Ilustrasi: Ignatius Darmawan
HATIKU perih. Sakit anaknya yang bertambah parah membuatku terluka. Aku datang menjenguknya ke rumah kontrakan itu. Aku tak tega melihatnya. Beribu penyesalan muncul dari jiwa. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi dijual biaya berobat anaknya ke rumah sakit. Beberapa minggu yang lalu ia masih punya motor. Tapi aku yang tidak tahu diri, meyuruh orang lain mencuri motor itu, dan sudah menjualnya. Uangnya yang sudah kami bagi dua habis buat berjudi.
Jadi ketika aku berada di sini menjenguk anak yang sakit itu, aku merasa kikuk, tak enakan. Bagaimana kalau ia tahu akulah penyebab hilangnya motor itu? Mungkin ia akan membantingku sampai mati di sini. Paling tidak aku dibawanya ke kantor polisi mendekam di sana, entah berapa tahun. Aku tidak punya keluarga yang akan menebusnya. Aku hidup sendiri. Hanya Pak Salmanlah yang pernah mengasuhku waktu umur 7 tahun sampai beranjak dewasa.
Dalam rumah ini, aku gelisah, tidak tahu apa yang harus aku lakukan membantu lelaki itu, biar anaknya lekas sembuh. Akhirnya, setelah rumahnya sepi, orang-orang yang datang menjenguk sudah pulang, aku beranikan diri meminta maaf, dan aku siap menanggung risikonya, walaupun dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah.
Aku memulai percakapan dengan mulut bergetar, wajah ketakutan. Aku ceritakan tentang motornya yang hilang, dan siapa sebenarnya dalang di balik itu.
“Aku tahu, kaulah penyebab hilangnya motorku, dan kau tidak harus ganti karena kau tidak punya uang.” Keputusannya yang cepat membuat mulutku tersendat-sendat, aku semakin merasa bersalah.
“Bukankah motornya Pak Haris, Junaidi, Samsul yang hilang beberapa bulan lalu, kau juga pelakunya. Kau menyuruh orang lain untuk melakukan itu, bukan? Tugasmu hanya mengintai.”
Begitu tajam ia menuduhku, dan semua bentuk serangannya yang berjejer itu benar. Ia menelanjangi kebobrokanku di depanku sendiri. Untung saja orang-orang sudah pergi. Kalau tidak, habis aku digebuki, akhirnya mati di tempat.
“Kalau bapak tahu, kenapa bapak diam saja, tidak menuntutku?” Suaraku begitu kecil, melihat anaknya yang mulai tertidur.
“Untuk apa? Kau juga tak akan sanggup menggantinya.” Walaupun jarak rumahnya tak jauh dari rumahku, aku tak bisa mempelajari kepribadiannya.
“Bapak tahu, uang itu aku buat untuk berjudi?”
“Di kampung ini siapa yang tidak tahu kau seorang penjudi, Bisman.”
“Terus kenapa Bapak tidak melaporkan aku ke polisi?”
Masih jawaban yang sama. “Untuk apa?”
Jawaban yang mendebarkan membuatku merinding, dan aku benar-benar ingin berubah.
“Apa yang bisa aku bantu, Pak, untuk kesembuhan anak Bapak?”
“Apa kau benar-benar ingin membantuku?” Cara ia menatapku seperti menuntut sesuatu. Apa ia berubah pikiran, ingin meminta duit motornya sebagai ganti rugi.
“Semasih bisa, pasti aku bantu, Pak,” jawabku dengan ekspresi yang kurang bersahabat, dan aku mulai curiga ia menyuruhku melakukan sesuatu yang berat.
“Minta tolong kau datangi Pak Salman. Bujuk ia agar memberikan batu putih untukku, itu milikku yang dicurinya.”
Aku bingung, aku tak mengerti maksudnya. Apa hubungannya batu putih itu dengan anaknya yang sakit. Kalau persoalannya cuma batu putih, banyak di pinggir sungai itu. Kenapa harus minta batu putih pada Pak Salman?
“Maaf, Pak, untuk apa batu putih itu? Bukankah batu putih di pinggir sungai banyak.”
