” Lagi-lagi aku tidak pedulikan. Terus berjalan.
“Wan… Wan berhenti… Wan.” Mendengar suara Mulyono, aku langsung menutup kedua telinga sambil setengah berlari.
Sialnya aku tidak memperhatikan jalan. Kakiku tersandung batu. Lalu terjatuh di selokan, air kotor comberan mengenai kaus bolaku.
“Rasain..itu karma!” ucap orang tua salah satu anak. Lalu berjalan cepat meninggalkanku bersama sang anak yang tersenyum
“Nasib… Nasib… Nasib.” aku bergumam sambil putar arah kembali ke rumah. Tapi aku tahu tidak mudah untuk ke rumah. Mengingat aku harus melewati kerumunan pendukung Mulyono di jalan kampung yang sedang merayakan kemenangannya dalam pemilihan Ketua RT/RW, dua hari lalu. Sebuah jalan yang berbeda dengan jalan yang tadi kulewati saat pergi keluar rumah.
Suara, “Mulyono… Mulyono… Mulyono.” sudah mulai riuh terdengar dari kejauhan. Kututup telinga dengan kedua tangan. Lalu berlari menerobosnya.
Yogyakarta, 26 Oktober 2024
BIODATA
Herumawan P A adalah seorang penulis cerita. Tulisannya dimuat di beberapa media massa. Ia tinggal di Yogyakarta.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.