TINDAK PIDANA: (Kiri) Material diduga milik Eka Wijaya untuk membangun bedeng di dalam lokasi tanah sengketa milik keluarga besar Jero Kepisah, di Pedungan, Denpasar, Sabtu, 8 Maret 2025. (Kolase: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Entah apa yang ada dipikiran A A Ngurah Eka Wijaya dari Puri Jambe Suci, nekat menerobos dan membangun bedeng di lahan sengketa yang diklaim milik keluarga besar Jero Kepisah di Gang Dara, Pedungan, Denpasar, menjadi pemicu ketegangan antar pihak di tengah proses persidangan yang masih berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, menyeret salah satu ahli waris Jero Kepisah, A A Ngurah Oka sebagai terdakwa atas kasus dugaan Tindak Pidana pemalsuan silsilah yang dituduhkan Eka Wijaya, Sabtu, 8 Maret 2025.
Aksi nekat menerobos lahan sengketa yang dilakukan Eka Wijaya menuai kecamanan dari salah tokoh masyarakat Bali yang mengikuti perjalanan kasus sengketa Jero Kepisah sejak tahun 2015 lalu, I Ketut Ismaya Jaya Putra alias Jero Bima, menganggap tindakan Eka Wijaya sebagai perbuatan melanggar hukum mengingat belum adanya keputusan inkracht yang menetapkan kepemilikan sah atas lahan tersebut.
“Saya sebagai salah satu Krama (masyarakat Bali, red) yang mengikuti perjalanan kasus ini dari awal, sangat mengecam atas tindakan penyerobotan yang dilakukan (Eka Wijaya, red). Satu sisi ahli waris masih menjalani sidang di pengadilan dan belum ada keputusan apapun yang menetapkan bahwa tanah ini adalah milik dia (Eka Wijaya, red),” ungkap Jero Bima saat ditemui di lokasi sengketa, Sabtu, 8 Maret 2025.
Selain itu, berdasarkan adanya keterangan dari sejumlah pihak penggarap lahan tersebut selama bertahun-tahun dan kepala lingkungan sekitar, ditambah adanya keputusan SP3 (Surat Pemberhentian Proses Penyidikan) dari PN Denpasar yang melengkapi fakta dari perjalanan kasus ini, Jero Bima sangat meyakini bahwa lahan tersebut adalah milik keluarga besar Jero Kepisah dan bukan milik Eka Wijaya dari Puri Jambe Suci.
“Proses belum selesai, tudingan pidana pemalsuan silsilah masih harus dibuktikan di persidangan. Tolong hormati hukum dan jangan bertindak seperti preman, saya mantan preman jadi saya tau gaya-gaya preman itu seperti apa. Kasian ahli waris (terdakwa, red), biarkan proses hukum nanti yang menentukan,” tegasnya.
Sementara itu, praktisi hukum, Putu Harry Suandana, juga ikut menyoroti tindakan yang dilakukan oleh Eka Wijaya sebagai Tindak Pidana karena memasuki lahan tanpa izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Pidana itu, klaim menggunakan pipil itu belum sah. Masuk katagori penyerobotan tanah milik itu, bisa dilaporkan polisi,” cetusnya mengomentari berita yang beredar.
Mengutip dari laman resmi Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), kepemilikan tradisional atas tanah, seperti girik, letter C, petok D, Verponding, pipil dan sebagainya telah ditetapkan oleh pemerintah, bukan bagian dari dokumen kepemilikan.
Berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA yang terbit lebih dari 60 tahun lalu serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/BPN) Nomor 16 Tahun 2021, yakni dokumen-dokumen tersebut tidak akan diakui lagi sebagai bukti kepemilikan tanah terhitung mulai 2 Februari 2026.
Pemilik tanah yang masih mengacu pada kepemilikan tradisional/adat, seyogyanya mengurus sertifikat hak milik (SHM) agar dapat kepastian hukum atas aset tanah yang dimiliki. Ini sebagaimana hal tersebut dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021.
Pasal 96, dengan jelas dinyatakan bahwa bukti kepemilikan tanah adat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah, bukan sebagai bukti kepemilikan yang sah atau sudah tidak dapat lagi digunakan untuk mengklaim hak kepemilikan atas suatu bidang tanah.

Selanjutnya, saat ditemui langsung di lokasi sengketa dihari yang sama, kepada wartawan Eka Wijaya nampak enggan berkomentar banyak saat disinggung terkait dasar ia melakukan tindakan tersebut oleh wartawan. (bp/GK)