ENTAH ke sekian kalinya kau selalu berhenti di warung itu. Warung yang tak jauh dari sungai yang airnya deras mengalir. Warungnya sangat sederhana, hanya berbentuk persegi ukuran tiga kali empat meter. Bagian atasnya beratapkan jerami kering yang ditumpuk dan disusun alakadarnya. Di bagian samping kanan dan kirinya terpasangkan bambu-bambu yang disilang memanjang. Sementara di bagian depan warung sengaja dibuatkan bangku untuk para pembeli duduk-duduk.
Sejak warung itu berdiri banyak pejalan kaki yang sengaja menghentikan langkahnya sebelum melanjutkan perjalanan. Memang tidak banyak jenis makanan yang dijual di warung itu. Hanya makanan yang langsung habis sehari. Paling jenis gula-gula dan ciki-ciki yang bertahan lama. Namun, warung itu menarik pelanggan untuk kembali datang. Sepertinya mereka ketagihan dengan lotek atah yang dibuat oleh pemilik warung itu. Para pembeli biasa memanggilnya Bi Mun.
Bi Mun mendirikan warung itu bersama suaminya. Meski suaminya meninggal setahun yang lalu. Bi Mun memutuskan melanjutkannya sendiri. Terkadang anak sulungya yang berusia dua belas ikut membantunya jika sedang libur sekolah. Warung itu sangat tepat berada di pinggir jalan umum. Orang-orang yang lewat bisa beristirahat melepas lelahnya perjalanan di sana.
Meski jalan umum yang ukurannya hanya selebar empat langkah orang dewasa. Sesekali hanya ada kendaraan roda dua yang lalu lalang. Biasanya mengantarkan orang yang hendak ke pasar dan lain sebagainya. Jalan penghubung dua desa itu sangat ramai dilalui banyak orang. Terlebih lagi saat jembatan dari kayu berganti beton kuat. Kemunculan warung Bi Mun di dekat sungai dan jembatan beton menyedot perhatian dengan kudapan ciri khasnya lotek atah.
Setiap hari warung itu selalu dipadati pembeli setia. Di pagi hari biasanya para pekerja yang hendak ke sawah terlebih dahulu berhenti di warung Bi Mun. Mereka hanya sekadar menikmati bakwan dan goreng pisang. Menuju siang warga sekitar datang hendak mencicipi lotek atah.
Sedangkan kau hanya sesekali melewati jalan itu untuk sekadar pergi ke sawah dan kebun. Kau biasa ke sawah dan kebun untuk menemui bapak dan emakmu. Kau selalu menyempatkan menikmati lotek atah sebelum menemui bapak dan emakmu.
“Satu porsi lotek atah, Bi.”
Bi Mun mengangguk tanda paham apa yang kau pesankan. Lotek atah dengan bahan-bahan sayuran mentah seperti: kol, mentimun, tauge, dan potongan kacang panjang. Semua bahan itu dimasukkan pada cobek ukuran besar dengan bumbu kacang yang sudah diulek.
Tangan kananmu merogoh saku. Selembar uang kertas bergambar Dr. K.H. Idham Khalid yang telah lecek. Kau keluarkan uang kertas itu untuk memesan satu porsi lotek atah. Kau duduk di bagian pinggir bangku bambu yang berwarna agak kekuning-kuningan. Kau sengaja memilih tempat duduk di pinggir agar sekalian menikmati aliran air sungai.
“Kali ini cengek-nya dua ya, Bi!”
“Siap, Neng. Tumben baru jam sepuluh udah pulang sekolah.”
“Gurunya tidak ada, Bi. Katanya pada demo ke DPRD.”
“Lo, kenapa?”
“Kata penjaga sekolah, guru yang masih honor belum digaji hampir empat bulan.”
“Kasihan, ya. Anak-anak jadi tidak belajar.”
“Iya, Bi. Apalagi aku yang harus menempuh dua kilo untuk sampai ke sekolah. Eh, giliran sampai sekolah, gurunya engak ada.”
Bi Mun tersenyum. Ia seperti menyelidik ke arahmu. Kau membalas tatapannya.
“Setiap hari seperti sekolah delapan puluh, Bi.”
“Apa maksudnya delapan puluh, Neng?”
“Hehe … ya, Bi. Masuk jam delapan, pulang jam sepuluh. Setiap hari hanya menggendong tas pulang dan pergi.”
Tangan Bi Mun masih mengulek bumbu lotek atah di atas cobekan. Sesekali wajahya menatapmu yang tengah bercerita. Bahan-bahan sayuran mentah dimasukkan Bi Mun ke dalam cobekan yang sudah siap dengan bumbu kacangnya.
“Ini loteknya, Neng.”
Kau menerima sepiring lotek atah dan menyerahkan uang kertasnya. Perlahan kau ambil sesuap demi sesuap lotek atah dengan sendok. Tatapanmu meluncur pada air sungai yang berada lebih rendah dari warung itu. Suara airnya meneduhkan.
Diiringi semilir angin siang, kau seperti menikmati alunan lagu sundaan. Kau tahu itu lagunya Nining Meida. Suaranya sangat lembut. Lagu itu tidak sampai selesai diputar, terpotong dengan iklan produk sabun mandi. Kau bangkit dan menaiki bangku di bagian belakang. Kemudian meraih radio. Tangan kirimu memutar-mutar siaran. Kau memang sudah akrab dengan Bi Mun. Sehingga kau berani meraih radio itu.
“Udah itu aja, Neng.” Seru Bi Mun.
