DARATAN MARS saat ini tengah mengalami krisis iklim. Jarak matahari dengan Mars semakin berdekatan, sekitar lima puluh mil lebih dekat dari posisi sebelumnya. Padahal, sebulan yang lalu, daratan Mars dihujani air mata dewi Fustar sepanjang hari selama musim tanam beberapa bulan tanpa henti. Orang-orang asing yang hidup di Mars percaya bahwa Fustar adalah dewi kesuburan. Selama air mata dewi Fustar mengalir deras seperti Nil menghidupi daratan Mesir, maka kehidupan mereka jauh dari penderitaan dan ketertindasan.
Meskipun cuaca begitu panas, Universitas Semesta Mars tetap membuka kelas kuliah. Tak hirau betak keringat menetes membasahi granit, Profesor Ograf tetap memberikan materi kuliah kepada mahasiswanya. Laki-laki yang baru beranjak separuh abad itu satu-satunya guru besar kebudayaan di Fakultas Ilmu Manusia. Empat orang rekannya; Ram, Xnepon, Han, Geer juga mengajar di hari yang sama. Tetapi, di kelas yang berbeda.
Ram mengajarkan rekayasa sosial Mars dan Xnepon mengampu pelajaran keadilan ekonomi Mars. Sedangkan Han memberi kuliah sejarah manusia. Terakhir profesor Geer, seorang teolog yang mengajarkan kuliah genealogi agama di Fakultas Perbandingan agama. Dari kelima profesor tersebut, hanya Geer yang mengajar di Fakultas Perbandingan Agama. Yang lainnya, sama-sama mengajar di Fakultas Ilmu Manusia.
Ketika kuliah, Ograf memberikan pembelajaran tentang kehidupan manusia di bumi. Ia diberi mandat oleh seorang elit bumi bernama Sang Agung untuk mengajarkan orang-orang asing Mars tentang kebaikan manusia. Ia mendapatkan pesan melalui satelit yang dibangun oleh Sang Agung di pelataran Universitas Mars. Sang Agung sengaja membangun satelit di sana agar semua informasi tentang kebaikan manusia di bumi bisa terkoneksi dan dipelajari di Mars.
“Manusia tidak pernah menindas satu sama lain. Mereka saling menghormati keberadaan manusia sebagai mahkluk istimewa. Tidak ada darah berceceran sia-sia akibat peperangan sejak awal mula bumi diciptakan oleh dewa.” Ograf begitu yakin akan keberadaan manusia yang hidup tanpa penderitaan dan penindasan. Ia begitu percaya diri mengucapkan itu di hadapan mahasiswanya di dalam kelas.
Memang benar, sebab laki-laki jangkung dengan mata tajam seperti dia memiliki keyakinan teguh terhadap segala informasi tentang manusia yang ada di satelit. Tidak ada satu katapun yang memiliki resonansi buruk yang ia ucapkan tentang manusia.
“Profesor!” panggil satu di antara orang-orang asing itu.
“Bagaimana jika kebaikan manusia yang kau yakini kebenaraannya saat ini, malah memberi kenyataan sebaliknya?”
“Tentu tidak. Aku percaya apapun tentang kebaikan manusia di bumi. Segala apapun yang ucapkan oleh Sang Agung aku yakini kebenarannya.” Jawab Profesor Ograf. Meskipun Ograf tidak pernah melihat kehidupan manusia di bumi, tak ada sedikitpun keraguan. Keyakinannya tentang kebaikan manusia hampir setara dengan keyakinnaya kepada dewi Fustar yang tak pernah jemu memberi kesuburan.
“Bagaimana kau bisa mayakinkanku tentang semua yang kau ucapkan profesor?”
Mahasiswa ini menaruh curiga, betapa suci manusia dalam pikiran Ograf. Bagaimana mungkin segerombolan manusia tidak pernah membuat kesalahan. Pertanyaan itu tak jemu mengendap dalam benaknya. Meskipun ia ragu, Ograf tetap mantap dengan keyakinannya dan berusaha memberikan mahasiswanya kepastian.
“Sang Agung dari bumi telah mendirikan sebuah satelit untuk kehidupan Mars agar tetap terhubung dengan manusia di bumi. Apakah pemberian Sang Agung itu tidak cukup bagi kita meyakini kebaikan manusia?”