“Dasar lelaki bodoh, itu batu kapur, beda dengan batu putih. Kau tidak usah banyak tanya, laksanakan saja tugasmu,” tiba-tiba saja ia yang tadi kata-katanya lembut, berubah jadi keras. Ketakutan juga aku jadinya.
* * *
Sejak aku kecil, Pak Salman menganggap aku anaknya sendiri. Masalahnya selama aku tinggal di rumahnya, ia tidak pernah bercerita tentang batu putih itu. Hari ini aku bertanya. “Benar bapak menyimpan batu putih?”
Ia langsung menempelkan telunjuknya ke mulutku, menyuruhku diam, lalu ia melirik kiri kanan. Ia takut pertanyaanku didengar orang lain. Seperti apa sih batu putih itu? Tak mungkin batu nisan. Walaupun ia batu nisan pasti bukan batu nisan sembarangan, ia batu ajaib, pikiranku menerawang.
“Kenapa kau menanyakan itu? Dari siapa kau tahu aku punya batu putih?” Ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, suaranya begitu kecil. “Pak Sanggar,” jawabku memperlihatkan wajah penasaran.
“Sudah kuduga dialah orangnya. Dia pasti mengatakan padamu, batu itu miliknya dan aku mencurinya. Dia telah berbohong.”
Semakin bingung aku dibuatnya. Aku tak tahu siapa yang benar di antara mereka. Aku juga buta tentang sejarah batu itu. Dan ia cerita padaku, dulu ia dengan Pak Sanggar satu perguruan menuntut ilmu kebatinan. Di antara banyaknya murid, Pak Salmanlah dengan Pak Sanggar yang lolos sampai tingkat tujuh. Mereka dikasih hadiah salah satunya batu itu untuk Pak Salman. Sementara Pak Sanggar dikasih Alquran kecil, yang menurut ceritanya jika Alquran itu dimasukin kantong, kita akan kebal, tidak mempan ditebas dengan senjata apapun. Bahkan seribu butir peluru pun tidak sanggup menggores kulit.
“Alquran kecil itu masih ada sekarang pak?” tanyaku penasaran.
“Nah, itu dia masalahnya.”
“Itu dia bagaimana, Pak?”
Ia meneruskan ceritanya, dan aku jadi pendengar setia.
“Dia menjualnya, tapi tidak dibayar sesuai perjanjian.”
“Kenapa dia tidak menuntut orang itu?”
Semakin ke ujung, aku merasa asyik mengobrol tentang ini.
“Aku tidak tahu.”
Pak Salman meluruskan kakinya yang pegal, lalu ia bangkit berdiri di bibir pintu, tangannya yang kanan memegang tiang.
“Emangnya harga Alquran kecil itu berapa sih pak, ada sepuluh juta?”
“Ngawur kamu.”
“Kok ngawur, terus berapa, lima juta?”
“Tidak mungkin kalau lima juta.”
“Terus berapa, Pak?”
“Tak tahu.”
Masih jawaban yang sama, belum tahu harga pastinya, membuatku penasaran.
“Kira-kira saja, Pak?”
“Sekitar satu milyar.”
Aku terkejut. Satu milyar bukan uang yang sedikit. Alquran kecil harganya satu milyar. Tapi kenapa kehidupan Pak Sanggar memprihatinkan seperti itu. Walaupun tidak dibayar sepenuhnya, paling tidak setengahnya saja. Dia sudah bisa buat modal untuk usaha.
“Kejadian itu kapan, Pak?”
Aku mendekatinya, duduk di bibir pintu, memandang ke luar. Ayam kampung berkeliaran, ada yang berlari-lari kecil memanggil induknya.
“Sekitar 30 tahun yang lalu,” bisiknya sambil menatap ke luar, seolah ada setumpuk bayangan yang tampak di matanya. Sebuah kenangan lama muncul kembali. Aku jadi bingung, apa aku harus mempercayai ceritanya?
“Percayalah, dia telah melakukan fitnah keji, menuduhku mencuri batu putih itu dari tangannya.”