Kau mengaitkan kembali tali radio pada paku yang tertancap pada tiang bambu.
Musik sundaan berganti dengan dangdutan. Suara penyanyi Lesti terdengar mendayu-dayu. Sebagian orang menyebutnya Lesti kejora. Rupanya mulut Bi Mun ikut menyayikan lagu Lesti. Sepertinya Bi Mun sudah hapal di luar kepala. Radio yang sudah agak butut itu selalu menemani Bi Mun sepanjag hari. Setiap kau menyambangi warung itu, radio selalu menyala.
“Bi Mun suka lagu Lesti?”
“Suka sekali, Neng. Penyanyi ini jadi inspirasi. Meskipun dia anak orang biasa tapi tekad dan perjuangannya gigih. Dia patut dihargai. Suaranya juga bagus.”
“Bibi leslar lovers, donk?”
“Ah, Bibi mah hanya suka lagunya aja, Neng. Buat hiburan.”
Kau mengangkat kedua ujung bibirmu hingga membentuk bulan sabit. Bagimu menggelitik apa yang diucapkan Bi Mun. Kau meneruskan menikmati lotek atah. Sesekali kau menyelingi dengan menyesap air teh hangat. Kau sengaja memunggungi para pembeli yang datang silih berganti. Tatapanmu masih pada air sungai yang mengalir. Kedua ujung matamu mulai berkaca. Lalu bulir bening tak terasa menggelinding menyusuri bagian pinggir kedua pipimu. Kau terisak pelan. Punggung tanganmu menyekanya. Kau raih kembali lotek atah sesuap demi sesuap.
Semua pembeli pelanggan Bi Mun telah dilayani. Kebanyakan yang memesan lotek atah untuk dibawa pulang. Lagu Lesti berganti dengan judul baru. Penyiar sedang mengabarkan acara satu jam bersama Lesti Kejora. Kau terkaget saat Bi Mun mendekatimu.
“Kenapa kau cirambai, Mar?”
“Engak apa-apa, Bi.”
“Kamu jangan bohong sama Bibi, Mar.”
Kau meletakkan piring yang berisi lotek atah yang tinggal separoh. Satu tanganmu meraih gelas yang berisi air teh hangat. Kau menyesapnya hingga tandas. Kau lalu menggeser tempat dudukmu. Kau berhadapan dengan Bi Mun sekarang.
“Aku sedih, Bi. Gimana dengan sekolahku. Di sekolah sering jam kosong. Karena gurunya banyak yang bolos. Aku jadi kasihan sama emak dan bapak. Setiap hari mereka pergi ke sawah dan kebun. Mereka mengumpulkan hasil bumi dan menjualnya untuk biaya sekolahku.”
“Kamu jangan patah semangat. Lihat aja peyanyi Lesti. Dia tetap gigih dan berjuang meski dari kampung seperti kita. Kau pun pasti bisa, Belajarlah dengan tekun, Mar.”
Kau mengangguk pelan. Baginya ucapan Bi Mun ada benarnya. Kau harus berusaha belajar dengan tekun meski beberapa guru di sekolahmu jarang masuk kelas. Kau mengambil gelas yang sudah kosong, kemudian mengisi kembali dengan air teh hangat dari ceret yang berada di atas meja. Satu gelas penuh kau minum habis. Kau menarik napas dalam.
“Bapak ….”
“Kamu kenapa di sini. Bukannya pergi sekolah?”
“Aku pulang cepet, Pak. Gurunya tidak ada.”
Bapak dan emak tampak berjalan beriringan. Segunung jagung yang telah dikupas kulitnya berada di punggung bapakmu. Sementara emak menenteng keranjang berisi mentimun. Sejenak mereka berhenti di warung Bi Mun untuk mengusir lelah. Bi Mun tampak berbincang-bincang dengan emak. Bi Mun tertarik untuk membeli mentimun yang emak bawa. Sudah kau duga pasti untuk dijadikan bahan lotek atah. Kau masih menyeka iler yang keluar dari kedua cuping hidungmu. Kau sapu dengan ujung hijab sekolahmu. Sementara wajahmu tampak memerah menahan sesuatu yang kau sembunyikan.
“Ayo kita pulang.” Ajak bapakmu sambil bangkit dari duduknya.
Kau bangkit dan mengekor mengikuti langkah bapak dan emakmu. Suara Bi Mun meninggi menyeru namamu. Karena kau semakin menjauh.
“Mar … lotek atah-mu belum habis, nih?’
“Engak, Bi. Lotek atah-nya kepedesan.”
Kau terus saja melangkahkan kaki menuju rumahmu yang masih jauh. (***)
Catatan:
- Cengek: Cabe rawit yang ukurannya kecil-kecil tapi rasanya sangat pedas
- Cirambai: Air mata yang keluar karena sedih atau karena makan cabe rawit
BIODATA
Lia Laeli Muniroh, pegiat literasi dan penyuka sastra. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di MA Plus Al Mujammil Garut, Jawa Barat. Tulisan cerpennya tersebar di media massa nasional seperti: Kompas.id, Radar Bromo, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Riau Sastra, Cendananews.com, Mbludus, Idestra, Suara Merdeka, dll. Penulis Favorit Puisi tingkat nasional lomba sastra, Desember 2021. Juara 2 menulis Cerpen, HIMA UPI 2022, Juara Harapan 2 menulis Cerita Rakyat Balai Bahasa Prov. Jawa Barat, September 2023. Telah menulis 3 buku solo, satu duet, dan 45 buku antologi.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.