“Tentu saja, profesor,” jawab mahasiswa Fakultas Ilmu Manusia itu, “tapi, apakah semuanya cukup. Kita belum bisa memastikan dengan mata telanjang apakah manusia yang baik itu malah bertindak sebaliknya?” Dengan segala keresahan, ia menumpahkan keraguannya di hadapan Ograf.
“Atau barangkali, manusia sering menindas, merampas, membunuh, berperang menumpahkan darah satu sama lain. Dan jika apa yang aku katakan benar-benar terjadi dalam kehidupan manusia, apakah kau bisa menyangkal kenyataan itu?”
Ograf tampak kebingungan. Ia tak bisa berkutik di hadapan mahasiswanya itu. Ia mulai resah dan gamang. Kegamangannya membuatnya buru-buru menutup kuliahnya sebelum ia memberi jawaban kepada mahasiswanya.
Keesokan harinya, Ograf menulis sepucuk surat bagi Sang Agung lewat satelit. Ia menulis kejadian yang menimpanya. Ia juga mengutarakan rasa resah yang datang berkali-kali tanpa aba. Sampai ia tak bisa tidur semalam suntuk.
“Sang Agung, selama aku mempelajari manusia kepadamu, baru kali ini aku mendengar maklumat buruk tentang manusia. Awalnya aku menyangkal kabar itu, karena aku tidak pernah mendengar keburukan manusia darimu, wahai Sang Agung.”
Setelah itu, ia duduk berjangkung di tangga satelit, melamun sambil memandang matahari yang baru saja mencurahkan sinarnya. Sesekali ia memegang kepala, mengerutkan alis sepintas masa dan menghela nafas panjang seperti keledai yang lapar. Tidak lama kemudian, suara lonceng tertengar dari dalam satelit. Ternyata itu jawaban dari Sang Agung. Ograf tampak gembira. Ia tidak perlu menunggu ribuan kedip, jawaban Sang Agung telah datang.
“Ograf, kehidupan manusia di bumi selalu rukun seperti yang telah aku ajarkan padamu. Manusia memiliki akal yang menuntunnya menebar kebaikan satu sama lain. Kejahatan merupakan tata laku yang tidak masuk akal dan manusia sangat membenci kebiadaban. Untuk itu, sampaikan kepada seluruh penghuni Mars bahwa manusia baik, dan selalu baik sampai nafas semesta tak lagi bekerja.”
Ograf sangat senang. Keraguannya semalaman, kini kembali seperti semula. Pesan Sang Agung baginya sebuah petuah agung layaknya firman dewa penguasa Mars. Kini, ia tidak lagi memikirkan keresahan mahasasiswanya.
Profesor Ram, lelaki cepak berambut putih dan gigi depan yang ompong tidak mau ketinggalan. Sebagai guru besar ilmu sosial, ia mengajarkan rentetan skema yang digunakan oleh manusia dalam menciptkan kondisi yang baik untuk kehidupan bumi. Ia mengajarkan bahwa manusia diciptakan oleh dewa sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia yang lain. Oleh karena itu, manusia lebih memilih berkeluarga daripada hidup sendiri dan terasing dari kehidupan. Dalam kehidupan keluarga, manusia bisa menikmati seks, bercumbu dan menikmati gumpalan daging lunak, berlendir dan menonjol yang menempel secara alami pada tubuh manusia.
Sepertinya, Ram tidak memiliki kesulitan seperti Ograf. Sebab, layaknya kehidupan Mars, seks adalah ritual candu bagi mereka. Tidak ada yang bisa menolak seks kecuali orang gila. Tidak terkecuali, bagi mereka yang tak punya kelamin. Meskipun tanpa kelamin, bagi mereka seks bisa tersalurkan melalui tangan, atau bahkan dengan bibir yang berjumpa satu sama lain.
Tampaknya, menyederhanakan ilmu sosial dalam seks tidaklah akademis. Namun, Ram sengaja memilih jalan itu untuk membuat mahasiswanya berkhayal dan bercandu supaya tidak ada yang memberi tanggapan serius lagi tentang manusia. Sebab semalam, Ograf menceritakan insiden yang dialaminya. Ram tidak ingin mengambil pusing. Jadi, ia tahu bagaimana cara mengelabui mereka.