Siapa sih yang benar di antara mereka, bisikku di dalam hati.
“Kenapa dia harus memfitnahmu, Pak?”
“Karena dia ingin aku memberi batu itu secara cuma-cuma. Dulu dia juga pernah begitu.”
“Berarti banyak dong yang tahu tentang batu putih itu?”
“Entahlah.”
“Apa sih khasiat batu putih itu, Pak?”
Ia terdiam sejenak, tak menjawabku. Malah kelihatan ia ingin menjauh, dan berkata, “Tunggu sebentar di sini.”
Ia masuk dalam kamar. Sekitar lima menit telah berlalu, ia menyibak tirai, menyuruhku masuk ke dalam kamar gelap itu.
“Kau harus berjanji, dengan menyebut nama Tuhan, kau tidak akan bilang tentang batu putih ini pada siapa pun, biar aku tunjukkan di depanmu langsung.”
“Baik pak. Aku berjanji.”
“Tidak cukup dengan berkata begitu, kau harus bersumpah.”
“Demi Tuhan, aku berjanji tidak akan membeberkan pada siapa pun tentang batu putih ini. Jika aku melanggar, aku siap menanggung risikonya.”
Setelah kalimat sumpah meluncur dari mulutku, aku melihat ia lega. Lalu ia mengambil kotak kecil, membuka kuncinya, sinar terang memantul dalam kotak itu. Ia mengambil batu putih di dalamnya, meletak di atas lantai, cahayanya semakin silau.
“Kau tahu apa gunanya?”
Aku menggeleng. Ia menyuruhku mengambil gelas ke dapur, mengisinya dengan air putih. Secepat kilat aku melaksanakan perintahnya. Ia memasukkan batu itu ke dalam gelas. Lebih kurang tujuh menit, air itu berubah menjadi putih susu dan harum.
“Kau kasih pada anaknya Pak Sanggar, suruh ia minum, semoga ia lekas sembuh.”
Aku yang pikirannya menerawang mengangguk-angguk.
“Jika kau masukkan batu ini dalam kantongmu, orang-orang akan mengasihimu. Bahkan ketika kau membeli sesuatu di warung, tidak akan ada yang mau menerima duitmu.”
“Maksudnya gratis, Pak?”
“Iya,” jawabnya terserak-serak.
“Kalau begitu, boleh aku pinjam, Pak. Aku mau beli mobil mewah sepuluh.” Aku mulai ragu dengan pernyataannya.
“Sembarangan kau ini, tidak bisa. Sekarang cepat kau bawa air ini. Suruh Pak Sanggar meminumkan untuk anaknya. Semoga ia lekas sembuh.”
Aku yang masih menyimpan banyak pertanyaan meninggalkan rumah itu. Sesuai perintah. Setiba di rumah Pak Sanggar, aku memberi gelas itu pada anaknya setelah dapat izin dari keluarga, terutama ayahnya.
“Terima kasih, Bisman. Walaupun kau tidak membawa batu putih itu. Aku berharap dengan segelas air ini anakku bisa sembuh.”
Tiga hari kemudian, di luar dugaan. Anak itu meninggal. Air putih yang menyerupai susu yang ia minum keluar lagi membanjiri mulutnya. Apakah air itu bukan obat, tapi racun yang diberikan Pak Salman. Kenapa ayahnya diam dan terlihat tenang saja. Aku merasa kematian anak itu, pasti ada sangkut pautnya dengan batu putih, dan segelas air yang menyerupai susu itu. Aku datangi Pak Salman satu hari setelah mayat dikubur.
“Kau tidak usah menyalahkan batu itu. Kalau ajal sudah ditentukan, tidak akan ada obatnya, dan tidak akan tertolong, walaupun menggunakan batu ajaib.” Itulah kata terakhirnya sebelum menyuruhku pulang.***
BIODATA
Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Indonesia Baru, Jawa Pos Radar Lawu, Lensasastra.id, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, Radar Madura.id, marewai.com dll. Penulis anggota Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra. Sekarang mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassaadah Kepenuhan Barat Mulya Rokan Hulu-Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia.
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.