Sekarang giliran profesor Han, guru besar sejarah manusia. Sebagai sejarawan, suaranya nyaring dan nada bicaranya cepat. Kecepatan bicaranya sepadan dengan kecepatan otaknya merekam suatu peristiwa sejarah yang dialami oleh manusia. Dalam melakukan penelitian, ia juga secara cekatan mencermati teks-teks kuno yang dikirim dari bumi oleh Sang Agung untuk dipelajari, dipedomani dan diajarkan di Mars.
Dari teks-teks kuno itu ia tak menemukan cela dan kebiadaban. Sejak awal kehidupan manusia, sekitar satu setengah juta tahun yang lalu sampai sekarang, ia mendapati manusia dengan segala kecakapan dan kecerdasannya dalam menghadapi kebengisan alam. Manusia bisa bertahan dengan baik dan senang membantu satu sama lain. Apalagi sekarang, kehidupan manusia semakin maju. Pastilah pikiran mereka semakin maju pula dan tentunya moralitasnya semakin luhur sehingga lubang hina kebiadaban menjadi mustahil ada.
“Apa yang aku sampaikan pada kalian, seperti itu pula kenyatan hidup manusia. Kalian sudah dengar dan seharusnya kalian percaya. Jika kalian menolak, kalian tidak memiliki alasan pasti. Sebab yang aku ajarkan pada kalian ada dalam semua peristiwa yang ada pada teks kuno ini.” Ia menutup ceramah panjangnya.
Siapa yang bisa membantah profesor Han? Iya, tentu saja tidak ada. Sebab, mereka tidak memiliki teks pembanding seperti yang dibawa oleh Han untuk dibantah. Dalam budaya akademik Universitas Mars, seseorang tidak bisa membantah tanpa alasan yang cukup. Apalagi persoalan yang menyangkut sejarah. Ograf pun bertemakasih padanya. Karena bantuan Han, mahasiswa yang kemarin membantah Ograf juga tak berkutik di hadapan Han.
Di kuliah Keadilan Ekonomi, Profesor Xnepon bercakap-cakap tentang keadilan ekonomi manusia. Ketiga belahan bumi menjalankan kehidupan perekonomian mereka di atas kapal layar keadilan. Di setiap pelabuhan hidup, ada kapal nun adil menjemput. Merekahkan layar di atas samudra menuju kutub kebahagiaan. Penumpang-pemumpang kapal adalah mereka yang selalu berbagi satu sama lain. Tidak ada kaya dan miskin, yang ada hanyalah kesetaraan. Simbol kesetaraan menghujam hingga ke dalam batin. Mereka resapi, renungi dan jalani dalam tapak hidup kebersamaan.
Keberpihakan Xnepon terhadap ajaran Sang Agung tentang keadilan manusia jelas kentara. “Kemuraman hanyalah milik mereka yang tak mampu bersikap adil bagi sesamanya. Manusia yang luhur akan memilih tangga menuju langit demi mencari harta karun yang dicuri oleh awan di malam hari. Manusia tidak akan memilih menindas buruh, petani, pedagang, tukang kebun, peternak. Sebab, mereka percaya kebiadaban hanya dilakukan oleh orang gila, tidak waras. Sedangkan manusia memiliki akal dan hati nurani. Dengan segunung keluhuran manusia akan memilih keduanya demi mencapai kesempurnaan.”
Dari tiga puluh mahasiswanya, hanya satu yang protes. “Profesor! Bagaimana dengan pemimpin mereka. Apakah ada maling di antara pemimpin mereka?” Protesnya dengan seirus.
“Tentu saja tidak! Mereka tidak akan melakukan tindakan culas dan licik seperti itu.”
“Kenapa kau begitu yakin? Sejak mereka diciptakan satu setengah juta tahun yang lalu?”
Mahasiswa itu semakin penasaran dan Xnepon mencoba meyakinkan. “Ya, tentu. Sejak awal sejarah lahir dalam rekaman semesta, manusia selalu adil dan tetap adil. Begitulah titah Sang Agung dari bumi.”
“Jika kau masih tidak percaya, kau bisa terbang ke bumi. Niscaya kau akan melihat pemimpin-pemimpin mereka begitu sederhana. Rakyatnya makmur sentosa. Bahkan, terkadang pemimpin manusia, kadang lebih memilih hidup di emperan bersama rakyatnya daripada hidup di atas singgasana saat rakyatnya memanggilnya. Jika yang aku ucapkan dusta, kau bisa memenggal kepalaku setelahnya di alun-alun universitas.”
Percakapan mereka pun usai. Tidak ada yang berani protes setelah profesor Xnepon mempertaruhkan kepalanya. Profesor bermuka tirus itu sedikit beruntung. Untung saja ubannya tak tercabut dari akarnya.
Tidak dengan Geer. Seorang teolog yang suka mondar mandir tak karuan. Ia banyak diprotes oleh mahasiswanya. Sebagai seorang teolog, suaranya lembut dan suka berfikir keras. Selain suka mondar-mandir tidak jelas, ia juga suka melamun. Di sela lamunannya, ada asap cerutu mengudara dari mulutnya. Ntahlah, ia begitu aneh. Walaupun ia mempelajari semua agama bumi, tak ada satu pun agama yang ia akui dan yakini, namun ia tetap bertuhan dengan seleranya sendiri. Misinya bukan mencari pembenaran tentang agama, tetapi ingin mendalami seberapa jauh agama menyatukan umat manusia. Dan benar, agama memang menyatukan sewaktu kala!
“Bagaimana agama-agama mampu menyatukan miliyaran manusia di bumi. Bukankah sebaliknya, agama selalu datang dengan luka dan darah?”
“Profesor! Kau bilang agama selalu datang dengan keadilan dewa. Jika benar-benar adil, kenapa dewa bumi tidak menciptakan satu agama saja? Bukankah semakin beragam keyakinan, semakin terbuka pintu kefanatikan?” Mahasiwa kursi paling depan menyambut.
“Profesor Geer! Bagaimana dengan pemuka agama mereka?” kini giliran mahasiswa di belakang ujung kanan, “apakah ada dari mereka yang suka menindas? Apakah ada di antara mereka yang tak tahu malu menjual agamanya demi kepentingannya? Ataukah ada di antara mereka yang gila hormat? Apakah manusia bumi ada yang saling meminum darah dan mengoyak-ngoyak jantung manusia lain dalam peperangan atas nama agama?”
Sepertinya apa yang dialami oleh Ograf waktu itu tak sebanding dengan sekelumit pertanyaan yang diterima oleg Geer. Bagaimana mungkin seorang teolog yang suka-mondar mandir ini menjawab semuanya. Apakah hanya mengadalkan suara lembutnya? Mungkin, jika pertanyaan tersebut hanya seputar nasihat kehidupan, bisa saja kelembutan suaranya bisa menancap kuat ke dalam batin mahasiswanya. Namun tidak untuk persoalan pelik ini. Geer tidak bisa mengandalkan itu semua. Ia harus menguras isi kepala agar ia bisa menjawabnya dengan masuk akal.
“Aku tidak pernah mendengar manusia bertikai atas nama agama. Bahkan agamalah yang menyatukan mereka. Karena agama mengajarkan manusia agar berbuat elok, tidak seperti binatang.” Jawab teolog itu.
“Tidak pernah mendengar belum tentu tidak ada pertikaian di antara mereka, bukan?” Mahasiswa yang duduk di depannya mencoba menyelidiki.
“Iya, memang benar,” dengan dahi mengkerut, Geer mengafirmasi. “namun, Sang Agung yang baik tidak pernah mengajarkan jika manusia berperang karena perbedaan agama. Mereka berpegang pada kitab suci bukan kebiadaban nafsu dan kebutaan batin. Kitab sucilah yang menggerakkan batin mereka untuk tidak meminum darah di antara mereka.”
Tidak lama kemudian, matahari mulai redup. Membuat nyanyian resah dan gelisah antara mereka usai. Lonceng universitas telah tertengar, mendandakan jam kuliah selesai. Mereka bersiap untuk pulang sebari memendam ketidakpuasan mereka. Begitu pula dengan lima guru besar tersebut. Mereka bergegas pulang sambil gamang, cemas dan keringat basah.
Sebelum para guru besar itu benar-benar pulang, mereka bersepakat untuk menulis sepucuk surat protes kepada Sang Agung. Benar saja, keesokan harinya, mereka berkumpul di kantor guru besar untuk menulis beberapa tuntutan. Mereka mendesak agar Sang Agung memberi jawaban tentang benarkah manusia semuanya baik dan tak pernah bertelingkah.
Surat kepada Sang Agung telah tamam. Sekitar empat puluh lima halaman berisi sederet pertanyaan dan juga ibarat kekalutan. Bersiaplah mereka menuju satelit, mendaratkannya kepada Sang Agung untuk dicermati dan diberi tanggapan. Para guru besar sedikit lega.
Sepuluh purnama telah berlalu, jawaban tak kunjung datang. Mereka tak mendapatkan satu kata pun dari Sang Agung. Satelit juga tiba-tiba tidak berfungsi. Mereka tidak mengerti apa penyebabnya. Pun mereka tak mampu membenahi, sebab mesin pengendali satelit ada di bumi. Lalu bagaimana dengan kelangsungan Mars, apakah akan tetap peraya pada kebaikan manusia?
“Hanya satu jalan keluar. Kita harus membuat roket yang menyerupai milik Sang Agung.”
“Bagaimana mungkin profesor Ograf?” Xnepon sedikit ragu.
“Bisa! Tapi, kita butuh waktu tujuh purnama untuk menyelesaikannya” Ograf berusaha meyakinkan.
Percakapan mereka usai. Lonceng bergema di setiap sudut universitas. Semua mahasiswa berkumpul di alun-alun utama. Tak lama kemudian, setelah semuanya berkumpul, Ograf naik ke podium dan mengabarkan seluruh mahasiswa bahwa akan ada proyek raksasa yang akan mereka garap. Membuat roket menuju bumi!
Suara riuh bergaung gema dari keramaian. “Apakah kau gila profesor! Kau benar-benar gila!” Sorak mereka.
“Bukankah kalian ingin melihat dengan mata telanjang tentang kehidupan manusia di bumi?” dengan meluap suara Ograf hampir saja putus.
“Bukankah kalian ragu tentang kebaikan manusia? Jika kalian benar-benar ingin mengetahui semuanya, jalan satu-satunya hanya proyek besar ini!”
Keesokan harinya, mereka membongkar satelit dan mempelajarinya. Satu-persatu perangkatnya mereka cermati dengan seksama. Satu pekan kemudian, mereka menggali bahan-bahannya di lereng Olympus. Dan setelah satu purnama, mereka berhasil menemukan semua komponen materilnya. Dengan alat-alat seadanya, mereka ramu proyek raksasa ini dengan mantap dan berani.
Tampak, para guru besar memimpin dengan cekatan. Bagaimana para guru besar mengetahui semuanya? Tentunya dari Sang Agung. Jika bukan karena sengaja, Sang Agung ingin memamerkan kemajuan ilmu manusia kepada mereka, terutama Ograf. Dan sekarang Ograf mencoba membuatnya.
Tujuh purnama berlalu, mereka berhasil membuat tiga buah roket. Masing-masing roket akan didaratkan di tiga belahan bumi. Bagian timur, tengah dan barat. Mereka butuh waktu satu pekan untuk menyiapkan diri mereka ke bumi. Perjalanan angkasa ini memakan waktu yang cukup lama, sehingga membutuhkan persiapan diri yang matang.
Sepekan kemudian, tepat sesaat matahari mulai mencurahkan kemilaunya. Tiga puluh orang pilihan bersiap menuju alun-alun universitas, termasuk Ograf, Han dan Xnepon. Dua guru besar lainnya, profesor Geer si teolog beruban dan si tua ompong, Ram diminta tetap tinggal untuk mengurus universitas. Dan ribuan mahasiswa lainnya menonton kepergian mereka. Akhirnya mereka benar-benar berhasil dan terbang menuju bumi. Ribuan tangan melambai merestui kepergian mereka.
Hampir dua purnama, roket mereka nyaris mendekati paras bumi. Tiga buah roket berhasil mendarat di tiga belahan dunia. Melihat tiga roket asing, manusia bumi merasa aneh. Sebab orang-orang asing Mars sungguh berbeda. ada juga yang merasa geli melihat mereka, jika tidak ngeri.
Di belahan bumi tengah, Profesor Ograf dan sembilan lainnya tercengang melihat muka-muka masam di antara manusia. Mereka menatap bercak darah segar di muka anak-anak kecil, dewasa dan tua renta. Di sudut bangunan, terlihat seorang ibu menangisi kematian bayi perempuannya yang hancur lebur akibat serangan bom. Potongan-potongan kaki berkaparan di antara reuntuhan bangunan. Di antara mereka ada yang haus dan lapar sambil meratapi nasib yang malang.
“Di sinilah tuhan menjanjikan tanah suci kepada nenek moyang para pembunuh itu. Mereka ingin menagih janji tuhan dengan darah dan anak-anak kami. Sementara kami, meratap sampai kehabisan air mata.” Seorang nenek tua bercerita kepada Ograf. Dengan iba, Ograf pun menangis sejadi-jadinya.
“Sampai kapan peperangan ini usai? Dengan sedu sedan Ograf bertanya. “Sampai mereka puas. Atau barangkali ketika semua kami benar-benar musnah!”
Di belahan bumi bagian barat, roket Xnepon mendarat. Sepuluh orang itu melihat dunia yang begitu indah. Gedung pencakar langit menjulang begitu tinggi menuju langit. Di tengah-tengah kota, tampak terang. Manusia begitu bebas. Di pantai-pantai mereka, sekumpulan manusia berjemur dengan badan telanjang. Bahkan terkadang, mereka melihat mereka bersetubuh di antara keramaian.
Di perusahaan-perusahaan, para buruh tidak bisa menikmati keindahan kota. Mereka terkekang dengan disiplin perusahaan. Ketimpangan tampak jelas antara buruh kerja dengan penguasa.
“Beginikah kebaikan manusia yang kau maksud Profesor? Bisakah aku memenggal kepalamu sekarang?” Tanya seorang mahasiswa kepada Xnepon. Guru besar ekonomi itu hanya diam tak bergeming. Kegemingannya semakin semrawut ketika ia tahu, penguasa bumi bagian barat menjadi pembunuh. Penguasa baratlah yang mengoyak-ngoyak isi perut anak-anak di belahan bumi tengah.
Di bagian timur, Han mencoba mencermati. Ia kecewa, manusia-manusia begitu rakus. Pemimpinnya korup, menindas, gila hormat dan pandai bersiasat. Padahal, buminya begitu kaya, namun rakyatnya miskin. Jualan agama seperti pangan, sangat laku di pasaran. Hukum bisa dibeli dengan uang, sedangkan rakyat miskin yang tidak mampu diadili semena-mena.
“Beginikah sejarah manusia adil tanpa kebiadaban yang kau maksud, tuan profesor?” Layaknya Xnepon, Han juga tak bersuara. Ia hanya membatin keras.
Tiga pekan berlalu, isi hati mereka terbakar. Hangus dimakan kecewa dan rasa marah, terutama kepada Sang Agung yang mereka percayai bertahun-tahun. Sesuai dengan perjanjian mereka, mereka akan kembali ke Mars setelah tiga pekan bersafari ke bumi. Setelah catatan-catatan mereka tersimpan rapi, mereka segera pulang.
Sayangnya, Sang Agung mengetahui misi mereka. Ia menyuruh agen-agen pembunuh untuk menghabisi mereka. Tak butuh waktu lama, mereka terbunuh. Sang Agung merasa tenang sebab kebiadaban dan kemunafikan manusia tidak sampai dibawa pulang. Di Mars, Geer dan Ram menunggu. Para mahasiswa mereka bertanya-tanya. Kenapa mereka tak kunjung kembali.
“Mungkin, mereka nyaman dengan kebaikan manusia serta kemolekan bumi yang tentram dan sentosa.” Batin Geer. (***)
BIODATA
Khaerul Majdi lahir di Aikmel, Lombok Timur, 9 Agustus 2002. Ia memulai kerja sastra sebagai peminat dan pengagum sastra sejak bangku SMA dengan mengambil jurusan bahasa dan mengikuti ekstrakulikuler kelas sastra. Sekarang, berkuliah di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (HIMMAH NWDI). Selain itu, Ia juga aktif di perpustakaan mini Keluarga Nomaden sebagai ketua pustaka.